Headline
Hakim mestinya menjatuhkan vonis maksimal.
Talenta penerjemah dan agen sastra sebagai promotor ke penerbit global masih sangat sedikit.
RANCANGAN Undang-Undang (RUU) Ketahanan Keluarga menimbulkan penolakan keras dari masyarakat luas. Pasalnya, RUU tersebut dinilai terlalu mencampuri ranah privat Warga Negara Indonesia yang seharusnya bukan menjadi urusan pemerintah. Aktivis Perempuan Siti Musdah Mulia bahkan menyebut RUU tersebut sebagai RUU Jahiliah.
"Ini RUU jahiliah, Benar. RUU ini mengada-ada. Ini sebenarnya copy paste dari UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Masalahnya kita sudah di Abad 21, mereka hanya copy paste dan merugikan kita semua, loh. Kita sudah di era Industri 4.0, menurut saya enggak relevan," kata Musdah kepada Media Indonesia, Kamis (20/2).
Musdah menilai, RUU tersebut jelas bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Dengan hadirnya RUU tersebut, pemerintah dinilai telah kelewat batas mengurusi urusan personal masyarakat Indonesia.
Baca juga: RUU Ketahanan Keluarga, Kok Relasi Dalam Keluarga Diatur
"Mereka mengerti enggak sih apa yang disebut urusan personal dalam kehidupan warga negara? Kita ini sebagai warga negara ada yang nama urusan publik dan privat. Memangnya pemerintah bisa ngurusin relasi ayah dan ibu dan anak? Bagaimana urusin itu semua? Gak bisa," tegas Musdah.
Musdah melihat terdapat sejumlah poin-poin yang dinilainya kontroversial di antaranya adanya aturan mengasuh anak, mendonorkan ASI, sperma, dan kontrol terhadap penyimpangan seksual.
Baca juga:Ini Catatan Kritis Aktivis Perempuan atas RUU Ketahanan Keluarga
Pasal 25 mengatur suami-istri dalam menjalankan kewajibannya sesuai norma agama, etika sosial, dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam Pasal 25 ayat 2 dipaparkan salah satu tugas suami ialah bertanggung jawab atas keutuhan dan kesejahteraan keluarga hingga musyawarah dalam menangani masalah keluarga. Selanjutnya, salah satu kewajiban istri ialah mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.
Pasal 85 menyebutkan Badan yang menangani Ketahanan Keluarga wajib melaksanakan penanganan krisis keluarga karena penyimpangan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (3) huruf f berupa rehabilitasi sosial, rehabilitasi psikologis, bimbingan rohani, dan/atau rehabilitasi medis.
Pasal 86 menyatakan keluarga yang mengalami krisis keluarga karena penyimpangan seksual wajib melaporkan anggota keluarganya kepada Badan yang menangani ketahanan keluarga atau lembaga rehabilitasi yang ditunjuk oleh pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan.
Pasal 139 mengatur bahwa setiap orang yang dengan sengaja memperjualbelikan sperma atau ovum, mendonorkan secara sukarela, atau menerima donor sperma atau ovum yang dilakukan secara mandiri ataupun melalui lembaga untuk keperluan memperoleh keturunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500 juta.
"Negara itu mengurusi air bersih, transportasi publik, pelayanan publik. Ngurus hal-hal yang bermanfaat bagi masyarakat. Bedakan urusan publik dan privat," lanjut Musdah.
Baca juga:Golkar Tarik Dukungan dari RUU Ketahanan Keluarga
Untuk itu, Musdah dengan tegas menolak pengesahan RUU tersebut. Terlebih lagi, pembahasan RUU itu tidak melibatkan pihak ahli sehingga dinilainya cacat hukum.
Dirinya juga beranggapan, apabila RUU tersebut disahkan, itu berpotensi menjebak pengusungnya sendiri, yakni anggota DPR RI.
"Mereka (anggota DPR) sendiri enggak ada di rumah. Itu kan enggak ngurusin rumah, anak suami, mereka kan berkarier di luar, UU itu akan menjerat mereka sendiri. Harus ditegaskan, mengurus rumah tangga itu harus suami dan istri, gak bisa dibebankan ke istri saja," tandas Musdah. (Ata/A-3)
Pendataan Keluarga Tahun 2021, serentak dilakukan pada periode 01 April – 31 Mei 2021 ini akan menjadi basis data pemerintah dalam meningkatkan pemerataan pembangunan.
BADAN Legislasi (Baleg) DPR menghentikan kelanjutan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketahanan Keluarga.
Sebanyak 5 fraksi menyatakan tidak setuju pembahasan RUU KK dilanjutkan ke tingkat selanjutnya sebagai RUU inisiatif DPR. Ke-5 fraksi tersebut adalah PDIP, NasDem, Golkar, PKB, dan Demokrat.
DPR RI telah memutuskan 37 rancangan undang-undang (RUU) yang disetujui dalam Prolegnas Prioritas 2020. Salah satunya ialah RUU Ketahanan Keluarga.
Dia berharap RUU tersebut tidak melanggar Konvensi Penghapusan Diskriminasi kepada Perempuan (CEDAW).
Nilam menyatakan masih ada poin penting yang harus diperbaiki, untuk disesuaikan dengan situasi dan kondisi di Sulawesi Tengah, khususnya pasca bencana.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved