BADAN Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengajak seluruh komponen untuk membangun negeri dengan konsep radikal positif. Upaya itu merupakan salah satu solusi mencegah berkembangnya radikalisme yang mengarah pada aksi terorisme di Tanah Air.
Demikian dikatakan Sekretaris Utama BNPT Marsekal Muda Asep Adang Supriyadi seusai acara diskusi kelompok terfokus yang diselenggarakan Komunitas Alumni Lintas Perguruan Tinggi (KAPT), di Jakarta, Rabu (31/7) malam.
Acara berlangsung hingga kemarin. Asep yang mewakili Kepala BNPT Komjen Suhardi Alius memaparkan tentang efektivitas pencegahan dan penanggulangan tindak pidana terorisme.
Ia membeberkan, radikal-isme di Indonesia menurut BNPT ada dua, yaitu negatif dan positif. Radikalisme ne-gatif meliputi intoleransi, anti-NKRI, anti-Pancasila, dan paham takfiri. Adapun radikal positif tujuannya mengajak masyarakat membangun negeri dengan menekankan nilai gotong royong, bela negara, belajar tekun, dan melestarikan kearifan lokal.
"Seharusnya kita bisa membangun radikal yang positif tadi dengan membangun negeri dan menyiapkan SDM (sumber daya manusia). Nah, itu tentu harus lebih besar daripada radikal yang negatif," ujar Asep.
Upaya BNPT dalam mengatasi persoalan tersebut, sambung Asep, dengan mengajak pelajar dan mahasiswa, ter-utama yang hobi berselancar di media sosial, untuk membuat pelbagai akun propagan-da radikal positif. Langkah itu bertujuan menangkal konten-konten radikal di jejaring sosial maupun aplikasi percakapan.
Pada sesi kemarin, akade-misi dan perwakilan ormas keagamaan memandang penyebaran paham radikal ne-gatif dan intoleran semakin masif. Paham itu disebar secara sistematis, memasuki segala level.
"Paham ini juga masuk ke anak-anak kecil, bahkan sudah berani cerita kalau sela-in 'kaum kami', darah lain haram. Ini sangat mengerikan. Di level ini, benih-benih persemaian ideologi harus betul-betul serius dijaga dan diberantas. Ini yang luput dari pemerintah," tutur akademisi sejarah dari Universitas Jember, Tri Chandra Aprianto.
Tidak memihak
Sekretaris Jenderal Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu'ti mengatakan pihaknya cenderung menggunakan istilah ekstremisme ketimbang radikalisme. Hal itu disebabkan radikalisme susah diukur.
Untuk penanganan ektre-misme, Mu'ti berpendapat negara harus hadir melalui hukum positif dan tidak diskriminatif atau tidak memihak siapa-siapa.
"Kita punya Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa, sehing-ga pilihan konstitusional kita freedom of religion. Negara tidak boleh mengintervensi kelompok yang tidak mau menganut agama atau memaksa memilih agama yang mana. Negara perlu hadir dalam konteks penegakan hukum, itu harus dilakukan indiskriminatif. Ini sekarang menjadi tantangan kita bersama," tandas Mu'ti. (Ins/P-2)