Headline

Serangan Israel ke Iran menghantam banyak sasaran, termasuk fasilitas nuklir dan militer.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Nasib Buruh di Tangan Profesor

Yayat Syariful Hidayat, Anggota Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan
22/10/2024 20:20
Nasib Buruh di Tangan Profesor
Yayat Syariful Hidayat, Anggota Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan(Doc)

ADA yang menarik dari pengumuman Menteri Kabinet yang dinamakan Kabinet Merah Putih dibawah Pimpinan Prabowo-Gibran sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia untuk periode 2024-2029 yakni penunjukan Profesor Yassierli, ST. MT. Ph.D. Beliau merupakan seorang Guru Besar ITB Bidang Ergonomi dan Teknik Industri.

Kalau melihat lintasan perjalanan pimpinan dari Kementrian Ketenagakerjaan, khususnya Pasca reformasi 1998, semua yang menjadi Menteri Ketenagakerjaan adalah dari kader-kader partai politik. Menilik lebih jauh kebelakang, pernah ada satu Profesor yang mengisi pos Menteri Ketenagakerjaan di awal-awal orde baru berdiri, yakni Prof Mohammad Sadli, Guru Besar UI, yang menjabat Menteri Tenaga Kerja di tahun 1971 sampai 1973 pada Kabinet Pembangunan I. Prof Sadli dikenal sebagai si pragmatis tulen pembela rakyat lapisan bawah. Sisanya, sampai Orde Baru selesai dan dilanjutkan pada era reformasi, lebih sering di isi oleh kader-kader partai politik atau dari Korps Tentara (ABRI).

Dunia Berubah

Dunia berubah, pun demikian dengan ketenagakerjaan. Pekerjaan-pekerjaan pada sektor formal semakin menurun dan implikasinya pada sektor informal yang semakin meningkat. Pada sektor formal, pola hubungan kerja lebih banyak sistem kontrak daripada pekerja tetap yang dampak lebih jauhnya adalah terhadap kesejahteraan dan kepastian masa depan pekerja itu sedniri. Istilah work from anywhere, anytime, any device dan seterusnya sebagaimana tergambarkan dalam the evolution of employee semakin nyata dan terasa.

Pada sektor informal, hubungan kerja tidak langsung semakin marak. Misalnya ojek online, jasa pengantaran, buruh harían lepas (BHL), outsourcing, pedagang keliling, dan lain-lain yang dampak lebih jauhnya hampir sama dengan sektor formal, tidak ada kepastian kesejahteraan dan masa depan.

BPS sebagai Lembaga kredibel dalam hal statistik, memberikan laporan bahwa pada tahun 2023, persentase jumlah pekerja formal dan informal sebesar 40,42% dan 59,58%. Di tahun 2022, sebanyak 40,69% dan 59,31%. Sementara tahun 2021, sebanyak 44,28% dan 55,72%. Melihat data ini jelas, bahwa setiap tahun ada penambahan di sektor informal dan bisa jadi di tahun 2024 ini semakin meningkat lagi dikarenakan banyaknya PHK terutama dari sektor padat karya, seperti perusahaan di bidang tekstil dan garment.

Jika melihat secara penghasilan, berdasarkan data Laporan Pengelolaan Program BPJS Ketenagekerjaan, jumlah pekerja formal memiliki penghasilan yang lebih tinggi daripada pekerja informal. Dimana rata-rata pekerja formal memiliki penghasilan 2-5 juta rupiah per bulan sedangkan pekerja informal memiliki rata-rata penghasilan kurang dari 2 juta rupiah per bulan. Pekerja informal yang cenderung memiliki penghasilan yang lebih rendah ini tentunya memiliki risiko sosial yang lebih besar dibandingkan pekerja formal, dimana sekali lagi kesejahteraannya masih sangat kurang dan masa depan dari kesejahteraan pekerja informal ini sangat rentan.

Kriteria Hidup Layak 

Untuk pekerja di sektor formal, kriteria hidup layak dan bagaimana memenuhi standar kelayakannya tersebut sudah diatur mulai dari UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, PP No. 78 Tahun 2015 tentang pengupahan, dan Permenaker No. 21 tahun 2016 tentang Kebutuhan Hidup Layak, yang mendefinisikan bahwa Kebutuhan Hidup Layak itu adalah standar kebutuhan yang harus dipenuhi oleh seorang pekerja /buruh lajang untuk dapat hidup baik seara fisik, non fisik dan sosial untuk kebutuhan satu bulan.

Ada 7 Komponen utama diantara 60-an jenis kebutuhan. Ketujuh komponen tersebut adalah Kebutuhan Makanan dan Minuman, Sandang, Kebutuhan akan Rumah, Pendidikan, Kesehatan, Transportasi, Rekreasi dan Tabungan.

Secara umum, kriteria hidup layak telah masuk dalam konsep pembangunan manusia. Ada tiga dimensi dasar pendekatan utama dalam konteks pembangunan manusia tersebut, salah satunya adalah Standar Hidup yang layak yang diukur oleh pengeluaran per kapita. Dalam model perhitungan baru, dimana UNDP telah menggantinya dari Produk Domestik bruto (PDB) per kapita menjadi Pendapatan Nasional Bruto (PNB) per kapita.

Seiring berjalannya waktu, mulai tahun 2015, pada tataran global semua pembangunan mengacu pada konsep SDGs (Sustainable Development Goals). Dari 17 tujuan yang ada, terkait dengan pekerja, minimal ada di dua tempat tujuan, yakni tujuan ketiga yang isinya Good health and well-being (terjaminnya kehidupan yang sehat dan meningkatnya kesejahteraan penduduk di segala usía) dan tujuan kedelapan yang isinya Decent work and economic growth (meningkatnya pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan, kesempatan kerja penuh dan produktif, serta pekerjaan yang layak untuk semua).

Pun yang akhir-akhir ini semakin kuat disuarakan terkait ESG (Enviromental, Social, and Governance). Lagi-lagi terkait pekerja masuk sebagai salah satu alat ukur keberlanjutan, yakni dalam aspek kedua (social), dimana dalam aspek ini, perusahaan wajib memperlakukan karyawan sebaik mungkin. Termasuk didalamnya menciptakan inklusifitas, keberagaman, kesetaraan, dan kesejahteraan.

Masa Depan yang Terjamin

Jika menilik pada konsep-konsep pembangunan, baik yang terdapat dalam aturan pemerintah sendiri, maupun konsep eksternal seperti yang ada dalam konsepnya UNDP, framework-nya SDGs, maupun ESG yang pada intinya adalah bagaimana masyarakat pekerja terjamin masa depannya. Untuk sektor formal, terutama menengah besar, relatif sudah terjamin dengan adanya program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan yakni adanya JHT (Jaminan Hari Tua) dan JP (Jaminan Pensiun). Konsep JHT sebagai Jaminan Hari Tua, pada prakteknya saat ini bisa di cairkan sebelum umurnya sampai. Kondisi ini terjadi menurut hemat penulis, karena belum ada jaminan setelah selesai dari tempat bekerja yang satu ke tempat bekerja yang kedua dan selanjutnya. Apalagi berbicara pada segmen formal menengah kebawah (UMKM, Mikro dan Ultra Mikro) serta segmen pekerja informal yang diatas telah disebutkan.

Belum ada jaminan masa depan, yang ditandai dengan kepastian pekerjaan, dalam jangka panjang bisa menjadi beban negara dan memiliki dampak yang luas disaat angka harapan hidup masyarakat indonesia terus meningkat yakni diatas 72 tahun.

Menunggu Kiprah Sang Profesor

Kehadiran Sang Profesor dalam menakhodai Kemetrian Ketenagakerjaan perlu diapresiasi secara baik, kesan yang mendalam terhadap mendiang Prof Mohammad Sadli sebagai si pragmatis pembela rakyat bawah bisa terwujudkan kembali secara apik dan epik dengan melihat perkembangan dunia ketenagakerjaan yang terus berubah. Dalam event internasional, perkembangan perubahan ini selalu dibahas secara seksama termasuk beradaftasi dengan perkembangan digital yang memiliki volatilitas tinggi.

Semoga… (Adv)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya