SORE itu pukul 16.00 WIB, 14 Agustus 1945, Sjahrir datang ke rumah Bung Hatta untuk mengabarkan bahwa Jepang telah minta damai dan menyerah kepada Sekutu. Selanjutnya Sjahrir menanyakan bagaimana dengan kemerdekaan Indonesia. Bung Hatta menjawab: “Itu tergantung dari kita sendiri.” Sekeping cerita tersebut merupakan rentetan dari peristiwa proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Sebuah kelokan sejarah yang ditunggu segenap rakyat Indonesia sebagai sebuah bangsa. Keberanian mengambil sikap dan keputusan di saat genting para pendiri bangsa menentukan kemerdekaan Indonesia.
Bagi orang yang melihat hidup sebagai sesuatu yang normal dan selalu bersikap pasrah, hidup berjalan biasa saja tanpa ada yang penting, darurat, dan genting. Jika mengandaikan pemimpin pergerakan pada waktu itu bersikap biasa saja dan pasrah, mungkin saja Indonesia tetap merdeka, tetapi apakah kemerdekaan yang direbut atau diberikan. Maknanya menjadi berbeda. Pemimpin pergerakan pada waktu itu menolak bersikap pasrah, mereka mengambil tindakan-tindakan luar biasa sehingga belokan sejarah kekalahan Jepang atas Sekutu sepenuhnya mampu diambil.
Rasanya peristiwa kegentingan menjelang proklamasi itu mesti dianggap sebagai bentuk tanggung jawab dari pemimpin pergerakan pada waktu itu sebagai manusia. Tanggung jawablah yang menggerakkan manusia untuk terus bergerak memperbaiki hidupnya. Setiap orang bertanggung jawab atas hidup mereka dan sungguh-sungguh berkehendak mengembangkannya. Bagi orang yang merasa hidup sudah selesai begitu saja dan apa adanya, kegentingan diterima sebagai apa adanya, tanpa perlu bertindak untuk mengendalikan, memanfaatkan, dan mengarahkan kepada kepentingan kehidupan yang lebih baik. Inilah momen eksistensialis manusia.
Cinta dan pengorbanan
Deklarasi pencalonan Anies Rasyid Baswedan oleh Partai NasDem (selanjutnya NasDem saja) mengejutkan banyak pihak. Bukan saja tidak menyangka, melainkan dalam hitungan probabilitas pendulum lebih menguntungkan NasDem untuk mencalonkan kandidat lain atau mengikuti arus besar yang akan muncul daripada mengusung Anies Baswedan.
Hampir pasti dengan demikian NasDem akan berada di jalur yang aman dan lempang. Keberadaannya di lingkar kekuasaan lebih menguntungkan jika NasDem mengikuti irama partai koalisi. Sayangnya dirigen NasDem berbeda, bahkan partitur yang dipegang pun disusun secara merdeka.
Selain alasan politis, alasan ideologis sejauh yang dipahami awam karena NasDem sempat berjarak dengan Anies Baswedan terkait dengan Pilkada DKI Jakarta 2017. NasDem yang mengusung Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) secara diametral berhadap-hadapan dengan Anies Baswedan. Bahkan, atas pilihan itu NasDem harus bergesekan dengan pendukung Anies Baswedan karena dianggap sebagai ‘penista agama’. Jadi, hampir pasti ayunan pilihan kandidat ke Anies Baswedan mempunyai peluang yang sangat kecil jika dibandingkan dengan kandidat-kandidat lain. Nyatanya Anies Baswedan-lah yang kemudian muncul sebagai kandidat calon presiden dari NasDem.
Alasan Surya Paloh, Ketua Umum Partai NasDem, memilih Anies Baswedan, ”Kenapa Anies Baswedan? Jawabannya adalah ‘why not the best’?” Menurutnya, setelah melalui perjalanan dan pemikiran yang cukup lama, pilihan tersebut diambil. Anies-lah ‘putra terbaik dari terbaik lainnya’ yang dapat diusung dan dipersembahkan NasDem kepada rakyat.
Keberanian mengambil risiko semacam itu ialah wujud dari ciri khas manusia yang memiliki cinta. Sebagai tindakan paling primordial dari manusia, cinta mendorong pribadi seseorang untuk melakukan tindakan lainnya sehingga seseorang dalam cintanya akan siap bertindak dengan penuh kerelaan (disponibilite), penerimaan (receptivite), keterlibatan (engagement), dan kesetiaan (fidelity).
Cinta di sini telah melampaui batas subyektif, bukan lagi tentang pesona person, melainkan keberanian berkorban untuk kehidupan yang lebih baik. Apa bedanya mencalonkan Ahok dengan Anies? Tidak ada bedanya karena keduanya ialah sebaik-baik warga negara Indonesia. Anak-anak bangsa terbaik yang rela mendedikasikan jiwa dan raga mereka untuk ikhtiar membangun bangsa. Lantas kenapa keduanya mendapatkan ‘serangan’ yang sedemikian buruk sehingga seolah mereka bukan lagi warga negara Indonesia yang setara dalam hak dan kewajiban?
Kesempatan harus diberikan kepada mereka yang terbaik terlepas dari suku, agama, ras, dan golongan. Kecintaan semacam itu jelas bukan cinta sesaat. Inilah cinta yang harus dipahami sebagai mencintai Indonesia dengan Bhinneka Tunggal Ika.
Hasrat mencela dan membenci dalam kehidupan bangsa dan negara ini selayaknya segera dieliminasi untuk memberi jalan bagi kemajuan yang berkeadaban. Kegentingan atas polarisasi selama hampir lebih satu dekade harus diselesaikan dengan memberi pendidikan kepada rakyat.
Surya Paloh hendak mendidik rakyat dengan perjuangan, bukan menyerah pada dominasi kelompok tertentu. Kehormatan sebagai bangsa dan negara hanya dapat dikonfirmasi jika tabiat dan tingkah laku warga negaranya beralur akar pada nilai-nilai yang digenggam sebagai kesepakatan bersama.
Bangsa Indonesia, sebagai bangsa yang besar dalam sejarahnya selalu berupaya meninggikan derajat manusia lain. Dus itulah kenapa '…penjajahan di atas di dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan' termaktub di awal Pembukaan konstitusi kita.
Genap dua hakikat cinta terpenuhi dalam keputusan Surya Paloh mendeklarasikan Anies Baswedan. Satu, cinta pada negara dan bangsa Indonesia dengan Bhinneka Tunggal Ika dan, dua, cinta pada konstitusi. Dua alasan itu rasanya cukup untuk membuka cakrawala raison d’etre pendeklarasian Anies Baswedan. Namun, cukup saja belum mampu menggambarkan keutuhan panorama gagasan besar Surya Paloh atas ini sehingga ‘why not the best’ bukan lagi cinta Platonis, melainkan cinta yang berpijak pada realitas kehidupan sosial dan politik Indonesia.
Mendeklarasikan Anies Baswedan bagi Surya Paloh merupakan upaya untuk menyelamatkan demokrasi. Bahkan, lebih jauh lagi ialah mendorong demokrasi lebih maju dan berkembang. Pilihan-pilihan lebih mudah dapat saja dilakukan tanpa mendorong proses kompetisi lima tahunan yang lebih sehat dan maju, bisa saja dilakukan secara biasa-biasa saja, toh yang penting hajat lima tahun sekali telah tertunaikan.
Siapa pun kandidatnya publik mungkin akan menerimanya begitu saja. Bukankah semua sudah melalui partai yang mereka beri mandat? Sesederhana itu jika pilihan mengambil risiko untuk memberikan yang terbaik tidak diambil. Rupanya NasDem, dalam hal ini Surya Paloh, lebih memilih untuk membuat keputusan dan bukan sekadar ikut publik. Surya Paloh memilih hidup autentik, dengan tetap mempunyai komitmen terhadap semua keputusan yang diambilnya dan perjalanan hidupnya.
Kegentingan yang mengintai dalam musim pancaroba politik tidak membuat Surya Paloh berputus asa atau berdiam berpangku tangan. Ia lebih memilih untuk menghadapi kegentingan itu sebagai keberanian berkomitmen sebagai anak bangsa. Inilah pengorban (will sacrifice) Surya Paloh untuk mempersembahkan yang terbaik bagi negara dan bangsa Indonesia.
Surya Paloh telah meletakkan dasar masa depan negara dan bangsa Indonesia yang lebih baik. Menurut Daoed Jusuf (2017), masa depan terbentuk oleh tiga hal utama, yaitu 1) kecenderungan; 2) kejadian baik yang dibuat alam dan manusia; dan 3) kemauan dan inteligensi manusia. Surya Paloh menyumbangkan dua dari tiga hal tentang masa depan demokrasi Indonesia: kejadian baik yang dibuat manusia dan kemauan dan inteligensi manusia.
Setidaknya dengan kemunculan Anies Baswedan sebagai calon presiden, ada imaji manusia terbaik yang mungkin muncul dan hadir dalam kehidupan politik kita. Imaji yang sama terkultivasinya dengan peluang tumbuhnya benih-benih kebajikan dalam persoalan-persoalan kebangsaan. Kebaikan di dalam manusia juga kebaikan di dalam ranah publik sehingga arah bangsa diselenggarakan kebajikan manusianya, yang sekaligus melekat sebagai kebajikan bersama. Inilah semangat dengan kesetiaan pada orang sekaligus nilai, pada wadah sekaligus isi. Ibarat Anies Baswedan ialah pohon, Surya Paloh ialah hutannya.
Meskipun deklarasi sudah ditunaikan, tetap saja masih ada keraguan pada NasDem. Narasi yang menggiring seolah NasDem bakal meninggalkan Anies Baswedan pada menit-menit terakhir (injury time) berembus kencang. Tentu, bagi sebagian mereka, itu akan dianggap sebagai kemungkinan yang bakal terjadi. Boleh saja berhitung demikian itu, tetapi hakikat cinta yang diberikan Surya Paloh pada pendeklarasian Anies Baswedan secara utuh ialah juga di dalamnya kesetiaan (fidelity). Kesetiaan merupakan wujud nyata kesediaan menanggung segala risiko yang ada. Jadi, bagi Surya Paloh ‘sekali layar terkembang pantas kita bersurut’.
Merangkul risiko
Purbasangka yang berkembang setelah pencalonan Anies Baswedan ialah lunturnya komitmen kesetiaan Surya Paloh pada pemerintahan Presiden Joko Widodo. Berkali-kali hal ini dibantah, tetapi tetap saja sas-sus berkembang liar. Sebagai partai politik yang pertama kali mendeklarasikan Joko Widodo sebagai calon presiden pada Pilpres 2019, menurut Surya Paloh, NasDem masih bahagia di pemerintahan.
Menurutnya, “Bagaimana kita memprioritaskan kepentingan publik yang merindukan pemerintahan yang kuat, tetapi tetap menjaga empati untuk keadaan yang seperti ini, dan saya pikir itu yang mau kita capai, dan itu saya yakin masih tetap kuat di diri seorang presiden Jokowi.” Karena itu, untuk maju menyongsong masa depan, Surya Paloh berbekal pada kesetiaan komitmen masa lalu yang dibentuk dan membentuknya sampai saat ini.
Titik krusial itulah yang dilampaui secara cemerlang oleh Surya Paloh, dengan harus memilih apa porsi masa lalu (what portion of the past) dan kebutuhan baru yang mendesak (what pressing new needs lie on the future horizon). Bukan memilih salah satunya, Surya Paloh lebih memilih peluang membangun pilihan baru yang merangkul semua pihak.
Visi itu yang dipelihara untuk meneruskan semangat restorasi Indonesia. Ikhtiar untuk terus menumbuhkan harapan pada adanya kemajuan berpolitik di Indonesia. Pilihan hitam putih tidak memberi keselarasan dalam upaya menciptakan kemajuan dalam pembangunan Indonesia. Nyatanya dibutuhkan kolaborasi, semangat bekerja sama, bukan semangat saling meniadakan.
Tentu pilihan semacam itu mempunyai risiko. Akan tetapi, patut diingat, tanpa risiko tiadalah keyakinan (without risk, no faith). Dalam buku Anne Dufourmantelle yang berjudul In Praise of Risk, seseorang mesti belajar bagaimana untuk hidup yang tidak menghindari risiko, tetapi merangkulnya sesesuai mungkin. Terbukti, keberanian merangkul risiko itu memberi pesona kemajuan yang sulit dibantah.
Pencapresan Anies Baswedan menjadi pembentuk tren. Sangat sulit untuk mengabaikan bahwa pencapresan Anies Baswedan telah mendorong terbentuknya iklim politik yang lebih dinamis. Semua pihak kemudian dituntut untuk meletakkan kepentingan bangsa dan negara sebagai menu utama pilihan-pilihan politik mereka.
Kandidasi yang dilakukan baik oleh partai politik maupun gabungan partai politik dengan sangat serius menimbang kualitas dan kapabilitas sehingga peluang untuk sekadar bagi-bagi kekuasaan atau hoompimpah dalam kontestasi lima tahunan itu urung terjadi. Suka tidak suka, setiap pihak menjadikan Anies Baswedan sebagai standar untuk mengusung kandidat mereka. Risiko yang hinggap pada diri pribadi Surya Paloh dan NasDem bertransformasi menjadi peluang baik bagi semua pihak. Begitulah yang tampak buruk di awalnya nyatanya berkah di kemudian.
Penutup
Melihat Anies Baswedan sebagai pohon maka Surya Paloh (sekaligus NasDem) merupakan hutannya. Rimba belukar itulah yang menjadi pionir bagi kelahiran Anies Baswedan sebagai calon presiden sehingga kemunculan Anies Baswedan sebagai calon presiden bukan suatu yang ujug-ujug, tetapi telah ditimbang dengan kecermatan visi yang berdiri atas kepentingan rakyat.
Dalam sekuens ini, Surya Paloh menyajikan bukan sekadar visi yang memotori pilihan-pilihan politik, melainkan juga keberanian berkorban dengan merangkul risiko itu sendiri. Jadi, seperti Sukarno ketika dilepas dari Rengasdengklok pada 16 Agustus 1945 oleh kelompok pemuda yang menculiknya, “Jadi, besok pagi jam 10.00 saya umumkan proklamasi kemerdekaan Indonesia?” Yang dijawab: “Yaaah” secara bersamaan oleh Mr Soebardjo dan Bung Hatta. Di situlah letak visi dan keberanian mengambil risiko menjadi bagian dari seorang pemimpin.
Begitulah seorang pemimpin mengambil keputusan politik dan memberi teladan bagi publik. Bisa jadi keputusannya berisiko, tetapi visi yang cemerlang menangkal terjadinya kebinasaan dalam tindakan yang berani. Mengutip Raja Ali Haji dalam Gurindam XII kiranya begini seharusnya pemimpin politik berlaku: 'Hendaklah berjasa, kepada yang sebangsa; Hendaklah jadi kepala, buang perangai cela; Hendaklah memegang amanat, buanglah khianat'.