Headline

Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.

Fokus

Kawasan Pegunungan Kendeng kritis akibat penebangan dan penambangan ilegal.

Segera Bentuk Peradilan Pemilu

Insi Nantika Jelita
12/8/2019 09:55
Segera Bentuk Peradilan Pemilu
Ketua Bawaslu Abhan.(MI/Susanto)

BADAN Pengawas Pemilu (Bawaslu) mendorong adanya peradilan pemilu untuk menangani sengketa pemilu pada Pilkada 2020.

Pasalnya, kata Ketua Bawaslu Abhan, saat ini terjadi tumpang-tindih kelembagaan dalam menyelesaikan sengketa pemilu dengan lembaga pengadilan lainnya, seperti Mahkamah Agung, Pengadilan Tata Usaha Negara, dan Mahkamah Konstitusi.

“Di dalam Undang-Undang No 10/2016 (UU Pilkada) sudah ada amanat untuk dibentuknya peradilan pemilu agar menjadi electoral justice atau menjadi satu, biar enggak ada cabangnya (dalam menyelesaikan sengketa pemilu),” ungkapnya di Jakarta, akhir pekan lalu.

Abhan merujuk kasus sengketa pemilu­ Ketua Umum Partai Hanura, Oesman Sapta Odang (OSO) yang berbelit dan memakan waktu lama. OSO tersandung kasus soal pendaftaran dirinya sebagai caleg DPD yang tidak dilanjutkan lagi ke tahapan berikutnya.

Saat itu, KPU berpegang pada putusan MK Nomor 30/PUU-XVI/2018 yang melarang pengurus partai politik rangkap jabatan sebagai anggota DPD. Berbagai cara dilakukan OSO untuk bisa meloloskan dirinya menjadi caleg DPD. Mulai menggugat SK KPU ke Bawaslu dan ke PTUN. “Saya kira sudah ada contohnya, soal perbedaan putusan kasusnya OSO. Ada putusan Bawaslu, putusan MA, PTUN. Itu yang saya kira ke depan harus ada catatan evaluasi mengenai electoral process justice system,” kata Abhan.

Abhan juga peradilan pemilu memudahkan bagi siapa saja yang ingin mengajukan sengketa pemilu, baik perseorangan maupun partai politik. Pasalnya, sengketa pemilu yang diajukan­ ke MK terbatas legal standing, yakni hanya boleh partai politik saja.

“Meski di MK yang mengajukan perseorangan boleh, itu juga sepanjang ada persetujuan partai. UU Pilkada sudah memberikan kewenangan soal peradilan pemilu,” kata Abhan.

“Kami tidak memberikan putusan hasil, tapi tata cara administrasi (aturan pemilu) demi keadilan. Tinggal sekarang adalah pemerintah harus segara merespons harus segera dipikirkan adanya peradilan pemilu itu,” lanjutnya.

Rekapitulasi elektronik

Terpisah, Pendiri Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit), Hadar Nafis Gumay menjelaskan, penerapan rekapitulasi suara secara elektronik (Rekap-E) dinilai bisa dilakukan untuk Pilkada 2020. Penerapan Rekap-E dianggap telah diakomodasi dalam UU Pilkada.

“Kalau dari aspek hukumya, aturan yang ada, saya kira kesimpulan umum di focus group discussion kemarin, dasar hukumnya sudah ada. Pintu masuknya sudah diatur undang-undang,” katanya.

Hadar yang juga mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) tersebut mengatakan, pintu masuk penerapan Rekap-E tertuang dalam pasal 111 UU Pilkada. Pasal itu mengatur tentang mekanisme penghitungan dan rekapitulasi suara pemilihan secara manual dan atau menggunakan sistem penghitungan suara secara elektronik. Meski begitu, Hadar menilai KPU perlu mengatur lebih rinci lagi mengenai Rekap-E dalam Peraturan KPU (PKPU).

“Rekap-E ini betul-betul harus dilengkapi dengan aturan yang lebih rinci melalui PKPU,” ujar Hadar.

Menurut rencana, Pilkada 2020 digelar di 270 daerah. Rinciannya akan dilakukan di 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota madya. Semula pilkada serentak 2020 diikuti 269 daerah. (Medcom/P-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron
Berita Lainnya