Headline

RI dan Uni Eropa menyepakati seluruh poin perjanjian

Fokus

Indonesia memiliki banyak potensi dan kekuatan sebagai daya tawar dalam negosiasi.

Vonis Ringan Koruptor, Perspektif Korupsi Hakim MA Dipertanyakan

Faustinus Nua
26/4/2020 19:21
Vonis Ringan Koruptor, Perspektif Korupsi Hakim MA Dipertanyakan
Sejumlah aktivis Indonesia Corruption Watch melakukan aksi parodi di depan Gedung KPK.(Dok MI/Rommy Pujianto)

INDONESIA Coruption Watch (ICW) mencatat sepanjang tahun 2019 putusan lembaga peradilan terhadap kasus tindak pindana korupsi dinilai berada di tingkat ringan. Berdasarkan data ICW, rata-rata terdakwa korupsi hanya dihukum 2 tahun 7 bulan.

Anggota ICW Kurnia Ramdhana mengatakan Mahkamah Agung (MA) selaku lembaga peradilan tertinggi harus mengembalikan marwah tindak pidana korupsi sebagai tindakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Pasalnya, dengan sejumlah putusan hakim pengadilan akhir-akhir ini seolah telah terjadi pergeseran terhadap level hukum korupsi.

Baca juga: Pemerintah Utamakan Skenario Optimistis, Pilkada Desember

"Itu pekerjaan rumah MA. Bagaimana perspektif hakim harus memandang korupsi sebagai extra ordinary crime. Sehingga tidak menggunakan metode-metode konvensional atau perkara umum lainnya," ujarnya dalam diskusi virtual, Minggu (26/4).

Kurnia pun menyoroti putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta beberapa waktu lalu yang mengurangi hukuman pidana bagi mantan ketua umum PPP Romahurmuziy. Menurutnya, hal itu menambah catatan negatif terhadap lembaga peradilan Tanah Air.

Bahkan, lanjutnya, pengurangan hukuman tersebut membuat upaya pemberantasan korupsi di Indonesia tidak bisa berjalan dengan baik. Hukuman pengadilan tidak memberi efek jera dan mungkin ke depan bisa mendorong terdakwa lain untuk ikut mengajukan peninjauan kembali (PK).

Selain pada hukuman pidana, Kurnia juga mengkritisi hukuman tambahan seperti denda yang diberlakukan. Temuan ICW, dari total 1.019 perkara dan 1.125 terdakwa kerugian negara mencapai Rp12 triliun. Sedangkan pidana tambahan yang tertera dalam pasal 18 UU Tipikor berupa uang pengganti hanya dijatuhkan senilai Rp780 miliar.

"Praktis kurang dari sepuluh 10% kerugian keuangan negara itu bisa dipulihkan kembali. Harusnya ke depan memang pemberian efek jera itu harus dengan hukuman pidana yang maksimal berdasarkan pasal-pasal yang tercantum. Serta kalau ada kerugian negara atau aset lain yang berhubung dengan pasal korupsi harusnya bisa dikenakan pasal 18 UU Tipikor itu," terang Kurnia.

Begitu pula terkait hukuman pencabutan hak politik kepada terdakwa korupsi harus diberlakukan. Kurnia meminta MA untuk merubah perspektif para hakim yang selama ini menurutnya telah memandang pencabutan hak politik sebagi palanggaran HAM. Padahal dalam hukum diperbolehkan asal ada batasan yakni selama 5 tahun.

Persoalan-persoaln itu, menurutnya menjadi pekerjaan rumah Ketua MA yang baru Syarifuddin untuk mengembalikan marwah lembaga peradilan. Perspektif para hakim-hakimnya perlu diubah agar tipikor tetap menjadi extra ordinary crime di negeri ini. (OL-6) 
 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Astri Novaria
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik