Headline
Serangan Israel ke Iran menghantam banyak sasaran, termasuk fasilitas nuklir dan militer.
Serangan Israel ke Iran menghantam banyak sasaran, termasuk fasilitas nuklir dan militer.
Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.
DI dalam tubuh demokrasi, bahasa kekuasaan seharusnya bekerja bukan sekadar untuk menyampaikan kebijakan, melainkan juga untuk membentuk kepercayaan. Dalam setiap kalimat pejabat publik, yang terkandung bukan hanya informasi, melainkan juga posisi moral, intensi politik, dan cerminan budaya negara. Karena itulah, di tengah situasi krisis, bukan hanya keputusan yang diuji, melainkan juga cara negara berbicara.
Tanggal 19 Maret 2025 menjadi penanda penting dalam lanskap demokrasi simbolik RI. Hari itu, kantor redaksi Tempo menerima kiriman kepala babi. Tiga hari berselang, 22 Maret, mereka kembali menerima paket, kali ini berisi enam bangkai tikus tanpa kepala. Tidak ada sepatah kata pun yang disisipkan dalam kedua paket itu. Justru dalam kesenyapannya, makna dari teror itu menjadi sangat lantang. Ia bukan sekadar tindakan kriminal, melainkan kekerasan simbolis yang terstruktur, dirancang untuk mempermalukan, mengintimidasi, dan membungkam.
Kepala babi tidak datang sebagai benda mati. Dalam imajinasi kultural Indonesia--terutama bagi kelompok muslim--ia merupakan representasi dari yang najis, yang hina, yang menjijikkan. Ia merupakan simbol penghinaan paling ekstrem terhadap identitas, integritas, dan kesucian. Tikus, sebagai makhluk yang dalam banyak budaya dikaitkan dengan penyakit, kelicikan, dan kotoran, ketika dihadirkan dalam keadaan tanpa kepala, menyampaikan satu pesan tambahan: pemusnahan, pemenggalan martabat, dan penghapusan eksistensi. Bersama-sama, kedua simbol itu mengonstruksi narasi teror yang sangat dalam: ini bukan lagi soal individu, ini ialah soal serangan terhadap nalar kolektif dan kebebasan berpikir.
Namun, yang lebih menyesakkan dari tindakan itu ialah respons dari negara. Kepala Staf Kepresidenan menanggapi peristiwa itu dengan berkata, "Sudah, dimasak saja." Sebuah kalimat yang diucapkan enteng, dengan nada bercanda, dalam situasi yang mestinya menuntut ketegasan dan empati. Kalimat ini bukan hanya blunder komunikasi; ia merupakan indikasi paling jelas dari krisis kebudayaan kekuasaan kita.
Dalam The Human Condition, Hannah Arendt menulis bahwa ruang publik dibentuk dari kemampuan manusia untuk 'berkata-kata dan bertindak' secara bermakna. Artinya, politik bukan hanya soal keputusan dan hukum, melainkan juga soal bagaimana kekuasaan mengartikulasikan dirinya secara etis. Dalam kerangka itu, respons bercanda terhadap kekerasan simbolik bukan hanya tidak etis, melainkan juga membuktikan negara tidak memiliki kosakata dasar untuk menyatakan keberpihakan moral.
Simbol dalam politik bekerja secara implisit. Ia tidak membutuhkan argumentasi. Ia hanya perlu hadir--dalam bentuk benda, gestur, atau diam--dan efeknya menyebar. Dalam konteks ini, kepala babi dan bangkai tikus ialah bentuk ujaran nonverbal dari kekuatan gelap yang ingin membungkam. Ketika negara gagal membaca simbol itu, yang gagal bukan sekadar kepekaan, melainkan juga struktur etika negara secara keseluruhan.
Judith Butler dalam Excitable Speech menyatakan bahwa ujaran tidak netral. Ia merupakan tindakan performatif yang menciptakan realitas sosial baru. Kalimat pejabat bukan sekadar suara, melainkan juga tindakan politik. Ketika kekuasaan memilih bercanda di tengah teror simbolik, yang terbentuk ialah normalisasi terhadap kekerasan, dan lebih dalam lagi: legitimasi diam-diam terhadap pelakunya.
Simbol kekerasan, dalam konteks negara modern, bukan sekadar alat intimidasi. Ia adalah arena perebutan makna. Di titik itu, pemikiran Pierre Bourdieu menjadi krusial: negara ialah entitas yang memonopoli kekerasan simbolik, bukan hanya fisik. Ketika negara tidak menggunakan kekuasaannya untuk menafsirkan simbol sebagai ancaman terhadap republik, ia sedang menyerahkan arena itu kepada kekuatan-kekuatan nonnegara yang mengendalikan ketakutan warga. Maka itu, yang terjadi bukan hanya kekosongan makna, melainkan juga delegitimasi negara sebagai pemegang otoritas simbolik tertinggi.
Ketika makna dibiarkan dikuasai oleh mereka yang menyebar ancaman, bukan yang menegakkan hukum, negara kehilangan wibawanya di ranah yang paling subtil namun paling penting: ruang imajinasi publik.
Masalah itu menjadi semakin serius karena tidak ada mekanisme korektif yang bekerja. Parlemen tidak menegur. Presiden tidak mengoreksi. Lembaga etik diam. Bahkan, sebagian masyarakat sipil pun terjebak dalam logika banal: bahwa ini hanya candaan. Dalam situasi seperti ini, kekuasaan belajar satu hal: bahwa diam tidak menimbulkan konsekuensi. Jika berbicara pun tidak mengubah apa-apa, tak ada dorongan untuk mengubah gaya bicara kekuasaan.
Ini merupakan bentuk paling telanjang dari kegagalan bahasa negara. Bahasa tidak hanya gagal menyampaikan makna, tetapi juga justru menghancurkan makna itu sendiri. Foucault, dalam Power/Knowledge, menulis bahwa kekuasaan selalu terjalin dengan produksi wacana. Negara, dengan seluruh instrumen komunikasinya, tidak bisa netral dalam berbicara. Maka itu, ketika simbol kekerasan dibalas dengan candaan, negara sedang menegaskan satu posisi: bahwa rasa takut publik tidak cukup penting untuk ditanggapi secara serius.
Di titik ini, kita perlu bertanya secara terang: apakah negara masih tahu bagaimana seharusnya berbicara dalam demokrasi? Apakah negara mengerti bahwa diam atau candaan di tengah kekerasan bukanlah bentuk netralitas, melainkan justru keberpihakan yang aktif terhadap pelaku? Ketika kekuasaan kehilangan kapasitas untuk membedakan luka dan lelucon, ia telah kehilangan legitimasi simbolisnya sebagai pelindung warga.
Demokrasi yang hanya hidup dalam prosedur, tetapi mati dalam gestur ialah demokrasi yang cacat. Kita telah terlalu lama hidup dalam demokrasi yang memuji 'stabilitas politik' sambil membiarkan kekerasan simbolis berulang, tidak pernah ditanggapi dengan serius. Kita telah membiarkan pejabat berbicara sesuka hati tanpa dituntut bertanggung jawab secara simbolis. Akibatnya, kita membangun sistem kekuasaan yang fasih dalam retorika, tapi bisu terhadap empati.
Mari kita ajukan skenario yang lebih telanjang. Bayangkan jika kepala babi itu dikirim ke rumah pejabat tinggi atau jika bangkai tikus tanpa kepala dilemparkan ke gerbang istana negara. Apakah negara masih akan bercanda? Apakah akan keluar kalimat 'sudah, dimasak saja'? Atau apakah justru seluruh alat negara akan bergerak, membentuk tim investigasi, menggelar jumpa pers, dan mengutuk tindakan itu sebagai teror terhadap Republik?
Pertanyaan itu penting bukan untuk membandingkan penderitaan, melainkan untuk membongkar ketimpangan simbolik dalam demokrasi kita. Negara lebih cepat bersikap jika ancaman menyentuh dirinya, tetapi lamban ketika yang diteror ialah rakyat biasa, media, atau suara-suara kritis. Ketimpangan itu bukti paling jelas bahwa negara kita belum selesai membentuk diri sebagai Republik yang egaliter.
Republik bukan hanya bangunan hukum. Ia merupakan struktur moral yang hidup dari keberanian simbolis kekuasaan untuk menyatakan posisi. Bukan dalam pidato tahunan, melainkan dalam respons terhadap momen krisis yang paling konkret, paling menyakitkan. Ketika negara gagal menunjukkan keberpihakan terhadap korban, publik pun belajar satu hal: bahwa rasa takut mereka tidak relevan bagi kekuasaan.
Rasa takut yang dibiarkan tumbuh tanpa jawaban dari negara akan menggerogoti demokrasi dari dalam. Lama-lama publik tidak lagi berharap pada negara. Mereka mulai mencari perlindungan di luar konstitusi, mulai menertawakan lembaga, dan pada akhirnya: mulai meragukan Republik itu sendiri. Di titik itu, negara bukan lagi gagal menjadi pelindung, melainkan sedang menyulam kehancuran simbolisnya sendiri.
“Sudah dimasak saja.” Kalimat ini akan dikenang bukan sebagai guyonan, melainkan sebagai prasasti sunyi dari negara yang kehilangan nalar simbolis dan kepekaan etis. Ia akan terus diulang, dikutip, dipakai sebagai pengingat negara kita memilih tertawa di hadapan teror.
Sejarah telah mengajarkan satu hal: kehancuran Republik tidak selalu datang dari kudeta atau perang. Ia bisa datang dari satu kalimat. Satu simbol yang diabaikan. Satu negara yang tidak tahu--atau enggan tahu--bagaimana caranya berbicara.
Hasan Nasbi dinilai telah mengeluarkan pernyataan dan komunikasi pemerintah yang buruk dan apatis terhadap ancaman kepada media.
Kebebasan pers dan demokrasi yang dibangun pasca reformasi 1998 ternyata mengalami penurunan, bukan hanya dari sisi negara, tetapi juga masyarakatnya.
Dosen Pidana Fak. Hukum Universitas Pamulang, Halimah Humayrah Tuanaya menilai teror kepala babi merupakan ancaman serius kebebasan pers. Ia juga meminta LPSK melindungi jurnalis Tempo.
Ahli Komunikasi pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM Wisnu Martha Adiputra menjelaskan peristiwa teror ke kantor Tempo upaya pembungkaman pers. Padahal pers bagian dari demokrasi.
PEMIMPIN Redaksi Tempo Setri Yasra menegaskan bahwa intimidasi terhadap Kantor dan jurnalis Tempo dilakukan secara terstruktur.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved