Headline
Pemerintah merevisi berbagai aturan untuk mempermudah investasi.
Hingga April 2024, total kewajiban pemerintah tercatat mencapai Rp10.269 triliun.
PERSYARATAN penerimaan calon pegawai negeri sipil (CPNS) di lingkungan Korps Adhyaksa dinilai sangat diskriminatif terhadap kelompok orientasi seksual dan identitas gender tertentu.
Hal itu ditegaskan Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara melalui keterangan tertulis, Senin (25/11).
Beka mengaku pihaknya telah mengirimkan surat kepada Jaksa Agung ST Burhanuddin untuk meminta klarifikasi sekaligus melakukan pembatalan persyaratan tersebut.
Menurut dia, setelah mencermati pengumuman penerimaan CPNS Kejaksaan RI Nomor: PENG-01/C/Cp.2/11/2019 tentang Pelaksanaan Seleksi Pengadaan CPNS Kejaksaan RI Tahun Anggaran 2019, Komnas HAM menilai persyaratan, khususnya pada lima jabatan dengan seluruh formasinya bertentangan dengan prinsip dan nilai HAM yang terkandung dalam konstitusi NKRI.
Secara spesifik, Komnas HAM mendapati 12 kali kalimat 'tidak cacat mental termasuk kelainan orientasi seks dan kelainan perilaku (transgender)' yang disebutkan pada pengumuman tersebut diskriminatif.
Baca juga: Lagi, Kejaksaan Bekuk Buron Korupsi
"Pengecualian pada kelompok tertentu sama sekali tidak berkaitan dengan nilai dan bentuk pekerjaan pada jabatan-jabatan tersebut. Artinya, semua orang dapat melakukan pekerjaan pada jabatan tersebut tanpa melihat orientasi seksual dan identitas gendernya," ujarnya.
Menurut Beka, persyaratan itu terbukti bertentangan dengan Pasal 28 ayat (2) UUD 1945 yang menyebutkan, setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
Persyaratan tersebut juga mencederai Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Perlu digarisbawahi, sambung dia, setiap warga negara pada ayat tersebut menunjukkan tidak ada pengecualian warga negara untuk menikmati hak ini.
"Selain itu, persyaratan diskriminatif tersebut bertentangan dengan kewajiban lembaga negara untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi HAM semua warga negara termasuk kelompok berbasis orientasi seksual dan identitas gender."
Ia mengemukakan, hal itu sejalan dengan Pasal 2 UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan, Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi HAM dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan.
Instrumen HAM lainnya yang menjamin pemenuhan hak atas pekerjaan ialah UU 11/2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Ratifikasi kovenan ini mempertegas tanggung jawab negara sebagai pengemban kewajiban (duty bearer) untuk dapat memenuhi kebutuhan minimal hak-hak ekosob.
"Tanggung jawab negara untuk memenuhi dan melindungi hak atas pekerjaan meliputi beberapa aspek sesuai dengan Komentar Umum Nomor 8, yaitu aspek ketersediaan, aspek aksesibilitas, dan aspek akseptabilitas," katanya.
Terlebih, sebagai anggota ILO (organisasi buruh internasional) sejak 1950, Indonesia telah meratifikasi berbagai Konvensi ILO seperti Konvensi Nomor 88/1948 tentang Lembaga Pelayanan Penempatan Kerja dan meratifikasi Konvensi Nomor 111/1958 tentang Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan.
Oleh karena itu, menurut Beka, Indonesia harus patuh pada konvensi-konvensi ILO untuk memajukan kesempatan bagi siapapun untuk memeroleh pekerjaan yang layak dan produktif dalam kondisi yang merdeka, setara, aman, dan bermartabat.
Alasan lain yang tidak kalah penting, imbuhnya, Lembaga Kesehatan Dunia (WHO) pada 1992 telah menghapus kelompok minoritas orientasi seksual dan identitas gender dari daftar penyakit kejiwaan.
Pernyataan WHO itu diamini Kementerian Kesehatan melalui PPDGJ (Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa) III 1993 yang juga menyatakan bahwa kelompok minoritas orientasi seksual dan identitas gender bukan merupakan penyakit jiwa maupun cacat mental.
Bahkan, pada 17 Oktober 2019 Indonesia terpilih menjadi anggota Dewan HAM PBB untuk periode 2020-2022, sehingga mekanisme kerja yang dibangun setiap lembaga negara termasuk Kejaksaan RI wajib berbasis pada prinsip dan nilai-nilai hak asasi manusia.
"Berdasarkan berbagai pertimbangan di atas, Komnas HAM meminta klarifikasi dan pembatalan persyaratan tersebut dalam proses penerimaan CPNS di lingkungan Kejaksaan RI," pungkasnya. (OL-2)
Benarkah hukum masih dijadikan alat pemukul dan sarana penindas? Betulkah ada yang meng-order Kejagung untuk menerungku Tom?
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mengaku telah menangani 41 bank yang dicabut izin usaha di Jawa Barat.
Sudah empat kali Kejari Depok meminta polisi membuktikan adanya kerugian negara dalam dugaan korupsi yang menyeret Nur Mahmudi Ismail, tetapi tak pernah dipenuhi polisi.
Dipilihnya Situ Cilodong loaksi bersih-bersih dikarenakan sampah bisa berdampak pada banyak hal seperti kesehatan, lingkungan, pariwisata dan masa depan anak-anak.
Kejaksaan Negeri Kota Depok menghancurkan 10 pucuk pistol jenis softgun berikut 9 senjata tajam.
Pelimpahan tahap dua itu meliputi penyerahan tersangka berikut barang bukti kepada jaksa penuntut umum (JPU) yang bertugas menangani perkara.
Istri Thomas Lembong, Franciska Wihardja Mengadu ke Komnas HAM
Isu penuntasan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa lalu masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah yang belum dapat terselesaikan.
Akmal menjelaskan penggunaan gas air mata oleh kepolisian dalam penanganan suporter melanggar regulasi FIFA yang tertuang dalam pasal 19 menyoal Stadium Safety and Security Regulations.
Komnas HAM menyebutkan bahwa botol-botol temuan polisi di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur bukanlah miras.
Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) melakukan pemanggilan dan diskusi langsung bersama Paguyuban Suporter Timnas Indonesia (PSTI) di Kantor Komnas HAM, Senin (17/10).
Sebelumnya, dalam pertemuan dengan PSTI, komisioner Komnas HAM Chairul Anam mengungkap adanya indikasi biaya korban luka tragedi Kanjuruhan telah diberhentikan oleh Pemerintah.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved