Headline
Setelah menjadi ketua RT, Kartinus melakukan terobosan dengan pelayanan berbasis digital.
Setelah menjadi ketua RT, Kartinus melakukan terobosan dengan pelayanan berbasis digital.
F-35 dan F-16 menjatuhkan sekitar 85 ribu ton bom di Palestina.
DI negeri ini, sekolah dokter lagi booming. Lagi on sale. Banyak institusi berlomba membuka sekolah dokter (baca: fakultas Kedokteran atau FK). Catatan terakhir, ada 12 institusi yang membuka FK baru. Menariknya, beberapa institusi pendidikan tersebut selama ini terkenal solid dan loyal dengan bidang sangat teknis, seperti ITB, ITS dan IPB. Kok mau cawe-cawe dengan kedokteran? Apa yang terjadi?
Pertama, fenomena booming ini hulunya adalah kebijakan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang kontroversial. Akhir-akhir ini, Kemenkes begitu gandrung mengangkat isu bahwa negeri ini kekurangan dokter. Di Jawa Barat, katanya, negeri ini kekurangan 37 ribu dokter; di Jawa tengah butuh tambahan 24 ribu. Kemenkes selalu menggembar-gemborkan bahwa standar WHO mengharuskan adanya 1 dokter untuk 1.000 penduduk (rasio 1:1.000). Ini mereka jadikan alasan dokter kurang.
Padahal alasan ini sebenarnya delusi atau mengada-ada. WHO sama sekali tidak pernah mengeluarkan standar rasio 1:1.000. WHO tentu tahu bahwa penetapan standar begini tidak relevan karena setiap negara punya kapabilitas dan permasalahan pendidikan berbeda. Tidak layak menerapkan standar universal pada negara-negara dengan beda kondisi.
Baca juga : Perguruan Tinggi Harus Penuhi Prasyarat untuk Dapat Membuka Fakultas Kedokteran
Memang pada sejumlah referensi, narasi rasio 1:1.000 disebut. Namun penyebutannya hanya dalam konteks metrik perbandingan dan bukan standar. Sekali lagi, rasio standar WHO 1:1.000 itu tidak ada. Yang menarik, beberapa tahun lalu Kemenkes justru menggunakan metrik rasio dokter 1:2.500 dan bukan 1:1.000.
Metrik ini sepertinya didasarkan pada pasal hak kesehatan yang disebutkan dalam Permenkumham 34/2016 yang menyebutkan bahwa standar rasio dokter terhadap penduduk mestinya 1:2.500. Kalau rasio ini yang dipakai, tentu statemen kekurangan dokter menjadi sangat tidak tepat. Entah mengapa, hanya dalam waktu beberapa tahun saja Kemenkes merubah metriknya dari 1:2.500 menjadi 1:1.00. Tidak ada penjelasan gamblang.
Kedua, data Konsil Kedokteran Indonesia perhari ini menunjukkan terdapat 170 ribu dokter umum dan 52 ribu dokter spesialis di negeri ini. Totalnya, 222 ribu dokter. Bila jumlah penduduk Indonesia 270 juta, artinya rasio dokter terhadap penduduk saat ini adalah 1:1.236. Ini tidak jauh dari rasio 1:1.000 yang menjadi alasan Kemenkes ingin menambah jumlah dokter.
Baca juga : Tantangan Meningkatnya Kasus Kusta di Indonesia
Katakanlah Kemenkes ngotot ingin mencapai rasio 1:1.000, maka jumlah tambahan dokter yang diperlukan berkisar 50 ribu. Walaupun tanpa pendirian FK baru, tambahan jumlah 50 ribu ini dapat dipenuhi dalam 4 tahun. Saat ini saja, FK di Indonesia memproduksi 12-13 ribu dokter pertahun.
Artinya, dalam 4 tahun kebutuhan ini dapat terpenuhi tanpa perlu membuka FK baru dengan segala konsekuensinya. Apalagi waktu 4 tahun tidak terlalu panjang. Bukankah bila membuka FK baru juga butuh waktu 6-7 tahun sebelum bisa memproduksi dokter? Jadi mending tunggu 4 tahun dan issu rasio 1:1.000 kelar.
Kalau mau pakai rasio 1:2.500, figurnya lain lagi. Dengan rasio 1:2.500 ini, jumlah dokter Indonesia menjadi sangat berlebihan. Kelebihannya 112 ribu. Jumlah ini tidak sedikit. Bila sudah kondisi surplus demikian dan pemerintah masih mau membuka FK, maka fenomena yang muncul beberapa tahun kedepan adalah gelombang perpindahan profesi.
Baca juga : Kasus Kaki Gajah Capai 7.955 Kasus di Indonesia
Akan banyak dokter berubah profesi menjadi bankir, petugas partai, pengusaha atau bahkan menjadi pengangguran. Ini tentu sangat menyedihkan. Sudah sekolah lama dan sulit, ujung-ujungnya beralih profesi atau menganggur.
Pemerintah mestinya membuka mata bahwa persoalan utama stok dokter di Indonesia bukanlah produksi yang kurang tapi distribusi yang tidak merata. Distribusi dokter di kota dan desa sangat jomplang. Di Jakarta, tersedia satu dokter setiap 680 penduduk; sementara di Sulawesi barat, satu dokter tersedia buat 10.417 penduduk. Densitas di Jakarta 15 kali lipat dibanding di Sulawesi Barat. Hal yang sama terjadi untuk dokter spesialis.
Ini sebenarnya isu yang harus dituntaskan Kemenkes. Mereka harus bekerja keras membuat pemerataan distribusi. Bukan justru membuka FK-FK baru yang akan memicu over-production. Sudah beberapa dekade isu distribusi ini menjadi bisul kronis. Tidak usah bicara terlalu tinggi tentang proyek genom atau proyek internetisasi puskesmas kalau isu distribusi ini belum tuntas. Ini persoalan klasik namun sangat krusial. Ini adalah wicked problem negeri ini.
Di Indonesia, Survei Kesehatan 2023 mencatat sekitar 6,7 juta penduduk terinfeksi hepatitis B dan 2,5 juta terinfeksi hepatitis C.
Sebanyak 13 provinsi belum mencapai target cakupan imunisasi bayi lengkap 90% dalam tiga tahun terakhir dan tren anak yang belum mendapatkan imunisasi dasar meningkat signifikan.
BEBAN penyakit pneumonia di Indonesia masih tergolong tinggi, khususnya pada kelompok usia dewasa dan lansia, serta individu dengan penyakit penyerta.
Direktur Penyakit Tidak Menular Kemenkes, mengatakan bahwa kandungan gula garam dan lemak pada (GGL) pada makanan yang dikonsumsi ditengarai menjadi salah satu penyebab obesitas pada anak.
Rasio dokter di Indonesia hanya sekitar 0,60 hingga 0,72 dokter per 1.000 penduduk. Angka itu jauh di bawah standar WHO yaitu 1 dokter per 1.000 penduduk.
Sebanyak 103 lokasi Koperasi Desa Merah Putih akan menjadi proyek percontohan untuk kehadiran klinik dan apotek desa.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved