Headline
Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.
Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.
SEJUMLAH aktivis masyarakat sipil meminta Presiden Joko Widodo membatalkan rencana revisi UU No.24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK). Selain situasi Indonesia yang sedang dilanda pandemi revisi ini disinyalir menjadi cara untuk ‘tukar guling’ agar MK dapat menolak sejumlah pengujian konstitusionalitas yang krusial seperti seperti Revisi UU KPK dan Perppu Penanganan COVID-19.
“Sudah selayaknya Presiden menolak pembahasan RUU kontroversial ini. Apalagi, perubahan UU MK tidak masuk ke dalam Prolegnas Prioritas tahun 2020, sehingga tidak bisa dibahas tahun ini,” kata Peneliti Indonesian Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana, dalam keterangan persnya, Senin.
Selain ICW, ikut terlibat Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif (Kode Inisiatif), Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) FH UNAND, Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gajah Mada (Pukat UGM), dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).
Baca juga: 169 Anggota DPR Belum Sampaikan LHKPN
Disebutkan, dalam naskah yang beredar di masyarakat setidaknya ada empat belas poin perubahan dalam RUU ini, namun ketika ditelisik lebih lanjut, permasalahan pokok ada pada tiga ketentuan.
Pertama, kenaikkan masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua MK menjadi lima tahun, kedua, menaikkan syarat usia minimal Hakim Konstitusi, dari 47 tahun menjadi 60 tahun serta ketiga, memperpanjang usia pensiun hakim konstitusi, dari 60 (enam puluh) tahun menjadi 70 (tujuh puluh) tahun. “Dari sini kita mensinyalir adanya konflik kepentingan dalam pembahasan revisi tersebut,” ujarnya.
Kurnia mengungkapkan, dari kajian yang dilakukan, pihaknya melihat poin-poin perubahan yang digagas DPR memiliki substansi penting bagi kelembagaan MK itu sendiri. “Praktik yang dikedepankan hanya menyoal masa jabatan Hakim MK. Jika membandingkan dengan lembaga peradilan lainnya seperti Mahkamah Agung publik akan menemukan perbedaan yang cukup mencolok,” jelasnya.
Selain itu, tambah Kurnia, pembahasan perubahan RUU ini semakin menambah catatan panjang produk legislasi DPR yang cacat formil dan tak sejalan dengan kebutuhan dan kehendak publik. Sebab, isu legislasi ini praktis tidak pernah melibatkan masyarakat, atau bahkan mungkin lembaga MK itu sendiri.
“Tentu hal ini jelas melanggar ketentuan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 96 UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Peraturan Perundang-Undangan, yang mana menjamin keterlibatan masyarakat dalam proses legislasi,” jelasnya. (OL-4)
PAKAR hukum tata negara Feri Amsari merespons sejumlah partai politik yang bereaksi cukup keras terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang pemisahan Pemilu.
Memperpanjang masa jabatan kepala daerah adalah langkah paling realistis agar transisi ke sistem pemilu terpisah berjalan tanpa gejolak.
KOORDINATOR Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, menanggapi pernyataan Hakim MK soal sekolah gratis.
MK membuat ketentuan hukum baru dengan mendetailkan bahwa pelaksanaan Pemilu lokal harus dilaksanakan antara dua atau dua setengah tahun setelah pemilu nasional.
UU TNI tidak memenuhi syarat untuk dibentuk melalui mekanisme carry over dan lemah secara kepastian hukum.
Presiden diwakili Menteri Hukum Supratman Andi Agtas Supratman membantah dalil para Pemohon yang menyebutkan pembentukan UU TNI Perubahan tidak memenuhi asas keterbukaan.
KETUA Pusat Studi Anti Korupsi (PUKAT) Fakultas Hukum (FH) Universitas Mulawarman Samarinda, Orin Gusta Andini menilai upaya pemberantasan korupsi di Indonesia masih berjalan stagnan.
UU KPK digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pemohon mengajukan uji materi Pasal 30 ayat (1) dan (2) mengenai proses seleksi pimpinan KPK yang dianggap tidak sah.
Sejumlah harapan kepada pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Dewan Pengawas (Dewas) KPK 2024-2029. Salah satu harapannya ialah KPK jangan tebang pilih dalam memberantas korupsi.
Saut Situmorang mengatakan lima pimpinan KPK yang baru terbentuk periode 2024-2029 berpotensi akan bekerja tidak independen dalam memberantas korupsi karena revisi UU KPK
Soleman B Ponto menilai Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 87/PUU-XXI/2023 membenturkan kewenangan KPK dengan Kejaksaan dan TNI lewat Polisi Militer.
ICW harap pansel bisa objektif pilih kandidat Capim KPK
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved