Headline

Gencatan senjata diharapkan mengakhiri perang yang sudah berlangsung 12 hari.

Fokus

Kehadiran PLTMG Luwuk mampu menghemat ratusan miliar rupiah dari pengurangan pembelian BBM.

Kalender Hijriah Global Tunggal dan Tajdid Peradaban

Susiknan Azhari Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Ketua Divisi Hisab dan Iptek Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah
25/6/2025 05:00

MUHAMMADIYAH merupakan salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, bahkan di dunia, memiliki sejarah dan dinamika yang panjang serta kompleks dalam penentuan awal bulan Hijriah. Dalam perjalanan mereka, Muhammadiyah pernah menggunakan beberapa metode atau kriteria sesuai dengan hasil ijtihad kolektif, yang terakhir menggunakan metode hisab hakiki dengan kriteria wujudul hilal.

Menurut kriteria itu, bulan kamariah baru dimulai apabila pada hari ke-29 bulan kamariah berjalan saat matahari terbenam terpenuhi tiga syarat berikut secara kumulatif, yaitu (1) telah terjadi ijtimak, (2) ijtimak terjadi sebelum matahari terbenam, dan (3) pada saat matahari terbenam bulan (piringan atasnya) masih di atas ufuk.

Apabila salah satu dari kriteria tersebut tidak dipenuhi, bulan berjalan digenapkan 30 hari dan bulan baru dimulai lusa. Kriteria wujudul hilal mulai digunakan pada saat Majelis Tarjih dipimpin Kiai Muhammad Wardan Diponingrat. Dalam perjalanannya, muncul gagasan perlunya kehadiran kalender Hijriah global untuk mewujudkan kalender Hijriah yang mapan dan dapat dipedomani umat Islam sedunia.

Kini Muhammadiyah memasuki babak baru terkait dengan metode penentuan awal bulan kamariah dengan mengusung kalender Islam yang bersifat global. Pemikiran dan keinginan menghadirkan kalender Islam bersifat global itu telah lama mengalir di kalangan Muhammadiyah. Gagasan itu berawal dari M Din Syamsuddin ketika menjadi Ketua Umum Muhammadiyah. Ia menginginkan Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah agar menyelenggarakan pertemuan internasional membahas konsep ittihadu al-matali dan at-taqwim al-islamy al-‘alami dalam menghadirkan kalender Islam global untuk dijadikan pedoman bersama.

Untuk menindaklanjuti gagasan M Din Syamsuddin tersebut, diselenggarakan Simposium Internasional Towards a Unified International Calendar, bertempat di Hotel Syahid Jakarta, 4-6 September 2007/22-24 Syakban 1428 dan dibuka Wakil Presiden Republik Indonesia M Jusuf Kalla.

Secara organisatoris, rumusan kalender Islam global dimunculkan sejak Muktamar Muhammadiyah Ke-47 di Makassar pada 1436 H/2015 M, dan diperkuat di Muktamar Muhammadiyah Ke-48 di Surakarta pada 1443 H/2022 M. Berdasarkan kedua putusan tersebut Majelis Tarjih dan Tajdid mengkaji secara komprehensif dan menindaklanjuti pada Musyawarah Nasional (Munas) Tarjih Muhammadiyah Ke-32 di Pekalongan pada 1445 H/2024 M.

Muhammadiyah telah berketetapan menerapkan sebuah kalender yang bersifat global yang dikenal dengan Kalender Hijriah Global Tunggal (KHGT) berdasarkan Tanfidz Keputusan Pimpinan Pusat Muhammadiyah No 86/Kep/1.0/B/2025 tertanggal 4 Syakban 1446/3 Februari 2025. Perbedaan sekaligus keunggulan kalender itu ialah implementasi dan penerapannya yang bersifat global, yaitu diperuntukkan bukan hanya Indonesia, melainkan juga seluruh umat Islam dunia. Dengan kata lain, KHGT bukan hanya milik Muhammadiyah, melainkan juga milik peradaban Islam.

Selanjutnya, Pimpinan Pusat Muhammadiyah akan menyelenggarakan launching dan simposium internasional tentang Kalender Hijriah Global Tunggal pada Rabu, 29 Zulhijah 1446 H bertepatan dengan 25 Juni 2025 bertempat di Univesitas 'Aisyiyah (Unisa) Yogyakarta. Acara itu akan dihadiri para tokoh internasional, seperti Prof Dr Mehmet Gormez (Diyanet Turki), Dr Zulfiqar Ali Shah (FCNA USA), Dr Ali Jaballah (ECFR), pimpinan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), duta besar negara sahabat, Menteri Agama RI, ormas Islam, Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan para pegiat astronomi Islam di dunia.

Kegiatan itu menandai keberlakuan KHGT secara resmi di lingkungan Muhammadiyah. Selain itu, memperkenalkan kepada masyarakat Indonesia khususnya dan masyarakat dunia pada umumnya bahwa Muhammadiyah dalam penentuan awal bulan kamariah telah beralih dari kriteria wujudul hilal lokal menuju Kalender Hijriah Global Tunggal.

 

KHGT: MENYATUKAN UMAT, MEMBANGUN MASA DEPAN

Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah sebagaimana dinyatakan Abdul Munir Mulkhan dalam bukunya yang berjudul Warisan Intelektual KH Ahmad Dahlan dan Amal Muhammadiyah menyatakan, “Persatuan Islam itulah yang harus kita tuju… semua orang Islam harus menjadi badan satu yang berguna. Tandanya hidupnya bergerak dan tidak diam saja.” Spirit yang diajarkan Ahmad Dahlan itu sangat penting. Persatuan merupakan cita-cita luhur yang telah diperjuangkan sejak masa Nabi Muhammad SAW.

Dalam sejarah, perpecahan umat sering kali membawa dampak negatif bagi umat. Hal itu sebagaimana diisyaratkan QS Ali Imran ayat 103. Kasus perbedaan penentuan awal bulan kamariah tampak kecil dan sederhana. Namun, realitasnya persoalan itu berdampak besar dalam kehidupan nasional, regional, dan global. Muslim yang bertempat tinggal di wilayah minoritas sangat merasakan kesulitan ketika Idul Fitri terjadi perbedaan karena negara hanya memfasilitasi satu hari pelaksanaan salat Id. Karena itu, KHGT merupakan upaya konkret untuk menyatukan umat dalam konteks ibadah.

KHGT bukan sekadar proyek untuk mewujudkan unifikasi kalender Islam, melainkan juga merupakan bagian dari agenda besar tajdid peradaban Islam. Hal itu sebagaimana dikemukakan Hamim Ilyas, Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Tajdid, atau pembaruan, ialah semangat inti dalam Islam yang bertujuan menghidupkan kembali ajaran Islam yang autentik, sekaligus menjawab tantangan zaman.

Dalam konteks itu, KHGT menjadi simbol integrasi agama dan sains sekaligus mewujudkan visi global umat Islam. Hingga hari ini kalender Hijriah yang berkembang di masyarakat masih bersifat lokal dan tidak sinkron antara satu ormas dan ormas lainnya. Begitu pula antarnegara di belahan dunia. Perbedaan penetapan 1 Ramadan, 1 Syawal, dan hari-hari besar Islam lainnya menyebabkan 'perpecahan' dalam pelaksanaan ibadah umat Islam secara global. Persoalan itu tidak sekadar menyangkut ibadah, tetapi juga memunculkan dampak psikologis, sosial-kemasyarakatan, dan politik.

Kehadiran KHGT memiliki visi untuk merayakan harmoni dan kebersamaan dalam penentuan awal bulan kamariah secara global. Konsep itu tidak hanya memudahkan pengaturan ibadah, tetapi juga memperlihatkan kedewasaan dan kemandirian umat Islam dalam mengelola sistem waktu ibadah secara ilmiah dan terorganisasi berpandukan Al-Qur’an, As-Sunah, dan sains.

Dalam konteks itu, KHGT sebagai simbolisasi integrasi syariat, astronomi Islam, dan teknologi.KHGT juga memiliki dimensi geopolitik. Dunia Islam telah lama berpecah belah dalam berbagai aspek. Salah satunya persoalan unifikasi kalender Islam. Hampir setengah abad upaya unifikasi telah dilakukan. Karena itu, diharapkan, melalui KHGT, dunia Islam dapat menunjukkan kedaulatan ilmiah mereka dan membangun kepercayaan diri kolektif. KHGT merupakan langkah menuju civilizational agency, kemampuan umat Islam untuk menjadi pemeran aktif dalam pembangunan peradaban dunia.

Tajdid peradaban ialah pembaruan menyeluruh terhadap cara pandang, sistem nilai, struktur sosial, dan sistem pengetahuan umat Islam. Dalam sejarah Islam, tajdid selalu menjadi penanda zaman, dari masa Umar bin Khattab dengan reformasi administrasi, hingga Ibn Khaldun dengan teori sosialnya. Tajdid peradaban pada era digital memerlukan pembaruan institusi-institusi dasar kehidupan muslim, termasuk sistem kalender. Kalender ialah infrastruktur budaya dan spiritual umat.

Dengan membangun KHGT, umat Islam sedang membangun time consciousness baru yang bersifat kolektif-universal berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi. KHGT sebagai bagian dari tajdid peradaban juga menuntut keterlibatan berbagai pihak, seperti ilmuwan, ulama, pemerintah, dan masyarakat. Itu mencerminkan semangat syura (musyawarah) dan ijtihad jama’i (ijtihad kolektif), yang menjadi ciri khas pembaruan Islam sepanjang sejarah.

 

KHGT SEBAGAI SIMBOL PERADABAN BARU

KHGT menegaskan pentingnya pendekatan ilmiah yang dipandu syariat dalam kehidupan keagamaan. Dalam hal itu, penggunaan astronomi Islam, software simulasi hilal, dan perhitungan visibilitas hilal global menjadi kunci. Itu merupakan wujud integrasi antara syariat dan sains yang memperkuat legitimasi KHGT. Pendekatan itu juga menunjukkan Islam tidak antisains. Justru kehadirannya menjadi sarana mengintegrasikan antara agama dan sains, yang relevan dalam menjawab tantangan modernitas.

KHGT menuntut lahirnya fikih baru, fikih global, yang dapat menjawab kebutuhan umat lintas negara dan benua. Fikih itu berpijak pada maqasid al-syariah (tujuan-tujuan syariat), bukan hanya pada tekstualisme sempit. Dengan demikian, akan menghasilkan pemikiran yang solutif dan mencerahkan. Di sinilah diperlukan wawasan yang luas dan open mind. Fikih global mengedepankan maslahat, persatuan umat, dan keteraturan sosial.

Dalam konteks KHGT, itu berarti bahwa penetapan waktu ibadah harus mempertimbangkan keserempakan global, bukan hanya realitas lokal. Itu sejalan dengan prinsip raf’ al-haraj (menghilangkan kesulitan) dan taysir (kemudahan). Sekaligus sesuai dengan watak Islam yang universal.

KHGT menghadapi tantangan dari berbagai sisi, seperti resistensi fikih lokal yang masih berpegang pada rukyat secara literal dan ketidakpercayaan antarnegara muslim. Selain itu, banyak masyarakat muslim yang masih belum memahami pentingnya unifikasi kalender Islam. KHGT sering dianggap proyek elitis yang jauh dari realitas umat. Bahkan sering muncul stigma gagasan satu kalender, satu umat, satu peradaban dianggap tidak memiliki landasan syar’i yang kukuh.

Meskipun demikian, peluang KHGT juga besar. Pada era digital, umat Islam lebih mudah terhubung dan mengakses data astronomi secara real time. Generasi muda muslim yang menguasai teknologi informasi juga lebih siap menerima pendekatan ilmiah dalam fikih. KHGT dapat menjadi bagian dari agenda pendidikan Islam, media sosial dakwah, dan program internasionalisasi Islam moderat. Jika dikemas dengan baik, KHGT akan menjadi simbol kemajuan Islam dan daya saing umat muslim di tingkat global.

Muhammadiyah sebagai peletak dasar penggunaan hisab dalam penentuan awal bulan kamariah di Indonesia menjadi pionir penting dalam gagasan KHGT. Melalui Majelis Tarjih dan Tajdid, Muhammadiyah tidak hanya menawarkan sistem hisab global, tetapi juga mengusung pendekatan tajdid yang inklusif dan rasional.

Sebagai gerakan pembaruan, Muhammadiyah memahami bahwa KHGT bukan sekadar persoalan teknis perkalenderan, melainkan juga dari reformasi besar dalam beragama. KHGT ialah instrumen membangun kesatuan umat, keteraturan sosial, dan etos ilmiah dalam beragama. Forum-forum seperti Halaqah Nasional dan Simposium Internasional KHGT yang diadakan Muhammadiyah menjadi ruang dialog, konsolidasi, membangun jejaring ahli aplikasi di dunia, dan edukasi penting bagi pemahaman umat.

Apalagi, kehadiran aplikasi Hisab Muhammadiyah (Hisabmu) akan menjadi daya tarik tersendiri bagi kaum milenial dan memudahkan dalam memahami KHGT. Di sinilah Muhammadiyah memainkan peran mereka sebagai agent of change dalam tajdid peradaban Islam.

KHGT memadukan keduanya. Ia menawarkan kesatuan spiritual, dengan ibadah serentak, dan kesatuan struktural, dengan sistem waktu yang seragam. Lebih dari itu, KHGT menyampaikan pesan kepada dunia, bahwa Islam ialah agama yang teratur, rasional, dan terbuka terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi.

KHGT ialah proyek kolektif umat yang bisa menjadi simbol bangkitnya peradaban Islam yang baru Islamic cosmopolitanism yang tidak lagi terkotak-kotak oleh batas negara atau mazhab. KHGT juga merupakan bentuk perlawanan simbolis terhadap fragmentasi umat. Dengan satu kalender, umat Islam dapat merasakan kembali denyut nadi ukhuwah global yang selama ini terfragmentasi oleh sekat-sekat nasionalisme, otoritas lokal, dan warisan kolonial.

 

PENUTUP

KHGT bukan sekadar aktivitas astronomi Islam atau teknis keagamaan. Ia manifestasi dari semangat tajdid peradaban Islam yang menggabungkan ilmu pengetahuan, fikih kontemporer, dan semangat persatuan umat. Dalam jangka panjang, KHGT akan menjadi pilar penting dalam bangunan peradaban Islam yang baru, yang berakar pada tradisi, tetapi terbuka pada inovasi.

Umat Islam memerlukan keberanian untuk melangkah dari zona nyaman menuju transformasi kolektif. KHGT ialah langkah nyata ke arah itu. Seperti Nabi Ibrahim yang memandang langit untuk mencari Tuhannya, KHGT mengajak umat Islam memandang langit, tidak sekadar untuk melihat bulan, tetapi juga untuk membangun masa depan bersama keyakinan dan tindakan. Wa Allahu A’lam bi ash-Shawab.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya