Headline

Karhutla berulang terjadi di area konsesi yang sama.

Fokus

Angka penduduk miskin Maret 2025 adalah yang terendah sepanjang sejarah.

Polri Beberkan Potensi Kerawanan Pilkada Serentak 2020

Yakub Pryatama Wijayaatmaja
11/9/2020 23:00
Polri Beberkan Potensi Kerawanan Pilkada Serentak 2020
Warga melintasi mural bertema pemilihan umum di Kota Tangerang, Banten, Kamis (7/5/2020).(ANTARA)

BARESKRIM Polri beberkan kajian Indeks Potensi Kerawanan (IPK) untuk memetakan daerah yang berpotensi rawan dalam gelaran Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2020.

Pesta demokrasi tingkat lokal itu telah berlangsung sejak September hingga pemungutan suara yang dijadwalkan pada 9 Desember mendatang. Pilkada Serentak 2020 terdiri dari 270 daerah dengan rincian 224 kabupaten dan 37 kota di Indonesia.

Baca juga: Alasan Covid Mengamuk Komnas HAM minta Pilkada 2020 Ditunda

Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri, Brigadir Jenderal Awi Setiyono mengatakan, Polri memetakan daerah yang dianggap rawan saat gelaran Pilkada serentak 2020 melalui IPK. IPK ialah alat untuk mengukur tingkat kerawanan suatu wilayah yang melaksanakan Pilkada.

“Baik tingkat provinsi maupun kabupaten/ kota yang diukur menggunakan instrumen dalam bentuk dimensi variabel dan indikator,” tutur Awi, di Mabes Polri, Jakarta, Jumat (11/9). 

Awi menjelaskan, dari 270 daerah itu, ada beberapa wilayah dianggap kurang rawan, rawan, dan sangat rawan.

“Jadi ada 5 dimensi, 17 variabel dan 118 indikator potensi kerawanan Pilkada,” ungkapnya.

Awi menuturkan, terdapat 3 variabel yang digunakan untuk mengukur IPK. Pertama, dimensi penyelenggara atau Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD). Pada dimensi ini, mengutamakan profesionalisme penyelenggara.

“Indikatornya adalah KPUD memihak pasangan calon (paslon), kemudian anggaran tidak cukup, anggota KPU pernah mendapat sanksi dan lain-lain,” papar Awi.  

Selanjutnya, profesionalitas Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) atau Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu). Adapun indikatornya antara lain anggota Bawaslu atau Panwaslu memihak paslon, anggaran tidak cukup, kurangnya dukungan protokol kesehatan dan lain-lain.

“Profesionalitas pengamanan, indikatornya diantaranya adalah tidak membuat rencana pengamanan, tidak membuat pengamanan kontijensi, rencana pengamanan tidak sesuai protokol kesehatan dan lain-lain,” ucap Awi.

Awi menyebut dimensi lainnya ialah unsur peserta. Ada lima variabel dalam mengukur IPK dari kepesertaan, yakni potensi konflik calon. Indikatornya adalah sikap fanatik dari kader parpol, simpatisan, ormas dan lainnya.

Selanjutnya, dukungan Aparatur Sipil Negara (ASN). Indikatornya adalah ASN terlibat pengajuan paslon, dan sanksi Bawaslu terhadap ketidaknetralan ASN.

Kemudian, dukungan partai yang dapat berujung pada konflik antar parpol pendukung, konflik internal parpol, dan pelanggaran parpol.   

Baca juga: Ada Aktor Baru dalam Perkara Pinangki, Kejagung Cari Keberadaannya

Selanjutnya, politik uang atau sarana prasarana. Indikatornya partai pendukung membagikan uang, sembako atau bansos kepada masyarakat sebagai pemilih.

“Politik identitas, indikatornya adalah paslon partai pendukung maupun masyarakat menggunakan isu sara dan isu anti komunis,” ujar Awi. (OL-6)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Astri Novaria
Berita Lainnya