Headline
Bansos harus menjadi pilihan terakhir.
JAKSA Penuntut Umum (JPU) pada KPK menuntut hukuman pidana 7 tahun penjara terhadap Walikota Medan nonaktif Dzulmi Eldin. Ia didakwa terbukti menerima suap Rp2,1 miliar dari sejumlah pejabat di kota Medan.
"Menjatuhkan pidana terhadap diri Terdakwa Dzulmi Eldin S berupa Pidana Penjara selama 7 tahun, dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan sementara dengan perintah supaya Terdakwa tetap ditahan," ujar Jaksa KPK Siswhandhono saat membacakan surat tuntutan dalam persidangan daring (14/5).
Selain hukuman kurungan, Dzulmi juga dikenakan denda senilai Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan. Hak politiknya juga terancam dicabut setelah jaksa memyampaikan tuntutang kepada majelis hakim.
"Menjatuhkan hukuman tambahan terhadap terdakwa Dzulmi Eldi S berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan politk 5 tahun setelah terdakwa selesai menjalani pidana pokoknya," imbuhnya Jaksa KPK.
Walikota nonaktif tersebut dinyatakan terbukti bersalah melanggar UU pemberantasan tindak pidana korupsi. Dia dikenakan pasal 5 ayat (1) huruf a UU No 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang peruba0han atas UU No 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP sebagaimana dakwaan pertama.
Adapun, hal-hal yang memberatkan terhadap terdakwa yakni tidak mendukung Program Pemerintah dalam Pemberantasan Korupsi.Terdakwa menikmati sendiri dari hasil uang suap.
Sedangkan, hal-hal yang meringankan terhadap terdakwa belum pernah dihukum.Terdakwa selalu rajin dalam menghadiri setiap persidangan.
Menanggapi tuntutan itu, Penasihat Hukum terdakwa Dzulmi Eldin, Junaidi Matondang akan menyampaikan pledoi atau pembelaan.
Sebelumnya, Walikota Medan nonaktif periode tahun 2016-2021 diyakini menerima uang suap sebesar Rp2,1 miliar dari para Kepala Dinas di Pemkot Medan.
Tercatat, suap berawal pada bulan Oktober 2019. Saat itu, terdakwa Eldin menerima sejumlah uang senilai total Rp130 juta dari Kepala Dinas PUPR Kota Medan Isa Ansyari.
Jaksa mengatakan bahwa uang tersebut diberikan sebagai imbalan karena terdakwa mengangkat Isa Ansyari sebagai Kepala Dinas PUPR Kota Medan.Perkara berikutnya adalah ketika perjalanan dinas Wali kota Medan Eldin, dalam rangka kerja sama sister city antara Kota Medan dan Kota Ichikawa di Jepang.
Akibat perjalanan dinas tersebut, kemudian diketahui terdapat pengeluaran Wali kota Medan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.Selain itu, tidak bisa dibayarkan dengan dana APBD.Kemudin terdakwa memerintahkan Syamsul Fitri Siregar Kasubag Protokoler Pemkot Medan mencari dana dan menutupi ekses dana non-budget perjalanan ke Jepang dengan nilai sekitar Rp800 juta.
Kadis PUPR Medan Isa Ansyari kemudian mengirim uang Rp200 juta kepada terdakwa atas permintaan melalui Syamsul Fitri untuk keperluan pribadi Wali kota.Berikutnya, Syamsul menghubungi ajudan Eldin, Aidiel Putra Pratama dan menyampaikan keperluan dana sekitar Rp800-900 juta untuk menutupi pengeluaran ke Jepang.(OL-4)
Menurut asas hukum pidana, meskipun unsur kesengajaan tidak dirumuskan secara tegas dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Tipikor.
SEKRETARIS Jenderal Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Cahya Hardianto Harefa menilai upah sebagian kepala daerah masih terlalu kecil.
Eks Wakapolri Oegroseno, menyarankan agar penyidikan kasus tindak pidana korupsi (tipikor) dikembalikan kepada Polri.
Kejagung dinilai menggunakan pasal keranjang sampah dalam pengusutan kasus dugaan korupsi terkait pemberian kredit oleh Bank DKI Jakarta dan BJB pada Sritex
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Harli Siregar mengatakan, sejak berkas perkara dikembalikan, penyidik Bareskrim belum mengirimkan perbaikan sesuai catatan JPU.
TERSANGKA kasus impor gula Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong, menagih salinan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang menjadi dasar dari proses hukum
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved