Headline

Gencatan senjata diharapkan mengakhiri perang yang sudah berlangsung 12 hari.

Fokus

Kehadiran PLTMG Luwuk mampu menghemat ratusan miliar rupiah dari pengurangan pembelian BBM.

PSHK UII Ajukan Judicial Review UU MK

Agus Utantoro
14/10/2020 08:58
PSHK UII Ajukan Judicial Review UU MK
Gedung Mahkamah Konstitusi(MI/Adam Dwi)

PUSAT Studi Hukum dan Konstitusi (PSHK) Universitas Islam Indonesia mengajukan gugatan dan pengujian terhadap Undang Undang Mahkamah Konstitusi.

Kepala PSHK Universitas Islam Indonesia Allan Fatchan Gani Wardhana mengatakan dalam kajian PSHK, pengesahan perubahan ketiga UU MK (Undang Undang Mahkamah Konstitusi) dilakukan dengan tergesa-gesa dan materi muatanya pun terindikasi bertentangan dengan konstitusi.

Menurut dia, ketergesaan itu dapat diketahui dari proses revisi yang hanya disusun dan dibahas secara tertutup dalam waktu tujuh hari.

"Sehingga tidak ada kesempatan bagi publik untuk menyampaikan saran serta masukan," kata Allan, Rabu (14/10).

Allan menyebut proses ini tidak sesuai dengan semangat Pasal 96 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang mengatur RUU harus mendapatkan masukan dari masyarakat. Hal lainnya, adanya penghapusan periodisasi masa jabatan hakim dan diganti dengan usia pensiun bertentangan dengan UUD NKRI 1945 serta mengganggu prinsip independensi dan imparsialitas hakim.

Pasal 87 huruf b UU MK mengakibatkan hakim konstitusi yang sedang menjabat pada saat UU MK diundangkan akan meneruskan jabatannya sampai usia 70 tahun selama keseluruhan masa tugasnya tidak melebihi 15 tahun walau sudah memasuki periode kedua jabatannya, tanpa melalui mekanisme seleksi kembali.

"Ketentuan pasal ini berpotensi mengakibatkan hakim konstitusi tersebut terjebak dalam konflik kepentingan kepentingan dengan pembentuk undang-undang, sementara produk dari pembentuk undang-undang merupakan objek in litis dalam pengujian undang-undang di Mahkamah," ujarnya.

Baca juga:  Berpotensi Lemahkan Hakim, UU MK Digugat

Adanya konflik kepentingan dengan pembentuk undang-undang, imbuhnya,  berpotensi mengganggu independensi dan impartialitas hakim konstitusi yang sedang menjabat pada saat UU MK diundangkan dalam melakukan pengujian undang-undang sehingga bertentangan dengan pasal 24 ayat (1) UUD NKRI 1945 yang menyatakan kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Allan menambahkan, pengaturan masa jabatan hakim yang diukur dengan menggunakan usia 70 atau maksimum menjabat 15 tahun tidak sesuai dengan prinsip pembatasan kekuasaan konstitusionalisme. Dengan dihapuskanya masa jabatan hakim konstitusi, tegasnya, telah menghilangkan ruang evaluasi kepada hakim konstitusi yang dimiliki publik untuk menilai pelaksanaan tugas dan wewenang hakim selama menjabat pada periode sebelumnya disamping lembaga pengawas eksternal untuk MK pun tidak ada.

Melalui gugatan yang diajukan ke MK, PSHK UII meminta kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan pembentukan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi adalah cacat formil  serta tidak memenuhi ketentuan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Sedangkan secara materiil, PSHK memohon Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan pasal I angka 3 yang mengubah Pasal 15 ayat (2) huruf d Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat.

"Kami juga memohon Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal I  angka 6 yang menghapus Pasal 22 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat apabila tidak dimaknai masa jabatan hakim konstitusi selama lima tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan berikutnya," ungkapnya.

Permohonan lainnya adalah Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal I angka 8 yang menghapuskan Pasal 23 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat apabila tidak dimaknai telah berakhir masa jabatannya.

PSHK UII juga mengajukan agar Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal I angka 9 UU MK yang  menghapus Pasal 26 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat apabila tidak dimaknai “berakhir masa jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf d.

Kemudian, menyatakan Pasal I angka 15 yang mengubah Pasal 87 huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Permohonan itu sudah diajukan ke MK pada Selasa (13/10). Saat mendaftarkan ke MK, pemohon didampingi lima orang kuasa hukum.(OL-5)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya