Penerapan Sistem Penuntutan Tunggal Kasus Korupsi belum Konsisten

Golda Eksa
27/2/2019 15:05
Penerapan Sistem Penuntutan Tunggal Kasus Korupsi belum Konsisten
(ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari)

SINERGITAS tiga lembaga penegak hukum, yaitu Korps Adhyaksa, Korps Bhayangkara, dan Komisi Pemberantasan Korupsi dipandang sebagai kekuatan besar untuk memberangus praktik lancung di berbagai lini. Namun, di sisi lain realitas dari upaya tersebut justru belum terselenggara secara efektif dan efisien.

"Salah satunya disebabkan oleh masih adanya inkonsistensi dalam penerapan single prosecution system (sistem penuntutan tunggal) di Indonesia," ujar Wakil Jaksa Agung Arminsyah saat membuka Rapat Kerja Teknis Bidang Tindak Pidana Khusus Tahun 2019, di Kompleks Badan Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan RI, Jakarta, Rabu (27/2).

Menurut dia, kondisi tersebut berpotensi memunculkan pelbagai permasalahan yang berujung pada tidak tercapainya keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan dalam proses penanganan perkara korupsi di Tanah Air.

Baca juga: Tim Gabungan Penegak Hukum Tangkap DPO Kasus Korupsi Trotoar

Begitu pun dengan fakta adanya temuan penyimpangan dalam pengelolaan BUMN yang tidak jarang dilakukan di balik selubung doktrin business judgment rule. Padahal, sejatinya doktrin itu ditujukan agar nantinya keputusan entitas perusahaan dapat dilakukan dengan itikad baik, tujuan dan cara yang benar, dasar rasional, serta kehati-hatian.

"Kondisi tersebut tentunya sangat lah memprihatinkan, mengingat sejalan dengan kebijakan pemerintah, BUMN didaulat sebagai agen pembangunan nasional yang tidak hanya sekadar mencari keuntungan belaka, namun juga diharapkan mampu menjaga keberlangsungan dan memberikan manfaat bagi masyarakat," terangnya.

Selain penanganan perkara korupsi, sambung Arminsyah, bidang pidana khusus kejaksaan juga mengemban amanah berat terkait penyidikan dan penuntutan perkara dugaan pelanggaran HAM berat. Apalagi Komnas HAM telah melakukan penyelidikan terhadap 9 kasus. Namun lantaran tidak memiliki alat bukti yang cukup, berkas penyelidikan pun dinyatakan belum lengkap.

Terkait persoalan pelanggaran HAM berat, terang dia, perlu dicermati antara Kejaksaan RI dan Komnas HAM masih terdapat perbedaan pemahaman. Salah satunya mengenai syarat-syarat formil maupun materil suatu penyelidikan.

"Karena hal tersebut berimplikasi pada munculnya opini dan citra negatif terhadap aparat penegak hukum dalam proses penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat," pungkasnya.(OL-5)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya