Headline
Serangan Israel ke Iran menghantam banyak sasaran, termasuk fasilitas nuklir dan militer.
Serangan Israel ke Iran menghantam banyak sasaran, termasuk fasilitas nuklir dan militer.
Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.
PIDATO pelantikan Presiden Prabowo Subianto yang disampaikan secara berapi-api di Sidang Paripurna MPR pada Ahad (20/10) menegaskan secara gamblang pelbagai program yang akan direalisasikan periode 2024-2029. Secara generik, Presiden mengimbau dan menantang publik: “Kita jangan seperti burung unta, kalau melihat sesuatu masalah, memasukkan kepala dalam tanah. Masih banyak rakyat dan anak-anak kurang gizi; rakyat juga masih banyak yang belum mendapat pekerjaan yang layak; dan banyak sekolah yang tidak terurus.”
Selain itu, jangan sampai pemimpin politik terlalu senang melihat angka-angka statistik yang membuat terlalu cepat gembira; perlunya kedaulatan rakyat berdasarkan Pancasila, perlunya demokrasi khas budaya Indonesia, dan tidak lupa mengapresiasi presiden-presiden sebelumnya.
Pada bidang ekonomi, lebih spesifik, Presiden Prabowo mengimbau lagi: Bagaimana menghadapi kebocoran dan penyelewengan anggaran; tekan korupsi dengan teladan ibarat “ikan busuk dari kepalanya”; masih banyak rakyat Indonesia yang belum menikmati hasil kemerdekaan, di antaranya masih terjebak di bawah garis kemiskinan; perlu secepat-cepatnya swasembada pangan dan energi, serta pengelolaan air yang adil dan bertanggung jawab. But not least, Presiden meminta Indonesia bersatu mencari solusi dari masalah-masalah tersebut, perlu kolaborasi dan jangan banyak cekcok di antara anak bangsa.
Mengurai kompleksitas masalah itu, tidaklah sesederhana jika diucapkan melalui anyaman pidato atau kampanye politik. Alih-alih bisa segera direalisasi, Presiden dan para pembantunya akan berhadapan realitas muskil, tidak saja aspek sosial budaya, kualitas sumber daya, geopolitik dan geostrategis global, dan lainnya, tapi juga problema birokrasi dan aspek kelembagaan.
Karena itu, tepat apa yang disampaikan pemenang Hadiah Nobel Ekonomi 2024 (14 Oktober 2024) Daron Acemoglu, Simon Johnson, dan James Robinson tentang urgensi kelembagaan yang inklusif dan keterkaitan kuat antara sistem politik dan pertumbuhan ekonomi. Lewat sejumlah artikel dan buku Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity, and Poverty (2012) merespons pertanyaan penting, mengapa ada negara sukses dan sebaliknya ada yang gagal? Demikian juga, mengapa beberapa negara lebih maju tinimbang yang lain? Penyebabnya, kata mereka, lemahnya korelasi kelembagaan politik dan ekonomi, pertumbuhan, dan kesejahteraan.
Beranjak ihwal kelembagaan itulah, setidaknya ada tiga legacy (warisan) Presiden Jokowi yang perlu dibidik, yakni kebijakan fiskal, kebocoran anggaran negara, dan produktivitas. Tanpa menafikan faktor lain, ketiga isu itu menarik karena terkait dengan anggaran dan pemanfaatan atau pengalokasian anggaran untuk menghela produktivitas. Artinya, bagaimana rasio output yang tersedia dengan input dari sumber daya yang digunakan. Produktivitas, kata David Sumanth dalam Total Productivity Management (TPMGT): A Systemic and Quantitative Approach to Compete in Quality, Price and Time (2007), sangat penting, dalam rangka membuat institusi dan organisasi dan individu menjadi lebih efisien, efektif, dan berkualitas.
Berkait dengan kebijakan fiskal, terfokus pada aspek lalu lintas anggaran yang ditetapkan pemerintah, termasuk perpajakan, pengeluaran, dan utang piutang. Kelembagaan, terutama berkaitan dengan tata kelola yang baik, tentu akan memudahkan meminimalkan kebocoran anggaran. Dalam konteks inilah, kelembagaan ekonomi dimaksud berkorelasi tentang aturan hidup, organisasi, kepercayaan, dan norma yang hidup dalam masyarakat yang bisa menjadi daya kontrol dalam pertanggungjawaban anggaran (McMaster, 2012).
MI/Seno
Kebijakan fiskal
Diskusi tentang kebijakan fiskal tentu tidak jauh dari anggaran negara yang bertujuan mengontrol kestabilan perekonomian makro, memengaruhi permintaan agregat dalam jangka pendek, serta meningkatkan kapasitas perekonomian dalam jangka panjang.
Dalam rentang 10 tahun perjalanan Presiden Jokowi (2014-2024), tentu membawa progresivitas dan regresi dari dampak kebijakan fiskal yang dieksekusinya. Plus-minus ialah sesuatu yang galib karena menurut filosofi Buddha, setiap masa ada orangnya dan setiap orang ada masanya. Jokowi punya kelemahan dan tentu juga punya kelebihan dalam setiap rentang masa.
Dengan demikian, sulit membandingkan kebijakan fiskal secara apple to apple dalam setiap masa karena masalah dan tantangan tentu berbeda. Hanya masalahnya, model kepemimpinan dan aransemen kelembagaan masing-masing kerap kali berbeda, apakah mereka mampu menyelami setiap masalah dan panasea (obat mujarab) yang ditawarkan.
Rezim Jokowi jelas menghadirkan banyak program fiskal, terutama sisi budget spending. Pada November 2014, Presiden Jokowi tiba-tiba membuat langkah revolusioner memotong anggaran subsidi BBM (bahan bakar minyak) yang memantik peningkatan harga BBM. Pemotongan itu untuk men-shifting fokus anggaran negara kepada proyek-proyek besar infrastruktur, termasuk PSN (proyek strategis nasional). PSN sebagai studi, hingga akhir 2024 ini, telah mencapai 233 proyek, dengan total nilai investasi Rp6.246 triliun. Demikian juga, alokasi anggaran IKN sebesar Rp466 triliun dan pembengkakan biaya (cost overrun) proyek kereta cepat.
Rentang 10 tahun masa kepemimpinan Jokowi, alokasi anggaran infrastruktur di APBN terdongkrak 156,2% dari Rp177,9 triliun pada 2014 menjadi Rp455,8 triliun (2023) dan Rp422,7 trilun (2024). Total jenderal, anggaran infrastruktur di era Jokowi menembus Rp3.838,3 triliun. Tentu, alokasi anggaran tersebut tersebar di pelbagai kementerian/lembaga, seperti Kementerian Perhubungan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, hingga Kementerian Pertanian.
Selain anggaran bersumber dari APBN, juga dari KPBU (kerja sama pemerintah dan badan usaha) yang menyiapkan skema penyediaan dan pembiayaan infrastruktur yang melibatkan partisipasi swasta. Selain itu, pembiayaan BUMN, yang ikut berperan besar dalam membangun infrastruktur baik melalui pembangunan proyek atau sindikasi pembiayaan.
Tentu, sumber utama penerimaan anggaran berasal dari pajak. Namun, nisbah pajak sebagai instrumen utama pendapatan negara tampaknya mengalami penggerusan signifikan dari 13,7% (2014) menjadi 10,1% (2023). Banyak ruang potensi pajak yang belum dioptimalkan karena banyak pengemplang, terutama pelaku usaha besar, dan belum diterapkannya secara tegas pajak progresif untuk beberapa lini. Tidak mengherankan nisbah pajak Indonesia paling rendah di negara-negara Asia Tenggara. Karena itu, konsekuensinya, defisit anggaran tidak terhindarkan, melebar dari Rp226,69 triliun (2014) diperkirakan menjadi Rp609,75 triliun (2024).
Bertalian dengan itu, rasio utang terhadap PDB tergenjot tajam dari 24,7% (2014) menjadi 39,13% (2024). Rasio utang, tentu menandakan kapasitas fiskal suatu negara membayar kembali utangnya. Rasio utang tinggi mengindikasikan beban kapasitas makin berat. Tercatat, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mewariskan utang per Desember 2014 sebesar Rp2.608,7 triliun. Selanjutnya, jelang akhir masa jabatan Presiden Jokowi atau per Agustus 2024, jumlah utang mencapai Rp8.461,9 triliun, terjadi kenaikan Rp5.853,2 triliun.
Tergambar postur fiskal masih didominasi pembiayaan utang dengan porsi selalu lebih dari 74%, sedangkan pembiayaan investasi tidak pernah melebihi angka 17,5%. Itu mengirim pesan, orientasi jangka jangka pendek yang mengorbankan pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Kurangnya investasi dalam sektor produktif dan bernilai tambah pun dapat memunculkan hambatan pertumbuhan ekonomi masa depan.
Lagi pula, postur kementerian/badan/lembaga yang diumumkan dan dilantik pada Senin, 21 Oktober 2024 terlihat bongsor, di tengah beban warisan limitasi ruang fiskal, bisa berakibat pemerintah akan semakin kehilangan fleksibilitas mengalokasikan anggaran yang lebih menyasar secara langsung kepada rakyat dan anggaran untuk merespons krisis atau kebutuhan mendesak. Bahkan, ihwal postur yang bongsor itu juga sangat bertolak belakang dengan spirit undang-undang terkait dengan desentralisasi atau otonomi daerah.
Dalam rangka mengurangi beban Presiden Prabowo sebagai nakhoda baru, seharusnya pemerintah segera mengubah radikal arah kebijakan fiskal berfokus pada penguatan basis pajak, alokasi anggaran yang adil, dan investasi yang produktif untuk memastikan ekonomi nasional dapat tumbuh berkelanjutan dan inklusif. Jika tidak, beban itu akan terus menumpuk dan pada akhirnya akan membahayakan stabilitas ekonomi pada masa depan. Ujungnya, Presiden Prabowo terbebani oleh janji-janji kampanyenya, seperti makan siang gratis dan target pertumbuhan ekonomi 8%. Ihwal itu juga diperberat karena eksekutor kebijakan fiskal, Kementerian Keuangan, timnya masih belum berubah sejak zaman Presiden Jokowi.
Kebocoran anggaran
Sejak calon presiden (2014, 2019 dan 2024), Prabowo dengan garang selalu menyampaikan dalam setiap kampanye dan debat capres, besarnya kebocoran anggaran. Ihwal kebocoran anggaran negara itu, publik pun langsung teringat pada tiga dasawarsa lalu, ucapan begawan ekonomi Indonesia sekaligus ayah Prabowo Subianto, Prof Sumitro Djojohadikusumo.
Pada Kongres Ke-12 Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI), November 1993, di Surabaya, ia mengungkapkan keresahannya jika tingkat kebocoran dana pembangunan relatif masih tinggi, sekitar 30%. Bahkan, Sumitro melanjutkan, dana yang tidak bocor pun ternyata tingkat efisiensi pemanfaatannya masih rendah, dan belum seluruhnya digunakan sebagaimana semestinya. Masalah itu harus diatasi pemerintah, apalagi karena dana pembangunan pada masa depan makin terbatas dan makin sulit diperoleh.
Sejurus dengan itu, pada pidato iftitah di MPR seusai dilantik presiden pun, Prabowo tetap istikamah menyampaikan keresahan kebocoran anggaran itu. Penyebab utama kebocoran itu adanya penyakit entropi ekonomi (Pakkanna, 2023). Adanya high cost economy, masih besarnya pungutan resmi/tidak resmi, korupsi makin mengganas dan masif, ekonomi rente, benalu ekonomi, dan seterusnya merupakan bagian entropi itu. Penyakit itu mengganggu proses pemulihan, obsesi pertumbuhan, dan perjalanan ekonomi ke depan. Entropi ekonomi berefek sulitnya perekonomian Indonesia keluar jebakan pendapatan kelas menengah (middle income trap).
Situasi itu terkonfirmasi, ekonomi Indonesia sulit naik ke status negara dengan pendapatan tinggi. Selain itu, berdampak pada naiknya angka incremental capital-output ratio (ICOR). Angka ICOR Indonesia masih bertengger tinggi mendekati 7%, sementara rerata negara ASEAN hanya 3,5%. Tingginya angka itu mengrim pesan masih rendahnya produktivitas, rendahnya daya saing, inefisiensi, dan banyaknya biaya siluman menerpedo mesin birokrasi ekonomi.
Mengonfirmasi Transparency International Indonesia (TII), mengestimasi potensi kebocoran kisaran 30%-40% dari PDB. Mengutip Global Competitiveness Index dari World Economic Forum (2022), korupsi salah satu bentuk kebocoran anggaran dan menjadi faktor penghambat investasi di Indonesia.
Ihwal kebocoran itu, salah satu indikator legacy Jokowi dan harus diselesaikan Prabowo, ialah indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia yang terus merosot. Pada 2023, TII menempatkan Indonesia di peringkat ke-115 dari 180 negara yang disurvei dengan skor 34 poin. Peringkat Indonesia masih tergolong 'zona merah' yang sejajar Malawi hingga Sri Lanka. Dengan demikian, penurunan dari 38 ke 34 disebut penurunan poin terparah sejak masa reformasi.
Produktivitas
Salah satu fokus prioritas realisasi program ekonomi Prabowo ialah pengembangan produktivitas melalui pengembangan kualitas sumber daya manusia (SDM). Dalam Astacita misi Presiden Prabowo berkaitan obsesi peningkatan daya saing SDM berbasis inovasi pengetahuan dan teknologi. Rendahnya daya saing, beranjak dari keprihatinan bahwa Indonesia berada di urutan ke-50, turun 5 angka jika dibandingkan dengan periode pertama Presiden Jokowi.
Rendahnya daya saing SDM juga memengaruhi belum maksimalnya total factor productivity (TFP), ukuran efisiensi ekonomi suatu negara dalam menggerakkan roda perekonomian dengan mengombinasikan input modal dan tenaga kerja (SDM). Merujuk Asian Productivity Organization (APO) yang rutin meliris laporan tiap tahunnya, angka produktivitas perekonomian negara-negara di Asia dengan input tradisional tenaga kerja, modal dan TFP sebagai indikatornya.
Mengonfrmasi data APO tersebut, selama dua dekade setelah 1998, rerata pertumbuhan ekonomi Indonesia di kisaran 4,78%. Itu lebih rendah rerata pertumbuhan 20 tahun sebelum krisis, yaitu sekitar 6,74%. Data APO mengirim pesan bahwa kontribusi TFP Indonesia setelah krisis berada di kisaran -0,11% atau anjlok dari 0,93% sebelum krisis (Indef, 2023). Jika tren penurunan pertumbuhan produktivitas dan TFP negatif itu berlanjut, perekonomian Indonesia akan stagnan.
Data membuktikan ekonomi Indonesia selalu ditopang usaha ekstraktif berbasis sumber daya alam, bukan ditopang kekuatan inovasi berbasis pengetahuan dan teknologi. Pada kasus ekspor produk nikel misalnya, pada 2022, ekspornya surplus hingga US$291,88 milar atau ekuivalen Rp4.524 triliun. Begitu pula batu bara, CPO, dan lainnya. Ihwal itu relevan jika melihat kontribusi TFP dalam perekonomian yang rendah jika dibandingkan dengan banyak negara lain karena basis ekonomi Indonesia selalu ditopang usaha ekstraktif.
Merujuk Faisal Basri (2023), jika dilihat sejak 2010, TFP Indonesia terus turun bebas. Jadi, penggunaan otot semakin dominan. Dengan demikian, kinerja pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang masa Presiden Jokowi, rerata 71% ditopang modal yang berbasis non-IT. Sumbangan dari tenaga kerja mencapai 45%, sedangkan sumbangan modal yang berbasis IT hanya 4%, Sementara itu, kontribusi TFP terhadap pertumbuhan justru minus 19%.
Akhirnya, dengan kondisi seperti itu, saya pun teringat pada Paul Krugman, penyabet Hadiah Nobel Ekonomi 2008, dalam esainya pada 1994 berjudul, "The Myth of Asia's Miracle". Krugman menggunakan terminologi perspiration (keringat) untuk mendeskripsikan faktor-faktor yang berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi di Asia, seperti peningkatan input faktor primer, peningkatan partisipasi angkatan kerja, dan penambahan modal pada tenaga kerja. Kata Krugman, keajaban Asia ternyata bukan ditopang ekonomi inspirasi (inspiration economy) yang mengandalkan TFP atau inovasi sebagai sumber pertumbuhan.
Dengan peta warisan yang diterima Prabowo seperti itu, mengutip kembali penyabet Hadiah Nobel Ekonomi 2024, untuk menyelesaikan peta masalah di atas, aspek aransemen kelembagaan harus dituntaskan. Mengapa negara itu gagal? Karena lemahnya korelasi kelembagaan politik dan ekonomi terhadap peningkatan pertumbuhan dan kesejahteraan rakyat. Pertanyaannya, apa bongsornya tim kementerian, lembaga, dan badan yang dibentuk Presiden Prabowo telah menunjukkan sebagai solusi mangkus dan sangkil dalam mengatasi kelembagaan ekonomi?
Atasi dampak negatif perdagangan internasional! Pelajari strategi jitu, solusi inovatif, dan langkah efektif untuk pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.
WTO: Dorong perdagangan global yang adil & terbuka. Pelajari tujuan utama & dampaknya bagi ekonomi dunia.
PENURUNAN peringkat saham Indonesia oleh Goldsman Sachs merupakan refleksi pudarnya kepercayaan investor terhadap kepastian kebijakan Indonesia.
Kumparan sukses mengadakan forum ekonomi bergengsi, The Economic Insights 2025, yang berlangsung pada Rabu, 19 Februari 2025, di The Westin Jakarta.
PEMERINTAHAN Prabowo Subianto langsung tancap gas di awal masa jabatannya lewat kebijakan pemangkasan anggaran senilai Rp306,69 triliun.
Kabinet wajib dapat menunjukkan hasil yang signifikan dalam mengatasi masalah-masalah di masyarakat. Jika dinilai kurang memuaskan, ia menspekulasi reshuffle kabinet bisa terjadi.
PRESIDEN Prabowo Subianto telah mencanangkan makan bergizi gratis (MBG) sebagai program prioritas nasional.
Kedelapan poin itu sekaligus memberikan rekomendasi bagi pemerintahan Prabowo-Gibran periode 2024-2029 yang baru dilantik 20 Oktober lalu.
KETUA Umum Partai Golkar, Bahlil Lahadalia, menerangkan ada seorang kader Golkar akan kembali dilantik lagi sebagai pejabat pemerinah, besok Selasa (22/10).
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved