Headline

Pemilu 1977 dan 1999 digelar di luar aturan 5 tahunan.

Fokus

Bank Dunia dan IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini di angka 4,7%.

CSIS Prediksi Gerindra Tetap di Oposisi

Golda Eksa
15/7/2019 20:53
CSIS Prediksi Gerindra Tetap di Oposisi
Presiden terpilih Joko Widodo (Kiri) dan Prabowo Subianto(Antara Foto/Akbar Nugroho Gumay)

PENELITI Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes, menilai pemerintahan ke depan tetap membutuhkan oposisi yang konstruktif. Demokrasi dikhawatirkan menjadi pincang apabila realitasnya tidak ada pihak oposisi.

"Bahwa dalam demokrasi kita butuh eksekutif yang kuat, tapi pada saat yang sama kita juga butuh legislatif yang kuat. Keduanya sama-sama dipilih oleh masyarakat. Karena demokrasi itu meniscayakan adanya kontrol. Dan kontrol itu tentu harus ada ketika ada partai yang berada di barisan oposisi," ujar Arya ketika dihubungi, Senin (15/7).

Menurut dia, konteks pertemuan antara capres terpilih Joko Widodo dan rivalnya, Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, ialah rekonsiliasi nasional dan bukan bertujuan mengajak Gerindra masuk ke barisan petahana.

Baca juga: Gerindra Tegaskan Tetap Berada di Luar Pemerintah

Ia menambahkan, pertemuan itu sengaja dilakukan karena ada kesepahaman bersama untuk membangun keadaban politik sekaligus memberikan kesejukan bagi pemilih. Pemandangan tersebut pun semakin menunjukkan bahwa bangsa ini punya modalitas sosial yang kuat untuk menyelesaikan kompetisi politik dengan cara beradab dan bijaksana.

"Meskipun begitu, konteks koalisi itu tentu berbeda dengan konteks pertemuan Jokowi dan Prabowo. Dan itu tidak mudah bagi Gerindra untuk masuk meski sudah ada pertemuan."

Arya menilai ada banyak pertimbangan yang perlu diperhatikan. Bisa saja partai-partai koalisi di kubu Jokowi membuat satu aliansi untuk menahan Gerindra masuk, seperti melakukan sebuah 'tekanan' kepada presiden terpilih.

"Karena bagi partai-partai di kubu Jokowi, selain telah berjuang cukup lama untuk turut memenangkan paslon tentu mereka merasa dari sisi pertimbangan strategis, yaitu masuknya partai baru akan menghilangkan kesempatan atau peluang politik mereka. Diantaranya adalah mendapatkan insentif elektoral dari pemerintahan terpilih atau mendapatkan akomodasi berupa kursi-kursi (kabinet)."

Berikutnya, sambung dia, apabila dilihat sejak masa kampanye, debat capres-cawapres, sangat jelas adanya disparitas platform politik, visi, dan kebijakan kedua paslon. Dengan adanya pelbagai faktor itu tentu tidak mudah untuk menegosiasikan perbedaan-perbedaan yang ada.

Di sisi lain, imbuh dia, Jokowi pasti memikirkan perihal adanya parlemen yang kuat. Jika Jokowi berencana menarik Gerindra masuk, hal itu akan menjadi awal untuk menguji pernyataannya mengenai keinginan membentuk birokrasi yang lincah, efektif, dan efisien.

"Nah, itu salah satunya bisa dibuktikan bagaimana nantinya postur kabinet yang akan dibangun. Kalau kabinet koalisi terlalu gemuk, tentu tidak lincah lagi. Tentu dia akan sulit menegosiasikan banyak hal. Itu saya kira yang menjadi kesulitan," pungkasnya. (OL-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Akhmad Mustain
Berita Lainnya