Headline
Presiden Trump telah bernegosiasi dengan Presiden Prabowo.
Presiden Trump telah bernegosiasi dengan Presiden Prabowo.
Warga bahu-membahu mengubah kotoran ternak menjadi sumber pendapatan
ANDAIKAN saja Kiai Haji Ahmad Dahlan masih hidup, barangkali dia akan terkesima melihat pesatnya laju Muhammadiyah, organisasi yang didirikannya 108 tahun lalu itu. Cita-cita awal yang dicanangkan penghulu Keraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat itu saat mendirikan Persyarikatan pada 18 November 1912 cukup ‘sederhana’ dan hanya ada dua: menyebarkan pengajaran Kanjeng Nabi Muhammad SAW kepada penduduk bumiputra di dalam Yogyakarta, dan memajukan hal agama Islam kepada anggota-anggotanya.
Namun, pada perjalanannya, ternyata Muhammadiyah menemukan lahan yang subur untuk berkembang. Para pemuda pribumi yang mulai mengenyam pendidikan Barat dan kalangan priayi, menjadi salah satu kelompok penggerak proses dinamisasi. Eksklusivisme ‘kauman’, sebuah stempel yang melekat pada organisasi yang kini memiliki cabang di 34 provinsi dan 23 cabang istimewa di luar negeri itu, secara perlahan terus melumer.
Kini, massa mereka yang berjumlah lebih dari 50 juta orang cukup heterogen, mulai petani, pengusaha, hingga cendekiawan. Total asetnya pun setara aset organisasi atau korporasi besar kelas dunia: mencapai ratusan triliun rupiah. “Saking banyaknya amal usaha dalam bentuk sekolah dan rumah sakit, hingga banyak orang beranggapan bahwa Muhammadiyah sudah bergeser dari gerakan amar ma’ruf nahi mungkar, yang bersifat dakwah, menjadi gerakan amal usaha,” tutur Djarnawi Hadikusumo (almarhum), mantan Pimpinan Muhammadiyah, pada suatu ketika di 1990-an.
Bukan perkara mudah melakukan valuasi terhadap aset dan kekayaan likuid yang dimiliki serta dikelola lembaga nirlaba seperti Muhammadiyah. Cara menghitungnya sedikit berbeda daripada menghitung kekayaan perorangan atau entitas bisnis. Apalagi, seluruh aset Muhammadiyah itu atas nama umat.
Namun, pada 2017, sebuah laporan dari Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan Muhammadiyah menyebutkan, Persyarikatan mengelola hampir 21 juta meter persegi tanah wakaf. Istimewanya, tak sejengkal pun lahan itu atas nama pribadi-pribadi tertentu. Seluruhnya atas nama Persyarikatan.
Di atas lahan 21 juta meter persegi itu berdiri sekurangnya 19.951 sekolah, 13.000 masjid dan musala, 765 bank perkreditan rakyat syariah, 635 panti asuhan, 457 rumah sakit dan klinik, 437 baitul mal, 176 universitas, dan 102 pondok pesantren.
Seluruh aset Muhammadiyah itu ada yang mencoba menaksir nilainya mencapai Rp320 triliun. Belum lagi ditambah kekayaan kas yang dimiliki amal usaha yang tersimpan di bank, jumlah total kekayaannya bisa lebih dari Rp1.000 triliun. Manajemen organisasi pun dikerjakan secara rapi, terdokumentasi dengan baik, dikelola secara transparan, serta dengan visi yang progresif.
Mantan Ketua Umum PBNU, KH Hasyim Muzadi, pernah melontarkan seloroh soal aset Muhammadiyah yang tersebar itu. Kata dia, ”Jika dua warga NU bertemu, yang dibicarakan apakah sudah punya majelis yasin dan tahlil. Namun, kalau dua warga Muhammadiyah bertemu, yang dibahas ialah sudah berapa sekolah dan masjid yang dibangun.”
Pertanyaannya, bagaimana bisa organisasi yang ‘didesain’ secara sederhana, dengan tujuan yang ‘sederhana’, dengan langkah yang serbasederhana bisa menghasilkan aset ratusan triliun? Jawabannya juga sederhana.
Semua itu ada hubungannya dengan mentalitas Muhammadiyah hasil kerja panjang dan konsisten selama 108 tahun. Mentalitas yang dibentuk ialah mental aghniya (mental orang kaya), mental memberi, serta spirit membebaskan sekaligus memberdayakan.
Hulunya bermula dari doktrin Kiai Haji Ahmad Dahlan yang mengatakan, “Hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup di Muhammadiyah.” Praktiknya, elite pimpinan Persyarikatan itu didorong untuk menjadi pribadi-pribadi yang sudah selesai dengan dirinya sendiri. Alhasil, mereka bisa mengabdikan hidup untuk sebesar-besarnya kepentingan umat.
Banyak kisah di lingkungan Muhammadiyah tentang bagaimana doktrin KH Ahmad Dahlan itu merasuk hingga tulang sumsum dan memengaruhi gaya hidup para ulama dan pimpinan Muhammadiyah yang sangat kontras dengan kekayaan aset Muhammadiyah. Pak AR Fachruddin, misalnya, saat berdakwah di Yogyakarta dan sekitarnya, memilih naik motor tua atau naik becak. Ketua Muhammadiyah terlama (1968-1990) itu juga menjual bensin eceran di depan rumahnya demi menambah pemasukan rumah tangga.
Seorang teman mantan wartawan pernah bercerita, “Ketua-ketua Muhammadiyah dulu seperti ‘orang aneh’, enggak masuk di akal zaman sekarang. Pak AR jualan bensin eceran di ‘rumah dinas’-nya. Kulakan bensin di SPBU Terban, pakai kaus singlet sembari naik sepeda jengki membawa jeriken bensin di boncengan. Edan tenan.”
Ketum Muhammadiyah 1998-2000 serta 2000-2005, Buya Syafi i Maarif, masih biasa jalan kaki ke masjid depan rumah, naik bus atau kereta api, dan antre saat berobat di RS Muhammadiyah. Seorang aktivis yang lumayan dekat dengan Buya Syafi i pernah ‘mengingatkannya’ untuk mengganti mobil agar ‘sesuai’ dengan posisinya sebagai Ketum Muhammadiyah. Buya Syafi i menjawab, “Ah, ini juga sudah cukup.”
Ketum Muhammadiyah saat ini, Haedar Nashir, biasa naik kereta api atau duduk di serambi masjid mendengar khotbah dari jemaah akar rumput tanpa rasa canggung. Itu semua resep mengapa Muhammadiyah berkembang sangat pesat. Kombinasi antara taat doktrin, autentisitas sikap dan laku, serta konsistensi gerak itulah yang menjadi sumbangsih besar Muhammadiyah untuk bangsa ini. Tiada kata yang pas buat para elite atau institusi apa pun di Republik ini kecuali kalimat: teladani mental Muhammadiyah.
KESIGAPAN Wakil Presiden (Wapres) Gibran Rakabuming Raka patut diacungi dua jempol. Ia menyatakan kesiapannya untuk berkantor di Papua sesuai dengan instruksi Presiden Prabowo Subianto.
DIPLOMASI itu bukan cuma soal politik. Pun, diplomasi atau negosiasi dagang tidak melulu ihwal ekonomi. Diplomasi dan negosiasi juga soal sejarah, kebudayaan, dan bahkan seni.
PENUNJUKAN seseorang menjadi petinggi badan usaha milik negara alias BUMN tak jarang memantik pertanyaan.
BANTUAN sosial atau bansos pada dasarnya merupakan insiatif yang mulia. Itu ialah instrumen negara untuk melindungi ketahanan sosial ekonomi masyarakat.
ADA pernyataan menggemparkan dari Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi Todotua Pasaribu, pekan lalu.
Kunci dari pemulihan kehidupan berbangsa dan bernegara ini dengan memperkuat etika sesuai TAP MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa.
SAYA terperangah ketika mengikuti orasi ilmiah Ulani Yunus. Pidato pengukuhan guru besarnya pada Kamis (3/7) sangat relevan dengan fenomena kekinian, yaitu senja kala dominasi manusia.
"DIA terus melawan. Hingga detik terakhir, saat-saat terakhir, ia melawan. Semoga Tuhan memberi kita kesabaran dan semoga Tuhan mengasihani para martir kita."
MEMBICARAKAN korupsi di negara ini tak pernah ada habisnya. Korupsi selalu menawarkan banyak angle, banyak point of view, banyak sisi yang bisa diberitakan dan dicakapkan.
“NAMA Zarof Ricar paling nyolok. Terima suap biar hukuman ringan. Hukum ternyata soal harga, bukan keadilan.”
Salah satu penyebab deindustrialisasi dini terjadi, kata sejumlah analis, ialah Indonesia sempat terjangkit oleh penyakit dutch disease ringan.
WAJAHNYA tetap semringah meski selama 7 jam sejak pagi hingga sore menghadiri koordinasi pencegahan korupsi di Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi pada akhir April lalu.
VOX audita perit, littera scripta manet. Peribahasa Latin itu berarti 'suara yang terdengar itu hilang, sementara kalimat yang tertulis tetap tinggal'.
SELANGKAH lagi, sejarah demokrasi akan dipahat di New York, Amerika Serikat.
ACAP kali ada pejabat yang terlibat korupsi, saat itu pula muncul reaksi instan; naikkan saja gaji mereka.
HAMPIR tak ada negara setabah Iran. Dikepung sanksi ekonomi dari berbagai arah mata angin selama berbilang dekade, 'Negeri para Mullah' itu tetap kukuh.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved