Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Menyalakan Imajinasi di Ruang Kelas

Youlin Afrineta Guru SD Sekolah Sukma Bangsa Lhokseumawe
26/5/2025 05:05
Menyalakan Imajinasi di Ruang Kelas
(MI/Duta)

IMAJINASI merupakan cermin pikiran anak-anak yang muncul secara spontan dan penuh rasa ingin tahu. Dalam film Alice in Wonderland, kita diperlihatkan kekuatan imajinasi yang menciptakan dunia aneh, tak terduga, dan penuh simbolisme—sesuatu yang jarang ditemukan dalam cerita anak-anak pada umumnya. Perubahan ukuran tubuh Alice, permainan kata absurd, dan makhluk-makhluk aneh menggambarkan dunia di mana segala kemungkinan terjadi.

Dunia ini merefleksikan kebingungan anak-anak saat menghadapi dunia orang dewasa. Imajinasi digunakan anak memproses pengalaman baru, sering kali tak masuk akal, sebagai bagian dari eksplorasi kognitif dan emosional mereka.

 

IMAJINASI: FONDASI KREATIVITAS DAN KEBERANIAN BERPIKIR

Imajinasi bukan sekadar sarana melarikan diri ke dunia fantasi, tetapi juga merupakan pondasi penting dari proses berpikir kreatif, inovatif, dan solutif. Dalam konteks pendidikan, imajinasi memungkinkan siswa membayangkan kemungkinan-kemungkinan yang belum terjadi, menciptakan hubungan baru di antara gagasan-gagasan yang berbeda, dan memvisualisasikan solusi atas persoalan nyata.

Howard Gardner, dalam teori Multiple Intelligences-nya, menyebutkan bahwa imajinasi berperan besar dalam pengembangan kecerdasan interpersonal, intrapersonal, dan spasial, yang semuanya sangat penting dalam pembelajaran holistik. Ketika siswa diberi ruang berimajinasi—melalui aktivitas seperti menulis cerita, menggambar ide-ide abstrak, bermain peran, atau membuat eksperimen dari barang bekas—mereka tidak hanya mempelajari isi kurikulum, tetapi juga membentuk kepribadian berani mengambil risiko intelektual. Mereka belajar bahwa kesalahan adalah bagian dari proses, bahwa gagasan tidak biasa patut dihargai, dan berpikir berbeda bukanlah kelemahan, melainkan kekuatan yang dapat membuka jalan menuju inovasi.

Namun sayangnya, banyak ruang kelas masih terjebak dalam paradigma lama yang mengutamakan hafalan, ketaatan, dan jawaban tunggal. Budaya sekolah yang terlalu menekankan evaluasi standar dan hasil akhir sering kali menyingkirkan proses eksploratif yang justru menjadi inti dari pembelajaran bermakna. Dalam suasana seperti itu, siswa menjadi lebih sering mengulang jawaban benar ketimbang membentuk pertanyaan kritis. Mereka lebih terbiasa menyalin informasi ketimbang mengolah dan menciptakan sesuatu yang baru. Ketakutan akan kesalahan—baik dari sisi siswa maupun guru—menjadi penghalang utama tumbuhnya keberanian intelektual.

Dalam jangka panjang, hal ini menciptakan generasi pembelajar pasif, tidak percaya diri, dan kurang memiliki fleksibilitas berpikir. Padahal, di era yang menuntut adaptabilitas dan pemikiran kreatif seperti sekarang, sekolah seharusnya menjadi tempat yang membebaskan, bukan mengekang. Membangkitkan kembali imajinasi di ruang kelas bukan sekadar upaya menyenangkan siswa, melainkan juga strategi pendidikan esensial membangun karakter pembelajar seumur hidup.

 

PERAN GURU SEBAGAI PEMANTIK IMAJINASI

Guru memegang peran kunci dalam menghidupkan imajinasi siswa. Di tangan guru, ruang kelas dapat berubah menjadi panggung petualangan intelektual yang kaya makna dan emosi. Pembelajaran tidak cukup hanya menyampaikan materi. Ia harus dirancang menjadi pengalaman hidup, menyenangkan, dan membangkitkan rasa ingin tahu.

Guru dapat menciptakan suasana belajar yang mengajak siswa untuk aktif mengeksplorasi gagasan—mulai dari membayangkan kemungkinan, menceritakan ide-ide liar mereka, menjelajah melalui diskusi terbuka, hingga memahami konsep dengan cara yang personal dan kontekstual. Di sinilah peran guru sebagai fasilitator dan perancang pengalaman menjadi sangat penting: guru bukan hanya mengajar, tetapi juga menghidupkan proses belajar itu sendiri, membuatnya dekat, relevan, dan berkesan bagi setiap anak.

Pendekatan ini juga menuntut perubahan dalam cara guru mengajukan pertanyaan. Daripada memberikan soal yang mengarah pada satu jawaban benar, guru sebaiknya menyusun pertanyaan terbuka yang mendorong siswa berpikir luas dan mendalam. Sebuah pertanyaan seperti ‘bagaimana caramu membuat air hujan bisa kembali ke langit?’ tidak hanya melatih pemahaman tentang siklus air, tetapi juga mengundang siswa merespons dengan cara kreatif—entah melalui cerita imajinatif, gambar berwarna, puisi singkat, atau eksperimen sederhana. Pertanyaan seperti itu membuka ruang interpretasi, menumbuhkan keberanian berpendapat, dan memupuk keterampilan berpikir divergen. Dalam prosesnya, siswa bukan hanya belajar menjawab, tetapi juga belajar bertanya, menalar, mencipta, dan berani menjadi unik.

 

PRAKTIK BAIK

Sekolah Sukma Bangsa telah menunjukkan praktik baik dalam mengintegrasikan imajinasi ke dalam pembelajaran sehari-hari. Salah satu contohnya ialah pendekatan kreatif dalam pelajaran Bahasa Indonesia kelas 2 saat membahas siklus air. Alih-alih hanya menjelaskan tahapan-tahapan seperti penguapan dan hujan secara verbal, guru mengajak siswa membayangkan prosesnya, merasakannya secara emosional, menggambarkannya, hingga membuat miniatur dari bahan bekas. Pendekatan ini menjadikan pelajaran terasa seperti petualangan yang menyenangkan dan mudah diingat siswa.

Lebih jauh, sekolah ini menerapkan program class project sebagai strategi pembelajaran berbasis imajinasi. Dalam setiap mata pelajaran, guru diwajibkan merancang proyek kreatif yang memungkinkan siswa berkarya. Dari miniatur kebun binatang, Ka’bah, alat pernapasan, hingga jam dari kardus bekas dan bel listrik, semua karya tersebut merupakan hasil eksplorasi imajinatif siswa. Proyek-proyek ini melatih siswa berpikir kreatif, bekerja sama, serta berani mencoba dan gagal. Guru berperan aktif sebagai pembimbing, sementara siswa menjadi pelaku utama pembelajaran.

Tidak berhenti di ruang kelas, hasil karya siswa juga mendapat ruang publikasi dan apresiasi melalui kegiatan Apresiasi Potensi Diri (APD). Dalam kegiatan itu, siswa memamerkan hasil proyek mereka sekaligus menunjukkan kemampuan lain seperti menari, menyanyi, berpuisi, bermain drama, dan menampilkan hasil ekstrakurikuler. APD menjadi panggung imajinasi yang membuka ruang ekspresi luas dan meningkatkan kepercayaan diri siswa. Kehadiran orangtua sebagai penonton turut memperkuat semangat dan antusiasme siswa dalam berkarya.

Melalui serangkaian praktik ini, Sekolah Sukma Bangsa menjadikan imajinasi bukan sekadar pelengkap, melainkan juga inti dari pendekatan pendidikan yang bermakna. Guru menjadi fasilitator yang menciptakan ruang aman bagi siswa bereksplorasi. Dengan metode seperti bermain peran, diskusi, menggambar, menulis, hingga mencipta karya, imajinasi dijadikan jembatan untuk menjangkau pemahaman lebih dalam dan pengalaman belajar yang membekas.

Gilang (2023) menyebutkan bahwa imajinasi adalah kekuatan tanpa batas yang membawa kita melewati sekat-sekat kenyataan. Imajinasi memungkinkan kita melihat lebih dari yang kasatmata, menjadikan yang mustahil terasa mungkin. Pendidikan yang memberi ruang bagi imajinasi akan melahirkan generasi yang tidak hanya pintar secara akademik, tetapi juga kaya gagasan, tangguh, dan berani menghadapi dunia yang terus berubah.

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya