Headline

Revisi data angka kemiskinan nasional menunggu persetujuan Presiden.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Perlindungan Data Pribadi dan Pilkada Berintegritas

Mimin Dwi Hartono Analis Kebijakan Ahli Madya Komnas HAM
27/8/2024 05:05
Perlindungan Data Pribadi dan Pilkada Berintegritas
(Dok. Pribadi)

DUGAAN pencatutan kartu tanda penduduk (KTP) untuk pencalonan pasangan perseorangan Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta, Dharma Pangrekun dan Kun Wardana, merupakan persoalan yang sangat serius. Integritas dan kredibilitas pemerintah, penyelenggara pemilu, dan pasangan terkait, serta hak atas pelindungan data pribadi, dipertaruhkan. Hal ini, meskipun pasangan calon perseorangan tersebut telah dinyatakan memenuhi syarat oleh KPU Jakarta pada 19 Agustus 2024.

Kasus ini diduga terjadi secara masif. Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), yang membuka posko pengaduan bagi warga masyarakat yang dirugikan oleh dugaan pencatutan KTP, telah menerima ratusan pengaduan (BBC News Indonesia, 19/8). Dugaan pencatutan KTP ini tidak hanya mengenai warga masyarakat biasa, tapi juga figur publik dan keluarganya. Misalnya terjadi pada adik dan anak Gubernur Jakarta 2017-2022 Anies Baswedan dan Komisioner Komnas HAM 2017-2022 Beka Ulung Hapsara.

Jika pencatutan KTP ini benar terbukti ada unsur kesengajaan dan/atau kelalaian maka berpotensi melanggar beberapa ketentuan perundangan-undangan. Tentunya yang paling mendasar ialah pelanggaran HAM, karena data pribadi seseorang disalahgunakan, pun dengan hak pilihnya yang dijamin dalam konstitusi UUD Negara RI Tahun 1945 dan UU Hak Asasi Manusia.

Baca juga : Korban Pencatutan NIK Bisa Tarik Dukungan untuk Dharma Pongrekun, Ini Caranya!

Pemilu yang demokratis adalah prasyarat penting dan mendasar dalam mewujudkan penghormatan, pelindungan, dan pemenuhan hak asasi manusia. Pemerintahan demokratis yang terpilih melalui pemilu meletakkan hak asasi manusia sebagai pilar penting dalam penyelenggaraan pemerintahan dan dalam kehidupan bernegara.

Komnas HAM menandaskan, dalam Standar Norma dan Pengaturan (SNP) Nomor 12 tentang HAM dan Kelompok Rentan dalam Pemilu, pelaksanaan pemilu tidak sekadar memberi legitimasi bagi kekuasaan politik maupun prosedur rutin yang harus dipenuhi dalam negara demokratis, melainkan mekanisme terpenting untuk pelaksanaan hak konstitusional warga negara sebagai bagian dari hak asasi manusia dan pengejawantahan pelaksanaan kedaulatan rakyat.

Namun, faktanya, penyelenggaraan pemilu termasuk pilkada di Indonesia selama ini masih diwarnai dengan praktik yang melanggar hak asasi manusia, di antaranya diskriminasi langsung dan tidak langsung serta ujaran kebencian terhadap kelompok rentan, kampanye kotor, politik transaksional, dan politik uang. Praktik tersebut telah mengaburkan sistem demokrasi yang hakiki karena merusak kemurnian kedaulatan rakyat.

Baca juga :  KPU DKI Tunggu Rekomendasi Bawaslu soal Pencatutan NIK

Dalam pemilu yang transaksional, hanya individu atau kelompok yang memiliki akses sosial, ekonomi, dan politik yang berkesempatan berkontestasi atau dipilih dalam pemilu. Adapun kelompok rentan dan masyarakat pemilik suara hanya menjadi penonton atau objek dalam setiap pemilu guna dimanfaatkan suaranya tanpa memiliki daya tawar untuk melakukan kontrol secara efektif.

Pasal 25 ayat (2) Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik yang telah disahkan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 menegaskan, pemilu adalah sarana demokratis bagi setiap warga negara yang telah memenuhi syarat untuk memilih dan dipilih sesuai keyakinan politiknya. Komite HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa menegaskan tentang pentingnya pemilu yang sejati (genuine election), yaitu setiap orang dijamin dan dilindungi persamaan haknya dalam pemilu.

Kartu tanda penduduk adalah dokumen yang berisi data pribadi seseorang sehingga wajib dilindungi dari berbagai bentuk penyelewengan dan penyalahgunaan. Hak atas pelindungan data pribadi diatur dan dijamin dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP).

Baca juga : Dua Kali Mangkir Pemeriksaan NIK KTP, Bawaslu DKI Minta Dharma-Kun Kooperatif

Implikasi dari dugaan pencatutan KTP ini jika terbukti, maka menurut ketentuan dalam UU PDP dan UU tentang Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Wali Kota/Wakil Wali Kota, bisa dikenai sanksi pidana dan perdata atau denda. Konsekuensi berikutnya, pasangan calon terkait bisa digugurkan pencalonannya oleh Badan Pengawasan Pemilu (Bawaslu).

Penyelidikan atas kasus ini tidak boleh main-main dan asal-asalan karena mempertaruhkan kredibilitas pemerintah, integritas penyelenggara pemilu, dan hak asasi warga masyarakat. Pertanyaannya, mengapa begitu mudah identitas seseorang yang tercantum dalam KTP bisa dijadikan sebagai dokumen bukti dukungan pasangan calon tertentu?

Dari mana data tersebut didapatkan, dan bagaimana? Lalu, bagaimana proses verifikasi internal calon dan di KPU Jakarta, sebelum data tersebut diinput dan ditetapkan sebagai bukti dukungan calon. Jika KTP dikumpulkan oleh para relawan, bagaimana proses verifikasi internal sebelum disampaikan dan diperiksa KPU?

Baca juga : KPU DKI Tetapkan Aturan Pilkada Sesuai Putusan MK

Berdasarkan UU PDP sebagaimana diatur dalam Pasal 65 sampai dengan Pasal 73 UU PDP, barang siapa mengumpulkan data pribadi yang bukan miliknya untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, mengungkapkan data pribadi yang bukan miliknya, dan memalsukan data pribadi untuk keuntungan yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain, dapat dikenai sanksi pidana dan/atau denda.

Namun, karena lembaga pelaksana UU PDP belum terbentuk dan baru efektif berlaku mulai Oktober 2024, maka penegak hukum bisa mendalami kasus ini dalam ranah dugaan tindak pidana kepemiluan dan/atau administrasi kependudukan dan/atau UU ITE dan/atau bahkan KUHP. Bawaslu Jakarta dan Polda Metro Jaya harus bekerja sama mengungkapnya secara jernih dan transparan agar kepercayaan publik pada Pilkada Jakarta bisa pulih.

Kontestasi menjadi orang nomor satu dan dua di Jakarta memang sangat kompetitif dan panas. Meskipun tidak lagi menjadi ibu kota negara, Jakarta tetap memiliki magnet khusus dan sumber daya yang sangat berlimpah sehingga banyak politisi menginginkan kursi kekuasaan sebagai gubernur dan wakil gubernur Jakarta. Akan tetapi, kontestasi wajib mengedepankan prinsip integritas dan moralitas. Jangan sampai karena menginginkan posisi tertentu, segala cara ditempuh untuk berkuasa.

Dalam peristiwa ini, yang pasti diduga data warga Jakarta telah bocor sehingga bisa disalahgunakan. Kejadian ini juga mengingatkan kita bahwa mekanisme pencalonan lewat jalur independen harus melewati tahap-tahap yang rumit, berliku, dan berjenjang, bahwa untuk bisa lolos di Jakarta harus bisa mengumpulkan KTP lebih dari 600 ribu warga.

Peristiwa dugaan pencatutan KTP ini sekali lagi menegaskan bahwa upaya manipulasi bisa menimpa siapa saja, tidak hanya kelompok rentan. Momentum ini menjadi pelecut agar pemerintah segera melengkapi instrumen pelaksana UU PDP dan aturan pelaksananya yang tegas dan jelas.

Hal ini, agar ketika UU PDP ini secara efektif berlaku pada Oktober 2024, memiliki daya pelindungan yang efektif. Pembentukan lembaga independen yang bergigi juga harus disegerakan di masa akhir Presiden Joko Widodo, agar segala bentuk pembocoran atau penyalahgunaan data pribadi dapat ditindak dengan tegas tanpa pandang bulu, demi tegaknya hak asasi manusia.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya