Headline
Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.
Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.
PENELITI politik Perkumulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Heroik Pratama memaparkan empat alasan ihwal urgensinya revisi Undang-Undang No. 7/2017 tentang Pemilu. Alasan pertama berkaitan dengan kegiatan pemilu serentak dengan lima surat suara seperti yang terjadi di 2019.
Menurut Heroik, desain pemilu serentak pada 2019 gagal mencapai tujuan utamanya, yakni memudahkan tata kelola penyelenggaraan pemilu, memudahkan pemilih untuk memberikan suaranya dan mengefektifkan sistem presidensial dengan menghasilkan efek ekor jas (cottail effect). Terkait hal ini, Mahkamah Konstitusi sendiri dalam putusan No. 55/PUU-XVII/2019 telah menentukan lima model keserentakan pemilu yang bisa dipilih oleh pembentuk UU.
Model keserentakan itu antara lain pemilu DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, dan DPRD; DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, Gubernur, Bupati/Wali Kota; DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, DPRD, Gubernur, Bupati/Wali Kota; Nasional (Presiden/Wakil Presiden, DPR, DPD) dan Lokal (DPRD, Gubernur, Bupati/Wali Kota); dan Nasional (Presiden/Wakil Presiden, DPR, DPRD), Provinsi (Gubernur, DPRD Provinsi), Kabupaten/Kota (Bupati/Walikota, DPRD Kabupaten/Kota).
Dari kelimanya, Perludem menyebut dua model terakhir menjadi yang paling ideal untuk dipertimbangkan. "Model keempat dan kelima inilah yang menurut kami cukup rasional dipertimbangkan oleh pembentuk undang-undang untuk merubah desain kesentakan pemilu kita," kata Heroik dalam diskusi daring Mengapa Revisi Undang-Undang Pemilu Penting? yang dihelat Perludem, Minggu (24/1).
Menurutnya, pemisahan keserentakan antara pemilu tingkat nasional dan lokal akan meningkatkan efisiensi dalam tata kelola maupun para pemilih. Selain itu, tingkat efektifitas pemerintahan nasional dan daerah juga lebih tinggi dibanding tiga model keserentakan yang lain.
Alasan kedua urgensi revisi adalah karena UU Pemilu saat ini dinilai belum berhasil dalam menjawab persoalan proporsionalitas alokasi kursi ke DPR. Berdasarkan catatan Perludem, dari 34 provinsi, hanya 16 provinsi yang alokasi kursi di DPRnya proporsional. Sebanyak 6 provinsi uder proporsional, sedangkan 12 provinsi over proporsional.
"Faktanya di Undang-Undang No. 7 kita, masih ada beberapa daerah yang alokasi kursinya antara jumlah kursi dengan jumlah pemilih di satu provinsinya itu tidak proporsional. Ada provinsi yang mendapatkan kursi berlebih, ada provinsi yang mendapatkan kursi kurang atau underrepresentated," jelas Heroik.
Baca juga : Partisipasi Pilkada 2020 Tinggi, Ini Penyebabnya
Ketiga, lanjut Heroik, masalah pembentukan daerah pemilihan yang tidak sesuai dengan standar pempembukan dapil berdasarkan UU No. 7/2017. Dalam Pasal 272, dijelaskan prinsip-prinsip pembentukan dapil antara lain kesetaraan nilai keterwakilan, ketaatan padaa sitem pemilu, proporsionalitas, integralitas wilayah, berada dalam cakupan wilayah yang sama, kohesivitas, dan kesinambungan.
Kendati demikian, Heroik menyebut masih ada pembentukan dapil yang bermasalah. Salah satu yang dicontohkannya adalah dapil Jawa Barat 3 dalam pemilu DPR. "Kota Bogor itu masih digabungkan dengan Kabupaten Cianjur. Itu kan jelas-jelas dua daerah yang berbeda, di mana Kota Bogor harus melampaui Kabupaten Bogor telebih dahulu, baru ke Cianjur," paparnya.
Alasan terakhir berkaitan dengan ambang batas parlemen. Sejak pemilu 2009, terjadi kenaikan ambang batas parlemen mulai dari 2,5 persen sampai yang terakhir pada 2019 menjadi 4 persen. Heroik mengatakan adanya ambang batas parlemen tersebut menghasilkan tingginya suara yang terbuang.
Pada 2019 saja, dari 139.972.260 total suara yang masuk, sebanyak 13.595.842 di antaranya terbuang. Menurut Heroik, ambang batas parlemen menghasilkan pemilu yang disproporsional. Padahal, Indonesia menggunakan sistem pemilu legislatif proporsional.
"Memang wajar pemberlakuan parlimentary treshold, persoalannya adalah berkaitan dengan ambang batas yang saya kira perlu dipertimbangkan," tandasnya. (OL-2)
Pengesahan revisi kebijakan energi nasional perlu dipercepat
FSGI mengatakan pelajar yang ikut dalam aksi unjuk rasa di depan Gedung DPR RI untuk menolak revisi Undang-Undang No.10/2016 tentang Pilkada, berhak mendapat perlindungan.
Polisi menangkap 301 orang terkait aksi unjuk rasa revisi Undang-Undang Pilkada yang berakhir ricuh kemarin. Saat ini 112 orang di antaranya sudah dipulangkan.
KPAI mencatat ada tujuh anak yang diamankan di Polda Metro Jaya dan 78 anak diamankan di Polres Jakarta Barat, usai aksi unjuk rasa menolak pengesahan revisi UU Pilkada.
Komnas HAM menyesalkan cara pembubaran aksi unjuk rasa di depan Gedung DPR RI, Jakarta, kemarin. Aparat membubarkan massa dengan gas air mata dan pemukulan.
Istana mengingatkan agar semua pihak tetap harus menjaga kondusifitas agar kepentingan publik dan roda ekonomi tidak terganggu.
WAKIL Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad mengungkapkan pihaknya akan hati-hati dalam membahas revisi Undang-Undang tentang Pemilihan Umum (RUU Pemilu).
WAKIL Menteri Dalam Negeri, Bima Arya Sugiarto meminta kepada publik agar menghentikan perdebatan mengenai pro dan kontra terkait metode penyusunan Revisi UU Pemilu dan UU Pilkada.
Ketua KPU Mochammad Afifuddin mendorong DPR segera merevisi UU Pemilu dan UU Pilkada
Menurut Feri, perbaikan sistem internal partai politik sangat penting untuk mencapai keadilan kepemiluan.
PENELITI Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil mengatakan pembahasan pembahasan revisi Undang-Undang (UU) Pemilu harus segera dibahas.
Empat orang mantan komisioner DKPP memohon supaya DKPP dipisahkan dari Kementerian Dalam Negeri dan nomenklaturnya diubah.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved