Headline
Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.
Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.
Kawasan Pegunungan Kendeng kritis akibat penebangan dan penambangan ilegal.
MENGARUNGI 2024, industri perbankan nasional berada dalam mode waspada. Saat mengawali 2025, kondisinya pun belum berubah. Likuiditas dalam sistem perbankan terus mengetat. Volume dana yang dihimpun dari simpanan masyarakat secara umum tidak mampu membiayai pinjaman yang disalurkan.
Pengetatan likuiditas industri perbankan terkonfirmasi pula dari nilai relatifnya. Data Bank Indonesia (BI) menunjukkan pertumbuhan kredit secara tahunan lebih tinggi daripada persentase kenaikan penghimpunan dana pihak ketiga (DPK). Bahkan, tren selisih di antara kedua variabel itu juga terus melebar.
Dua indikator di atas mengabarkan perbankan mengalami kelangkaan likuiditas dalam melaksanakan fungsi intermediasi. Fungsi intermediasi keuangan menjembatani antara pihak berlebih dana dan pihak butuh dana. Pihak berlebih dana sejatinya bisa langsung meminjamkan dana mereka kepada pihak yang butuh dana.
Tingginya kebutuhan dana niscaya tidak akan terpenuhi dari transaksi langsung secara individual. Dengan berangkat dari situ, bank hadir menghimpun dana. Meskipun dalam jumlah yang relatif kecil, luasnya skala operasi bank membuat dana yang terkumpul mampu memenuhi besarnya kebutuhan dari pihak yang perlu dana.
Kiprah perbankan tidak henti sampai di situ. Selain intermediasi, bank mengemban fungsi transformasi maturitas. Di satu sisi, simpanan nasabah dalam jumlah kecil biasanya bertenor jangka pendek. Sementara itu, debitur perbankan membutuhkan pinjaman dana dengan masa pengembalian jangka panjang.
Terlepas dari tenggat penyimpanannya, dana yang dihimpun dari nasabah tidak boleh disalurkan seluruhnya menjadi kredit. Porsi tertentu DPK mutlak harus disimpan sebagai cadangan. Besaran cadangan itu dikenal sebagai reserve requirement yang harus disimpan di bank sentral dalam bentuk rekening giro.
Dalam konteks Indonesia, reserve requirement lebih populer dikenal dengan giro wajib minimum (GWM). Besaran GWM yang ditetapkan BI saat ini sebesar 9%. Artinya, dari Rp100 dana yang terkumpul dari nasabah, maksimum hanya Rp91 yang diizinkan jadi penyaluran kredit.
Sampai di sini, pemangkasan GWM diklaim sebagai solusi untuk melonggarkan likuiditas. Besaran rasio GWM toh belum ‘kembali’ pada masa prapandemi covid-19 di level 6%. Kalkulasi sederhana menunjukkan setiap penurunan GWM 100 basis poin akan meningkatkan likuiditas Rp90 triliun.
Kenaikan likuiditas tersebut setidaknya bisa menutup kekurangan baik secara absolut maupun relatif antara penyaluran kredit dan penghimpunan DPK. Dalam cakupan yang lebih luas, pemangkasan GWM niscaya mendorong fungsi intermediasi dan transformasi maturitas menjadi lebih terbuka.
Kenaikan kuantitas, sesuai dengan hukum pasar, akan menentukan harga ekuilibrium. Tambahan ketersediaan likuiditas (yang dipicu dari pemangkasan GWM) akan menurunkan biaya dana (cost of fund). Penurunan suku bunga kredit ialah manfaat lain yang bisa diturunkan dari pemotongan GWM.
Kendati masuk akal, pemangkasan GWM sebagai representasi sikap (stance) kebijakan makroprudensial BU senantiasa harus mengacu pada asas akuntabilitas. Pertumbuhan DPK yang lebih kecil daripada pertumbuhan kredit, toh, lebih didorong fenomena ‘mantab’, alias makan tabungan.
Golongan masyarakat kelas menengah dan bawah sudah sekian lama terpapar oleh imbas negatif pelemahan ekonomi. Pemutusan hubungan kerja, usaha mandiri yang seret, dan penghasilan yang susut bermuara pada daya beli. Mereka merespons semua itu dengan dissaving atas simpanan mereka di perbankan.
Kemiripan cerita berlaku pada sisi kredit. Kendati positif, pertumbuhan kredit perbankan secara industri masih berada dalam kisaran target. Itu pun ada faktor insentif KLM (kebijakan likuiditas makroprudensial). Seandainya tidak ada insentif KLM, target pertumbuhan kredit sangat boleh jadi akan meleset.
Alhasil, perbankan seharusnya ‘tahu diri’. Mereka boleh saja menuntut pemotongan GWM seandainya pertumbuhan kredit telah melampaui target yang ditetapkan BI atau OJK. Dengan demikian, pemangkasan rasio GWM agaknya tidak terlalu mendesak jika pertumbuhan kredit dijadikan sebagai alibi primer.
Rendahnya pertumbuhan kredit dan tingginya suku bunga kredit, toh, sudah direspons BI dengan pemotongan suku bunga acuan, BI rate, pada September 2024 dan Januari 2025. Kebijakan pemangkasan suku bunga acuan dan GWM dalam waktu yang berdekatan justru berisiko menimbulkan efek destabilisasi.
Tambahan likuiditas perbankan, pada saat industri sedang konsolidasi setelah fase kontraksi, malah bisa tersalur ke instrumen lain guna mendapatkan imbal hasil yang lebih atraktif. Sinyalemen SRBI (sekuritas rupiah Bank Indonesia) berperan sebagai substitut kredit seolah menjadi argumen yang valid.
Perlu dicatat pula, rasio GWM, toh, berlaku sama untuk semua bank. Oleh karenanya, pemangkasan GWM sangat boleh jadi akan memperparah sebaran likuiditas. Bank-bank besar yang memiliki sumber daya signifikan akan kian leluasa di ranah hilir. Sementara itu, bank kecil dan menengah tetap saja kesulitan di area hulu.
Kalaupun harus memangkas GWM, BI perlu selektif. Pelonggaran GWM bisa diposisikan sebagai peranti strategis agar bank mampu meningkatkan penyaluran kredit pada sektor-sektor tertentu. Sektor padat karya, hilirisasi, pariwisata, UMKM, ekonomi hijau, dan ekonomi biru layak memperoleh prioritas pemangkasan GWM.
Sebagai imbangannya, perbankan sendiri juga harus inovatif dalam menyikapi setiap kebijakan yang diberlakukan. Alih-alih ‘cengeng’ dengan terus minta perlakuan khusus, perbankan perlu meracik ulang komposisi portofolio optimal dalam mengemban amanah intermediasi dan transformasi maturitas.
Terlepas dari ada-tidaknya kebijakan pemotongan GWM, perbankan semestinya memiliki cadangan likuiditas mandiri untuk mengantisipasi akselerasi pertumbuhan kredit. Demikian pula, perbankan juga perlu menyiapkan sumber dana murah sebagai alternatif di luar DPK yang selama ini selalu menjadi andalan.
Dengan beberapa skenario di atas, misi membangun postur industri perbankan nasional yang tangguh akan segera terwujud. Pada akhirnya, sektor industri perbankan turut berkontribusi nyata pada stabilitas sistem keuangan dalam rangka keberlanjutan pertumbuhan inklusif menuju Indonesia emas 2045. Bukan begitu?
Data Bank Indonesia mencatat peningkatan transaksi perbankan digital sebesar 54,89% secara tahunan (YoY) hingga September 2024.
GUBERNUR Jawa Timur (Jatim) Khofifah Indar Parawansa menerima kunjungan Gubernur Banten, Andra Soni di Surabaya sebagai upaya bersinergi menguatkan perekonomian antar daerah.
Kejagung dinilai menggunakan pasal keranjang sampah dalam pengusutan kasus dugaan korupsi terkait pemberian kredit oleh Bank DKI Jakarta dan BJB pada Sritex
Sektor perbankan di Indonesia tengah menghadapi tantangan besar dalam mengadopsi teknologi data streaming—sebuah inovasi yang memungkinkan pemrosesan dan analisis data secara real-time
KEMENTERIAN BUMN resmi menunjuk Rivan A. Purwantono sebagai anggota Direksi baru PT Jasa Marga (Persero) Tbk dalam RUPS yang digelar pada Rabu (7/5).
Direktur Utama PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) Hery Gunardi melihat peluang besar performa perseroan akan semakin lincah (agile) di bawah Danantara.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved