Headline
Berdenyut lagi sejak M Bloc Space dibuka pada 2019, kini kawasan Blok M makin banyak miliki destinasi favorit anak muda.
Berdenyut lagi sejak M Bloc Space dibuka pada 2019, kini kawasan Blok M makin banyak miliki destinasi favorit anak muda.
DISKURSUS persoalan upaya hukum terkait sengketa pajak selalu muncul dalam ragam webinar yang dilakukan oleh berbagai organisasi (perkumpulan) dan praktisi bidang pajak. Satu pertanyaan sederhana menarik untuk dikaji, apakah boleh Wajib Pajak mengajukan gugatan dan keberatan sekaligus terhadap satu sengketa pajak?
Sengketa antara Wajib Pajak dengan petugas pajak (fiskus) merupakan hal lazim ketika pandangan hukum dari dua pihak berbeda atas suatu norma yang di atur dalam UU pajak. Lalu, melalui gugatan, keberatan, banding, peninjauan kembali, maupun pembetulan dan pembatalan, menjadi sarana yang disediakan untuk penyelesaian hukumnya.
Ketika membaca UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan No. 6/ 1983 beserta perubahannya dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan No. 7/2021 (UUKUP), jawaban atas pertanyaan hukum di atas, tampaknya tidak jelas. Satu pihak menyatakan tidak boleh, dilain pihak menyatakan boleh.
Konsep Upaya Hukum
Konsep upaya hukum untuk memperoleh keadilan dan kepastian dalam hukum pajak, umumnya dapat diselesaikan melalui tiga cara yang bersifat administratif, substantif, dan filosofis. UUKUP hanya memberi penyelesaian melalui cara bersifat administratif dan substantif.
Akan tetapi penyelesaian hukum bersifat administratif dan substantif, keduanya dapat diselesaikan oleh otoritas pajak (Ditjen Pajak) maupun Pengadilan Pajak. Misalkan Pasal 36 UU KUP menyatakan Ditjen Pajak dapat mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan pajak yang tidak benar (sifat administratif). Lalu Pasal 25 KUP menyatakan Wajib Pajak dapat mengajukan Keberatan ke Ditjen Pajak (sifat substantif).
Pada saat yang sama, UU Pengadilan Pajak No. 14/2002 (UUPP) membuka ruang bagi Wajib Pajak dapat mengajukan gugatan atas suatu keputusan yang dapat diajukan gugatan sesuai UU. Disinilah persinggungan norma yang kerap rancu dan membingungkan pencari keadilan (justitiabelen) dalam hukum pajak.
Makna hukum dari frasa ‘keputusan yang dapat diajukan gugatan’ dalam Pasal 1 angka 7 UU 14/2002, tidak jelas. Bahkan, angka 4-nya hanya menyatakan keputusan adalah penetapan tertulis di bidang perpajakan yang dikeluarkan pejabat yang berwenang.
Makna ‘keputusan’ pun tidak dijelaskan dalam norma Pasal 23 ayat (2) huruf c UUKUP yang menjadi salah satu objek gugatan, karena hanya disebutkan ‘keputusan berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan’. Akhirnya, banyak pihak mengartikan makna ‘keputusan’ sama dengan yang dimaksud UU PTUN No. 5/1986, yakni penetapan tertulis bersifat konkret, individual dan final, dengan tidak memperhatikan bentuknya berjudul “KEPUTUSAN” atau bukan.
Upaya Hukum Simultan
Ketika PT. ABC dilakukan pemeriksaan dan diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) sebesar Rp100 juta, pertanyaannya, apakah Wajib Pajak punya hak mengajukan gugatan ke Pengadilan Pajak sekaligus mengajukan keberatan ke Ditjen Pajak?
Misalkan gugatan diajukan karena tidak ada pembahasan akhir hasil pemeriksaan, dan keberatan diajukan karena fiksus tidak mengakui unsur biaya yang menurut Wajib pajak mestinya diakui. Upaya hukum secara simultan pun ditempuh Wajib Pajak.
Itu sebabnya, persinggungan norma dalam UUKUP maupun UUPP, tampak tidak jelas. Namun penulis memahami karena dua undang-undang mengatur ranah hukum berbeda. UUKUP merupakan ranah hukum eksekutif dan UUPP mengatur ranah hukum bidang yudikatif (peradilan). Kalau begitu, upaya hukum secara simultan tidak menjadi persoalan.
Jika demikian halnya, muncul persoalan hukum lain. Putusan gugatan akan berakibat hukum pada keberatan yang masih dalam proses hukum dengan asumsi putusan gugatan diputus PP lebih dahulu sesuai Pasal 81 ayat (2) UUPP yakni 6 bulan sejak gugatan diterima dan keputusan keberatan 12 bulan sejak diterima.
Persinggungan Norma
Persinggungan norma dalam UUKUP dan dalam UUPP kerap menimbulkan ketidakpastian dalam hukum. Mengapa? Karena UUKUP dan UUPP memiliki kewenangan sama memproses persoalan sengketa pajak bersifat administratif maupun bersifat substantif.
Fakta hukum di atas menarik dikaji karena rumusan norma-normanya dalam UU kurang jelas sehingga menimbulkan kekaburan norma (vague van normen) yang berakibat pada ketidakpastian dalam penerapan hukumnya. Padahal hukum ditujukan untuk mewujudkan kepastian dan keadilan.
Dalam analisis penulis, persoalan gugatan muncul karena tidak dipatuhinya proses hukum prosedural sebagai hukum acara yang mesti dipatuhi. Sekalipun mungkin Wajib Pajak melakukan kesalahan dalam pemenuhan utang pajaknya, tidaklah boleh fiskus menetapkan pajaknya tanpa mengikuti prosedur hukum acara.
Sejak semula hukum acara dibuat supaya pungutan pajak tidak dilakukan secara sewenang-wenang. Ketika pungutan pajak terbukti melanggar hukum acara maka pungutan pajak menjadi tidak sah menurut hukum dan konsekuensi hukumnya dapat dibatalkan supaya berkepastian hukum.
Merunut persoalan kewenangan dalam hukum administrasi, Pasal 18 UU Administrasi Pemerintahan (UUAP) tegas menyatakan adanya konsekuensi hukum tidak sahnya tindakan hukum yang telah dilakukan, sehingga dapat dibatalkan setelah dilakukan pengujian oleh pengadilan. Mengapa dibatalkan? Karena tidak memenuhi kepastian hukum. Dengan kata lain, rumusan norma UUKUP dan UUPP belum memenuhi tujuan kepastian hukum, hingga perlu rumusan ulang.
Soal kepastian hukum, Bagir Manan mengingatkan bahwa untuk benar-benar menjamin kepastian hukum suatu perundang-undangan, selain memenuhi syarat formal, harus memenuhi syarat lain yaitu jelas dalam perumusannya (unambiguous), konsisten perumusannya, penggunaan bahasa tepat dan mudah dimengerti. (Teguh Prasetya, 2014).
Kalau begitu, perenungan soal upaya hukum gugatan dan keberatan tidak saja semata-mata memaknai persoalan pemisahan kelembagaan tetapi juga soal teks hukum (baca: UU). Karenanya, penulis teringat ajaran filsuf Perancis Derrida (1930-2004), ‘apa saja yang ada adalah teks, teks itu tidak bisa tidak menunjuk kepada teks lain, itulah yang disebut intertekstualitas, suatu teks tidak pernah terisolasi tetapi selalu berkaitan dengan teks-teks lain’.
Penaikan tarif pajak tidak akan berdampak positif bagi penerimaan negara dan perekonomian. Naiknya pungutan pajak justru dapat menghasilkan masalah baru.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati buka suara soal pembentukan Satuan Tugas Khusus (Satgassus) Optimalisasi Penerimaan Negara oleh Kapolri.
DPRD juga menerima penyampaian Raperda tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Bogor Tahun 2025-2029.
Dengan dibentuknya Bapeneg, pemerintah dapat melakukan rekonstruksi peraturan perundang-undangan penerimaan negara meliputi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Realisasi penerimaan option PKB dan BBNKB yang sudah mencapai 21%, sejauh ini sudah cukup bagus.
REKTOR Universitas Gadjah Mada (UGM), Dwikorita, menyebut gejala korupsi di Indonesia sudah memasuki level siaga
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved