Headline

Kecelakaan berulang jadi refleksi tata kelola keselamatan pelayaran yang buruk.

Fokus

Tidak mengutuk serangan Israel dan AS dikritik

Kelola Emosi Dulu, Baru Mengajar

Zahrul Fuadi Guru SD SSB Pidie
29/8/2022 05:05
Kelola Emosi Dulu, Baru Mengajar
Ilustrasi MI(MI/Duta)

MENGELOLA emosi saat mengajar adalah sebuah keharusan bagi guru. Apalagi jika guru tersebut mengajar di sekolah dasar--khususnya kelas rendah--dan menjadi guru kelas. Kemampuan mengelola emosi adalah keterampilan yang wajib dikuasai guru karena mereka paling banyak menghabiskan waktu bersama siswa di kelas saat belajar, bermain, berdiskusi, mendengar siswa bercerita, dan sebagainya.

 

Belajar dari pengalaman

Ada satu pengalaman saya menghadapi siswa yang semangat belajarnya naik-turun. Dalam kesehariannya di sekolah, siswa ini termasuk anak yang lumayan baik secara akademik karena capaian nilainya sering di atas rata-rata pada setiap pelajaran. Setiap saya masuk kelasnya, dia selalu menunjukkan sikap tidak ingin belajar, bersikap acuh tak acuh. Padahal pada jam sebelumnya, dengan guru lain, dia bersikap baik-baik saja. Pada satu sisi, sikap yang ditunjukkan anak ini membuat saya berpikir untuk menghindar mengajar di kelas ini. Namun di sisi lain, saya malah merasa tertantang dengan anak tersebut.

Pernah ada satu kejadian saat dia duduk di kelas 6. Dia mengusili adik kelasnya dan dilawan balik oleh sang adik kelas. Saat itu waktu istirahat. Semua guru sedang melaksanakan salat dan makan siang. Hanya saya sendiri yang berada di tempat kejadian. Saya melerai perkelahian tersebut. Rupanya dia tidak terima dilerai. Emosinya semakin memuncak sampai tidak mau berbicara dengan saya selama seminggu. Bahkan tidak mau belajar dan tak mau menjawab soal dari saya.

Saya juga merasa kesal dan marah dengan anak ini, karena ternyata, setelah diselidiki, kejadian itu bermula dari keusilannya kepada adik kelasnya. Saya berusaha memediasi mereka, tetapi anak itu tetap diam. Dia memilih tidak mau menjawab, membungkam mulutnya serapat-rapatnya sehingga masalah ini pun berlanjut ke kesiswaan sekolah. Di sini dia semakin marah kepada saya dan tidak ingin bicara lagi. Kejadian tersebut benar-benar membuat hubungan kami 'memanas', yang sebelumnya tidak ada tegur sapa, sekarang menoleh ke arah saya pun tidak ada lagi.

Saya menyadari bahwa saya tidak bisa meneruskan hubungan dengan siswa seperti ini. Saya harus menyelesaikannya. Saya mengubah cara pandang dan pendekatan saya kepada anak ini. Saya berusaha mendekatinya secara perlahan dengan duduk bicara empat mata walaupun dia tidak mau. Mengajaknya untuk mengulang pelajaran di kelas saat jam pulang, membantunya memahami soal, selalu memanggil namanya saat KBM berlangsung, menyuruhnya untuk selalu menjadi pembaca materi utama di kelas. Ada sedikit perubahan setelah saya lakukan beberapa hal tersebut, tetapi tidak dengan sikapnya. Saya tidak memaksanya. Saya memberinya waktu untuk berpikir, merenungkan apa yang terjadi pada dirinya minggu lalu.

Seminggu setelah kejadian, akhirnya dia menjumpai saya dan meminta maaf atas sikapnya dan menyesalinya. Saat itu saya terpikir bahwa ada sesuatu yang spesial pada anak ini, yaitu sikap mandiri dan dewasanya yang belum dimiliki oleh siswa lain. Kami berbicara, berdikusi, sampai dia mengatakan bahwa sebenarnya dia mengidolakan saya. Saya merasa bersalah karena selama ini saya berasumsi bahwa siswa tersebut tidak suka dengan saya.

Kemudian terjadilah dialog berikut, "Kalau kamu mengidolakan Bapak, lalu mengapa kamu malah menunjukkan sikap acuh tak acuh saat belajar dengan Bapak?" Dia menjawab, "Karena saya tidak tahu bagaimana cara mengekspresikannya, Pak. Saya bingung. Saya juga berpikir Bapak tidak suka dengan saya, membenci saya. Seperti kejadian kemarin ketika Bapak melerai perkelahian kami yang membuat saya terpental keras ke lantai. Saya berpikir itu adalah ekspresi ketidaksukaan Bapak kepada saya."

Saya menyelidik lebih lanjut, "Lalu mengapa sekarang kamu malah mendatangi Bapak?" Dia menjawab, "Saya melihat beberapa hari terakhir Bapak mencoba baik kepada saya. Memberikan perhatian yang tulus kepada saya sehingga pada akhirnya saya sadar bahwa apa yang sudah saya lakukan adalah salah, dan saya harus meminta maaf," tegasnya sambil tersenyum malu.

 

Tips kelola emosi

Sebagai guru, khususnya guru sekolah dasar, ada baiknya jika kita memliki keterampilan mengelola emosi sebelum mengajar. Dalam tulisan Coping with Angry Student, Dr Kenneth Shore menyarankan sembilan cara yang bisa kita lakukan untuk mengendalikan perasaan kita sendiri dan perasaan siswa di kelas (http://drkennethshore.nprinc.com).

Pertama, tetap bersikap tenang. Mengajaknya berdebat hanya akan membuatnya semakin marah. Kedua, jangan mudah terpancing dengan kata-kata yang keluar dari mulutnya. Karena bisa jadi, kata-kata itu bukanlah masalah yang sebenarnya. Ketiga, tunjukkan sikap mendukungnya dengan mendengarkan mengapa ia bagitu marah, tanpa menyelanya. Biarkan dia tahu bahwa dia boleh marah, tapi dia harus mencari cara agar bisa meluapkan kemarahanya dengan cara tidak membuat keributan di kelas, serta tawarkan beberapa saran atau solusi dari kita.

Keempat, mengajaknya bekerja sama dalam memecahkan masalah. Kelima, kita harus menyediakan waktu membantu mereka memahami soal, sering memberinya semangat dan motivasi, bahkan kita harus merelakan beberapa saat setelah KBM selesai. Keenam, intervensi lebih awal. Jika kita melihat salah seorang siswa memperlihatkan gejala bahwa dia akan marah, segera kita ambil sikap lebih awal dengan mengalihkan kemarahannya kepada sesuatu yang positif.

Ketujuh, jangkau siswa. Mungkin siswa berasumsi bahwa guru sangat marah dan kesal dengan siswa yang sering emosional di kelas. Itu sebabnya kita harus ubah persepsi siswa yang demikian dengan cara memberikan perhatian kepadanya. Kedelapan, meminta siswa untuk menuliskan apa yang terjadi, seperti apa yang membuatnya marah, bagaimana dia meresponsnya, bagaimana akibat terhadap orang lain, serta bagaimana cara dia menyelesaikannya. Kesembilan, menyediakan atau mengajaknya ke tempat yang nyaman untuk menghindar sesaat dari masalah yang dihadapinya.

Itulah beberapa cara mengelola emosi baik guru maupun siswa yang bisa diaplikasikan di sekolah dasar. Bukan berarti penulis cukup mahir menjalankan tips di atas. Menjadi guru tidak cukup menguasai konten, metode, atau strategi pembelajaran saja. Terampil mengelola emosi jauh lebih fundamental dikuasai terlebih dahulu sebelum mengajar. Karena, ketika kelas sudah mulai jenuh, mungkin hal-hal yang tidak diinginkan akan terjadi, dan di sini guru harus berubah menjadi teman dekat siswa untuk mengendalikan kelas kembali.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya