Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Mantan Kepala BPIP Uraikan Kesalahan RUU HIP

Putra Ananda
18/6/2020 14:29
Mantan Kepala BPIP Uraikan Kesalahan RUU HIP
Mantan Ketua Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Yudi Latif di atas mimbar.(Antara)

PENOLAKAN terhadap RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) terus bergulir. Sejumlah komponen masyarakat, seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), purnawirawan TNI/Polri, juga menolak RUU HIP sebab tidak mencantumkan TAP MPRS Nomor XXV/1966 tentang Pembubaran PKI.

Mantan Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Yudi Latif, menjelaskan kesalahan dalam RUU HIP tidak hanya per pasal melainkan per kalimat. Rumusan norma justru sebisa mungkin harus menghindari ambiguitas dan multiintepretasi.

Baca juga: KPU Sumenep Belum Tentukan Mekanisme Kampanye Pilkada

"Pada hukum dasar UUD 1945, istilah Pancasila sendiri tidak terdapat di dalamnya. Namun, substansi dan kerangka teoritik itu bisa ditemukan di pembukaan dan berbagai pasal," ujar Yudi dalam keterangan di Jakarta, Kamis (18/6).

Yudi Latif menyebutkan, ketika Pancasila diterjemahkan menjadi norma negara, perspektif teoritis perseorangan bahkan ayat kitab suci harus mengalami proses substansiasi. Konstitusi dan UU itu milik bersama, oleh karena itu, proses dan rumusannya harus bersifat inklusif. Apalagi jika hal itu menyangkut rumusan normatif tentang Pancasila.

Ketua Majelis Hukum dan HAM Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah Syaiful Bakhri mengatakan, RUU HIP berada di bawah Tap MPR apabila merujuk UU No 12 Tahun 2011, sehingga kedudukan RUU HIP dipertanyakan karena ada pengaturan yang sama dengan tap MPR yang telah ada di atasnya.

"Apakah berlaku azas preferensi lex superior derogat legi inferior, atau lex posterior derogat legi priori. Bagaimana jika RUU HIP ini diuji? Apakah MK akan menafsirkan Pancasila? Dan Pancasila di UU akan diuji dengan Pancasila yang ada di Pembukaan UUD 1945? Ini akan terasa absurd," katanya.

PP Muhammadiyah berpendapat RUU HIP tidak terlalu urgen dan tidak perlu dilanjutkan pembahasan pada tahap berikutnya untuk disahkan menjadi Undang-Undang.

Sementara itu, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Rumadi Ahmad mengatakan RUU HIP berpotensi membuka kembali perdebatan dan konflik ideologi yang menguras energi.

"RUU HIP menurunkan derajat Pancasila dari norma fundamental negara (staatfundamentalnorm) menjadi norma instrumental. Naskah akademik maupun draf RUU HIP mereduksi nilai-nilai Pancasila," imbuhnya.

Baca juga: Lembaga Manajemen Aset Negara Siap Dukung Penanggulangan Covid-19

Sementara itu, Fraksi Partai NasDem DPR RI tetap konsisten menolak melanjutkan pembahasan RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) hingga TAP MPRS XXV/1966 tentang Pembubaran PKI dijadikan landasan (konsideran) di dalam RUU HIP tersebut.

Ketua Fraksi NasDem DPR RI, Ahmad M Ali sudah memutuskan RUU HIP tidak perlu dilanjutkan. "Keputusan dan sikap yang diambil Partai NasDem merupakan keputusan tepat," pungkas Ali. (Uta/A-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Irvan Sihombing
Berita Lainnya