Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Menjadi Guru Punk

Satia Zen Direktur Pendidikan Yayasan Sukma
02/3/2025 05:10
Menjadi Guru Punk
(Dok. Pribadi)

AKHIR-AKHIR ini kita disuguhi drama menarik terkait dengan penarikan lagu yang menyinggung institusi hukum di negeri ini. Lagu tersebut ditulis dan dinyanyikan duo seniman yang salah satunya berprofesi sebagai guru. Menarik untuk mengamati respons yang beraneka ragam dari berbagai pihak--dari sekolah tempat guru/seniman bekerja, institusi hukum, organisasi guru, Kemendikdasmen, hingga masyarakat luas.

Respons yang muncul meliputi kecaman, pemecatan, pembelaan, hingga tuntutan agar guru/seniman diberikan perlindungan. Yang tak kalah menarik ialah alasan pemecatan tersebut: gaya berpakaian guru ketika tampil sebagai seniman dianggap melanggar kode etik sekolahnya.

Untuk menyalurkan hobinya sebagai seniman yang membawakan lagu bergenre punk dengan lirik kritis, guru tersebut menyembunyikan identitasnya dengan mengenakan pakaian khusus dan topeng saat tampil pada waktu luangnya. Langkah cerdik itu diambil karena menggabungkan dua peran yang sangat berbeda dianggap sulit. Namun--sayangnya--strategi tersebut tidak mampu melindungi kariernya sebagai guru meskipun identitasnya sebagai seniman telah diakui oleh masyarakat luas.

Pertanyaan yang muncul ialah apakah guru harus menyembunyikan jati diri mereka di luar sekolah dan seberapa jauh profesi mendikte kehidupan pribadi mereka. Apakah guru hanya direduksi pada atribut tertentu sesuai dengan narasi dominan? Mungkin narasi lama yang menggambarkan guru sebagai sosok yang selalu dituntut secara berlebihan--dengan gaji kecil, sering terlambat, dan status yang tidak pasti--sudah tidak sesuai dengan realitas saat ini sehingga perlu dipikirkan ulang seperti apa sosok guru yang sebenarnya kita butuhkan.

Kehadiran guru/seniman itu, menurut saya, memberikan angin segar dan warna baru bagi narasi guru di Indonesia. Apalagi pilihan genre musik yang dimainkannya merupakan bagian dari gerakan global yang identik dengan pemberontakan dan perlawanan terhadap budaya dominan. Hal itu bisa jadi berdasarkan munculnya gerakan tersebut di Inggris. Punk konon ialah singkatan dari public united not kingdom pada 1970-an yang kemudian tersebar ke seluruh dunia. Jangan-jangan, menilik dari narasi mengenai profesi guru di atas, punk justru diperlukan untuk melawan narasi dominan tersebut.

 

PUNK SEBAGAI PRAKTIK SOSIAL

Dunn (2017) menggambarkan punk sebagai sekumpulan praktik sosial yang muncul dari imajinasi mengenai cara baru untuk menjadi (new ways of being) sebagai ekspresi dari kemuakan mereka akan budaya arus utama dan produk-produknya. Lebih jauh lagi, Dunn menekankan proses itu sebagai dua arah: menolak status quo dan menerapkan etos do-it-yourself (2017). Namun, bagaimana pendekatan punk dapat digunakan untuk merumuskan narasi baru mengenai profesi guru?

Dalam tulisannya mengenai dampak dari akuntabilitas berlebihan terhadap pendidikan guru, Vass (2023) menggambarkan bagaimana punk dapat digunakan sebagai praktik sosial kritis yang mempertanyakan budaya dominan dalam pendidikan guru, seperti mempertanyakan dan melakukan kritik terhadap kebijakan pendidikan yang mereproduksi ketimpangan sosial dan memperlebar kesenjangan.

Guru di Indonesia perlu melihat kembali posisi mereka sebagai bagian dari reproduksi tersebut. Misalnya, guru dapat menuntut agar pemerintah daerah dan pusat merumuskan pola rekrutmen yang adil, transparan, dan berimbang disertai pola dukungan yang sesuai dengan tantangan yang beragam di daerah.

Kesetaraan dalam rekrutmen dan distribusi guru dapat memastikan ketersediaan guru berkualitas di daerah terpencil dan daerah perkotaan yang mempersempit kesenjangan. Tentu ada banyak contoh lain karena memang--sayangnya--sistem pendidikan kita masih jauh dari kata adil, setara, dan inklusif.

Dalam konteks ini, guru juga harus melakukan refleksi diri dengan menerapkan empat nilai dasar dari gerakan punk sebagai pedoman awal. Menurut Way (2021), nilai-nilai tersebut meliputi pendekatan do-it-yourself, perlawanan, kesadaran politik, dan praktik komunitas.

Sebagai contoh, guru harus berani melakukan penyesuaian yang bertanggung jawab dalam metode pengajaran mereka agar dapat memenuhi kebutuhan siswa. Bila terdapat strategi yang berorientasi pada kehidupan perkotaan, misalnya kegiatan mengunjungi pusat kota sebagaimana tercantum dalam buku teks, guru harus mencari cara untuk mengadaptasi atau mengganti kegiatan tersebut dengan alternatif yang sesuai dalam konteks pedesaan, terutama di lingkungan yang mungkin tidak memiliki fasilitas serupa dan menghindari nilai-nilai konsumerisme.

Pada saat yang sama, guru harus mengkritisi kecenderungan penulis buku dan bahan ajar yang sering mengabaikan keberagaman realitas hidup anak-anak Indonesia. Mereka dapat menyalurkan opini melalui media massa, buku, atau outlet lainnya terkait dengan isu tersebut. Guru-guru dengan keprihatinan yang sama bisa bersama-sama mengevaluasi, menelaah ulang, dan memodifikasi bahan ajar yang ada. Menjadi guru yang berlandaskan nilai-nilai punk berarti memiliki kesadaran, melawan dengan kecerdasan, bertindak secara sistematis, serta membangun komunitas yang merumuskan praktik pedagogis dan mengubah pengalaman belajar siswa di sekolah.

 

PEDAGOGI PUNK

Berdasarkan penjelasan di atas, budaya punk tidak selalu identik dengan penampilan yang mencolok, tato, atau musik yang bising. Walaupun unsur-unsur itu memang mencerminkan ekspresi khas dari gerakan punk yang bersifat disruptif, inti utamanya ialah memetik pelajaran dari perspektif dan kepekaan yang melekat pada punk.

Guru perlu menerapkan sikap kritis dalam hubungan sehari-hari dengan siswa, rekan sejawat, dan komunitas agar mereka tidak ikut memperpetuasi ketidakadilan, kesenjangan, dan ketidaksetaraan. Dalam konteks ini, Smith dkk (2017) menyatakan bahwa punk memiliki kemiripan dengan praktik pedagogi yang baik yant mana keduanya bersifat dinamis dan responsif.

Dalam hal ini, pedagogi punk juga memiliki akar yang sama dengan aliran pendidikan kritis. Namun, berbeda dari pendidikan kritis, Kahn-Egan (1998) lebih jauh lagi menggambarkan pedagogi punk sebagai pendekatan yang mendorong siswa untuk melakukan perlawanan karena berdiri diam ialah sia-sia, demikian juga pemberontakan yang tanpa makna, sehingga pembelajaran seyogianya mendorong siswa untuk mempertanyakan otoritas melalui pola pikir kritis dan perdebatan.

Pada saat bersamaan, dengan menggunakan punk pedagogi, guru perlu melakukan refleksi atas kecenderungan praktik pengajaran mereka yang mungkin menghilangkan individualitas siswa dan hanya menjadikan mereka bagian tak bernama dan tak berwajah dalam sebuah institusi.

Harapannya, baik guru maupun siswa dapat hadir sepenuh jiwa, dan diterima sepenuh hati dengan keseluruhan identitas mereka di sekolah-sekolah kita tanpa perlu bersembunyi di balik atribut topeng dan baju yang berbeda.

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya