Headline
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.
DI 2023 ini umat Kristen di Indonesia mengalami peristiwa yakni warga melarang beribadah di Gereja Kristen Kemah Daud, di Jalan Soekarno Hatta, Gang Anggrek, Rajabasa, Bandar Lampung, Minggu (19/2). Peristiwa itu diduga dilakukan seorang ketua RT yang masuk lingkungan gereja dengan cara melompat pagar dan menyetopkan proses ibadah.
Sementara di Kabupaten Kulon Progo, DIY ramai dibicarakan kesalahan laporan polisi terkait peristiwa penutupan patung Bunda Maria, Rabu (22/3). Lagi-lagi, di awal bulan, tepatnya Minggu (2/4) Bupati Purwakarta Anne Ratna Mustika menyegel Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) di Desa Cigelam, Kecamatan Babakancikao, Purwakrta karena tidak memiliki ijin (IMB).
Ketika aksi-aksi 'gila' tersebut ditempatkan dalam satu scope yang lebih luas, melihatnya lebih tajam dan jauh, akan terlihat bahwa semakin hari keberadaan agama kembali ditegaskan. Peran dan fungsinya diperjelas. Berbagai perubahan dalam realitas kehidupan, seperti perkembangan iptek, globalisasi, industrialisasi, sekularisme, dan seterusnya dapat dimaknai sebagai blessing in disguise (berkat terselubung) bagi manusia untuk kembali menyadari dirinya sebagai manusia beragama, yang sedang berziarah mencari pengasal dan pengadanya.
Namun, ketika berpaling ke belahan dunia lain, niscaya keraguan bisa tercipta. Betulkah agama dapat diandalkan? Keraguan itu tambah kuat dengan berbagai aksi atas nama agama atau sekte suatu agama melalui berbagai aksi nekat. Kita dapat menelusuri berbagai pemberitaan di media masa tentang tindakan intoleransi, sikap diskripminasi yang dialami agama tertentu, atau sekelompok penganut. Entah pelanggaran beribadah, larangan mendirikan rumah ibadah, penghentian ibadah, bahkan aksi nekat pembakaran rumah ibadah dan pemboman umat yang sedang beribadah.
Tentu, masyarakat sebagai 'umat beragama' bertanya, fenomena apakah ini? Bukankah merupakan sikap ironis? Padahal UUD 1945, pasal 29 ayat 1 dan 2 telah menjamin kebebasan dan kemerdekaan setiap orang untuk memeluk agama dan beribadah sesuai dengan agama yang dianutnya. Itu sekadar wacana. Landasan konstitusional itu seakan tunduk di bawah 'suara pemerintah' yang menjadi senjata kaum mayoritas untuk 'menjajah' kaum minoritas.
Tidak dapat dimungkiri bahwa berbagai realitas beraroma keagamaan tersebut membuat sense of religious (rasa keberagamaan) kita tersentuh. Bahkan, ruang batin penghayatan agama kita terganggu. Pertanyaan tersebut akan berkembang, dapatkah agama diandalkan? Kalau pun dapat, agama macam manakah itu?
Kita mesti diakui bahwa pertanyaan itu tidak mungkin dijawab secara tuntas. Barangkali yang kita perlukan adalah merumuskan atau lebih tepat mencari suatu spiritualitas agama yang kurang lebih relevan dengan sejarah (manusia) hic et nunc (di sini dan saat ini). Agama dan sejarah (manusia) bukan dua wilayah dengan hukum sendiri-sendiri tanpa saling bersangkut paut. Agama dan sejarah manusia adalah dua dimensi dari suatu kehidupan yang integral.
Membaca agama
Secara positif setiap aksi 'gila' atas nama agama dapat dikatakan sebagai ekspresi sense of religious kita sendiri. Bagaimana pun juga agama tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari sejarah hidup manusia. Karena itu bisa dimengerti bahwa Will Durant dalam The Leson of History tegas-tegas mengarahkan 'Agama mempunyai seratus jiwa. Segala sesuatu jika telah dibunuh pada kali pertama akan mati untuk selamanya, kecuali agama. Sekalipun dia seratus kali dibunuh, dia akan hidup dan bangit lagi.'
Sesungguhnya, penegasan ini tidak berlebihan. Karena selain sikap yang semakin postitif terhadap agama (kendati tetap dengan keraguan akan roh yang didapat darinya), kebangkitan agama di seluruh dunia sekaligus menegaskan keberadaannya. John Naisbitt benar ketika dia menujumkan bahwa dewasa ini manusia kembali. Artinya bahwa di tengah gemuruhnya arus disrupsi, agama tetap menjadi pegangan, kompas, pedoman, arah buat manusia di setiap jejak langkahnya.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, agama merupakan suatu institusi vital. Agama hadir dan memainkan peranan sebagai stabilisator dan dinamisator, mengatur segala realitas manusia yang sering retak. Benar juga kalau dikatakan bahwa agama termasuk lembaga tertua dalam masyarakat yang prihatin terhadap masalah-masalah permusuhan dan perdamaian.
Hal itu bisa dilihat, misalnya kegiatan peribadahan dan tempat-tempat ibadah berfungsi sebagai sentrum dan integrator; sebagai wadah Treuga Dei (Perdamaian Allah) bagi pihak-pihak yang bertentangan. Atau meminjam ucapan Karl Mangeim, agama berfungsi sebagai sinndeutung und sinnverdeutlichung des zusammenlebens (pemberi makna dan penjelasan atas hidup bermasyarakat). Atau sebagai grenzsituation (situasi batas) menurut Karl Jaspers.
Tentu, buat setiap penganutnya, agama sangat penting. Kendati zaman teknologi telah tumbuh menjadi suatu kratos (kekuatan) tersendiri, agama tetap menjadi prioritas. Bisa dipahami kalau Peter L Berger memaklumatkan bahwa agama merupakan suatu sacred canopy (langit suci) yang melindungi manusia dari situasi chaos, yaitu situasi tanpa arti, situasi anonim. Pertanyaannya, mengapa agama tetap diyakini sebagai pegangan? Mengapa dia tetap eksis kendati seratus kali 'dibunuh'?
Pertanyaan-pertanyaan ini mengadaikan pemahaman secara tetap tentang hakikat agama. Akan tetapi, memberikan suatu batasan tentang Agama secara pas sangat tidak gampang. Kita tidak mungkin mengejawantahkan sense of religious tanpa punya konsep sebagai kerangka acuan. Maka minimal dibutuhkan suatu deskripsi tentang agama. Deskripsi tentang agama berdasarkan premis bahwa sepanjang sejarahnya, manusia beragama telah menunjukkan suatu 'rasa suci'. Agama masuk kategori 'yang suci' itu.
Setiap manusia punya pengalaman tentang 'yang suci'. Pengalaman itulah yang oleh Rudolf Otto disebut sebagai perjumpaan dengan Yang Kudus. Menurutnya, ide tentang Yang Kudus (qados, hagios, sanctus) adalah the real innermost core (saripati sesungguhnya) dari semua agama. Di sini, manusia berjumpa dengan suatu 'misteri' yang tersembunyi dan esoteris, sesuatu yang sama sekali lain (wholly other), yang melampui yang tercerna, yang dialami sebagai mysterium tremendum et fascinosum (misteri yang menggetarkan dan mempesona), yang melahirkan dalam diri manusia “urgensi” dan “energi” yang tak dapat dijelaskan dengan kata-kata.
Atau kalau memakai rumus William James, agama sesungguhnya bersangkut paut dengan perasaan, tindakan, dan pengalaman. Artinya, agama bukan sesuatu yang berada di luar diri manusia. Agama termasuk kemanusiaan manusia. Dalam konteks iman Katolik, agama juga dimaknai sebagai gereja. Gereja merupakan 'persekutuan orang beriman yang percaya kepada Kristus' (Kis. 37—47). Gereja bukan sekadar tempat ibadah atau bangunan. Gereja adalah 'citra Allah' sendiri, yaitu umat-Nya. Agama bukan sekadar ritualitas, melainkan penghayatan iman.
Itu berarti agama tidak hanya menyangkut hal-hal teoretis, melainkan hidup sebagaimana kita hayati. Dalam bahasa Hans Kueng, agama selalu menyangkut basic-trust seseorang akan hidup, menyangkut 'ya' atau 'tidak' pada hidup.
Karena agama selalu berkaitan dengan diri manusia, maka hakikatnya adalah hakikat historis. Bukan sebaliknya hakikat metafisik yang selesai dan terumus mati dalam kehidupan doktrin dan ajarannya. Benar bahwa agama punya referensi pada kekuatan adikodrati. Ia menunjuk pada sesuatu yang tidak terbatas dan ultim. Namun, yang memberikan titik referensi itu adalah juga manusia yang menyejarah, dengan daging dan darah yang melekat.
Spiritualitas berbicara dengan hati
Suatu kajian mendalam memperlihatkan agama memiliki multi dimensi dalam fungsinya. Hakikatnya, agama dapat dilihat sebagai bentuk pengungkapan rasa kepatuhan manusia pada yang transenden, yang absolut, dan imanen dalam berbagai bentuk simbol dan tradisi sesuai dengan konteks historis tertentu.
Satu sisi, agama juga tidak terlepas dari perspektif sosiologis kemasyarakatan. Bagi setiap penganutnya, agama dilihat sebagai ultimum remedium, semacam senjata pemungkas, yang bisa meredam segala macam konflik; atau boleh memberikan warna human terhadap modernisasi yang cendrung reduktif.
Kalau agama memiliki missio fundamentalis (misi utama) untuk menyelamatkan dunia dari situasi anonim, situasi chaos, pertanyaannya mengapa kehidupan manusia penuh dengan ketidakberesan, tantangan, bahkan permusuhan?
Padahal tidak dapat disangkal bahwa dalam setiap agama terdapat dimensi perenis yang menyatukan semua agama. Dalam setiap agama dan tradisi esoterik ditemukan warta dan pengetahuan yang sama, yang terbungkus dalam berbagai bentuk tradisi dan simbol.
Barangkali diperlukan suatu spiritualitas baru, sehingga missio fundamentalis tetap relevan dengan situasi sosio historis saat ini. Butuh spiritualitas baru karena manusia beragama tidak pernah menghayati hidupnya dalam suatu kevakuman. Ziarah hidupnya berlangsung dalam kisaran waktu dengan sekian banyak implikasi praktisnya: kemajuan, kemuduran, pergolakan, dan sebagainya.
Demikian juga dengan agama. Seturut hakikatnya yang historis, agama tidak pernah dihayati dalam suatu kevakuman. Ia memiliki sesuatu yang oleh Paus Fransiskus disebut 'Hati yang mondorong kita untuk datang, melihat, dan mendengarkan. Dan hati itu pula yang menggerakkan kita berkomunikasi secara terbuka dan ramah'. Artinya, agama terlibat dan menyatu dengan kemanusiaan manusia, dalam setiap pergulatan hidup manusia, pada setiap perubahan yang terjadi.
Paus Fransiskus memberi 'obat' untuk menyembuhkan realitas 'kegilaan' dan berbagai persoalan hidup sosial manusia, yakni 'berbicara dengan hati'. 'Obat' tersebut merupakan pesan beliau untuk Hari Komunikasi Sosial Sedunia ke-57 pada 21 Mei 2023.
Paus ingin mengatakan bahwa agama memiliki concern terhadap realitas dan situasi dunia nyata. Saya boleh katakan, Paus ingin menegaskan keberadaan agama; bahwa agama tidak sekadar memuaskan 'Zeus di puncak Olimpus', tetapi sebaliknya memiliki 'program Kristiani—sebagaimana ditulis Paus Benediktus XVI—yakni 'hati yang melihat'. (Ensiklik Deus Caritas Est, art.31, 25 Desember 2005)
Dalam konteks pesan Paus, Agama merupakan pohon dan umat adalah buah yang dihasilkannya, sehingga setiap pohon dapat dikenal dari buahnya (bdk. Luk. 6:44). Artinya, realitas kehidupan umat memprioritaskan 'komunikasi yang ramah' dan 'berbicara dengan hati' merupakan buah yang berasal dari pohon yang baik pula. Barangkali ini merupakan salah satu jalan spiritualitas agama untuk memberikan jawaban kepada manusia yang bertanya tentang arah kehidupan penuh damai tanpa perselisihan dan perpecahan.
Berkomunikasi yang ramah
Agama tidak bisa hanya mengurung diri lalu merumuskan seperangkat doktrin dan ajarannya, yang terkadang rigoristis dan harus dipatuhi. Sebaliknya ia mesti turut dalam setiap tarikan nafas manusia, ikut merasakan semua getaran nasib manusia dan terlibat dalam setiap teriak gelombang ziaran hidup manusia zamannya. Agama boleh punya tuntutan normatif, tetapi tidak mesti mengabaikan panggilan praktisnya.
Agama yang dibutuhkan bukanlah agama yang gampang meneror para pendosa, para pelacur, penguasa, dan aparat yang KKN. Bukan juga agama yang menjebak orang dalam rasa bersalah yang permanen, tetapi membebaskan. Paus Fransiskus menghadirkan satu misi agama, yakni membangun komunikasi yang ramah.
Sebagai umat beriman, Paus mengajak kita untuk lebih memahami sesama dengan saling menghargai, saling menerima, dan saling memperkaya melalui sikap berbahasa (mendengarkan, membaca, menulis, dan berbicara) yang ramah. Dengan sikap demikian, kita menggambarkan Tuhan sebagai cinta, bukan hakim yang bengis.
Bahkan, Paus mengajak kita untuk 'berkomunikasi dengan ramah berarti siapa pun yang membaca atau mendengarkan kita, dituntut untuk menyambut keterlibatan kita dalam kegembiraan, ketakutan, harapan, dan penderitaan manusia di zaman kita.'
Agama yang dibutuhkan bukan agama yang cuma memuaskan kuriositas para teolog, untuk studi kaum psikoanalis. Tidak untuk skripsi para sarjana, tetapi primer untuk kehidupan nyata. Agama yang dibutuhkan adalah agama yang mampu memberikan kesegaran bagi para petani miskin, para buruh kasar di pelabuhan, mereka yang tertindas. Karena itu, Paus berpesan khusus umat Kristen untuk secara terus menerus menjaga lidah dari yang jahat (bdk. Mzm. 34:14).
Agama zaman sekarang bukan sekadar agama ritual semata. Tetapi terutama agama eksistensial yang berada dalam dan bersama manusia, agama yang sanggup mengetuk nurani manusia, yang mampu menanggapi duka dan kecemasan, kegembiraan, dan harapan manusia zaman ini. Agama yang mampu berbicara dengan hati dalam menyatakan kebenaran.
Pesan Paus supaya gereja bukan saja percaya kepada Allah yang diaktualisir dan dijaga ketat dalam suatu intitusi yang rapi. Tetapi juga harus memperjuangkan sesuatu tata hidup yang baru, kami membangun dialog profetis yang oleh Paus Fransiskus disebut sebagai 'berbicara dengan hati'. Sikap ini menunjukkan kehadiran agama menjadi gerakan gerakan rohani di tengah dunia kongkret.
Bila agama memiliki spiritualitas 'berbicara dengan hati', bersama Ireneus setiap manusia boleh boleh berkidung, Gloria Gei, Vevens Homo (Kemuliaan Allah adalah purnanya hidup manusia).
PAUS Leo XIV meminta gereja Katolik merespons perkembangan kecerdasan artifisial (artificial intelligence, AI) dalam pernyataan perdananya kepada Kolese Kardinal, 10 Mei 2025.
Persoalan di Manggarai, Jakarta Selatan, lebih tepat diatasi bila ada lowongan pekerjaan yang disiapkan bagi anak-anak muda di sana.
Direktur Eksekutif Maarif Institute Andar Nubowo menyebut hasil dari survei tersebut memperlihatkan persepsi positif terkait hal itu.
Sebagai salah satu negara dengan populasi muslim terbesar di dunia, Indonesia memiliki pengalaman panjang mengelola keberagaman agama dan budaya.
INDONESIA akan menjadi tuan rumah International Partnership on Religion and Sustainable Development (PaRD) Leadership Meeting 2025 yang membahas peran agama dalam pembangunan global
Gua Maria adalah sebuah tempat yang dibangun khusus untuk kegiatan peziarahan dan keagamaan kepada Maria dan biasanya terletak di tempat yang jauh dari pusat kota.
Paus Leo XIV menambahkan bahwa Gereja perlu membuka diri pada pemahaman baru mengenai peran dan tugas perempuan dalam pelayanan dan soal kepemimpinan.
KARDINAL Robert Francis Prevost terpilih menjadi Paus ke-267 dengan memilih nama Paus Leo XIV menggantikan mendiang Paus Fransiskus.
OTORITAS Gereja Katolik tengah mempersiapkan konklaf kepausan berikutnya pada Rabu (7/5).
Selain soal kebersihan lingkungan, dia juga berharap agar gereja dapat menyampaikan pesan-pesan dan nasihat terkait dengan penggunaan media sosial yang kini semakin meninggalkan tata krama.
Paskah merupakan peristiwa kebangkitan Yesus yang hidup, yang memanggil umat percaya dan yang menyatakan kuasa-Nya.
Dalam perayaan ke-75 tahun itu, PGI akan menggelar berbagai kegiatan seperti bakti sosial, program beasiswa, serta perayaan yang memperkuat soliditas internal gereja.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved