Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
KOMISI Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan ada 43 daerah,di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, yang hanya memiliki satu pasangan calon kepala daerah untuk Pilkada 2024. Nantinya, dalam surat suara, pasangan calon kepala daerah itu akan melawan kotak kosong.
Untuk memenangi kontestasi Pilkada 2024, pasangan calon tunggal harus meraih suara 50% lebih atas kotak kosong. Namun, bagaimana jika kotak kosong yang justru menang? Undang-Undang Nomor 10/2016 tentang Pilkada sudah memitigasi hal tersebut, utamanya dalam Pasal 54D.
Pasal 54D ayat (3) menjelaskan, jika pasangan calon tunggal gagal meraup 50% suara dari pemiluh, digelar pilkada ulang pada tahun berikutnya atau dilaksanakan sesuai dengan jadwal yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan.
Baca juga : KPU Tetap Lanjutkan Tahapan Pilkada setelah Masa Perpanjangan
Pengajar hukum pemilu dari Universitas Indonesia, Titi Anggraini, mengatakan, frasa tahun berikutnya pada beleid tersebut adalah 2025, bukan 2029 saat pilkada serentak kembali digelar mengikuti siklus lima tahunan.
"Dalam penalaran yang secara wajar, terang benderang, dan logis, maka kalau calon tunggal kalah, pilkada diulang kembali di tahun berikutnya, yakni 2025," ujarnya dalam diskusi daring yang digelar The Constitutional Democracy Initiative (Consid), Minggu (1/9).
Saat kotak kosong menang pada Pilkada Kota Makassar 2018 lalu, pemilihan berikutnya digelar KPU pada 2020. Menurut Titi, hal itu dibenarkan karena kontestasi Pilkada 2018 masih menjadi satu rangkaian dengan penataan jadwal pilkada yang dimulai sejak 2015-2020 dalam rangka menggelar Pilkada Serentak 2024.
Baca juga : Ingin Mendukung Kotak Kosong? Inilah Penjelasan KPU
"Saat itu, pilkada ulangnya tidak pada 2019. Karena pilihan jadwal berikutnya itu ada, yakni di 2020. Lagi pula, di 2019 kan ada pemilu srentak nasional," jelasnya.
Oleh karena itu, Titi menilai narasi menggelar pilkada ulang pada 2029 bagi daerah yang calon tunggalnya kalah lawan kotak kosong adalah tidak masuk akal. Sebab, selama lima tahun ke depan, daerah tersebut bakal dipimpin oleh seorang penjabat. Baginya, narasi itu justru akan menyandera pemilih yang khawatir jika harus dipimpin penjabat.
"Pemilih nanti akan tersandera oleh kepemimpinan penjabat. 'Daripada penjabat memimpin lima tahun, pilkadanya masih lama, ya kita pilih calon tunggal saja.' Jangan seperti itu," kata Titi.
Sementara, pemerintah pusat sendiri ingin agar pelantikan pasangan kepala daerah hasil 2024 dipercepat agar daerah segera mendapatkan pemimpin definitif sehingga agenda pembangunan dapat berjalan dengan baik.
"Dari sisi konstruksi norma, itu kan yang utama adalah frasa diulang kembali pada tahun berikutnya. Jadi dalam konteks ini, mestinya yang diutamakan adalah menyegerakan supaya ada kepemimpinan daerah definitif," terang Titi.
LSI Denny JA Rilis Exitpool dan Quick Count Pilkada 2024 di Tujuh Provinsi
Penyandang DIsabilitas Gunakan Hak Pilihnya
Pemilu kredibel membutuhkan partai politik yang terus berbenah untuk memastikan berjalannya demokrasi internal partai agar berfungsi baik sebagai instrumen demokrasi.
Titi menjelaskan bahwa anggaran Pilkada yang bersumber dari APBD dapat menjadi tantangan dan kendala dalam menerapkan kebijakan tersebut pada Pilkada serentak 2024.
Karut-marut yang terjadi pada Pilkada Banjarbaru 2024 bermula dari putusan Bawaslu Provinsi Kalimantan Selatan yang mendiskualifikasi pasangan Aditya-Said di menit terakhir
MAHKAMAH Konstitusi (MK) diingatkan untuk tidak terpaku pada aspek formalitas dalam menyidangkan sengketa hasil Pilkada Kota Banjarbaru 2024.
Mahkamah Konstitusi (MK) dalam menangani perselisihan hasil pilkada akan dilihat pada parameter keterkaitan antara materi gugatan dan dampak keterpilihan
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved