Headline

Berdenyut lagi sejak M Bloc Space dibuka pada 2019, kini kawasan Blok M makin banyak miliki destinasi favorit anak muda.

Fokus

PSG masih ingin menambah jumlah pemain muda.

G-20 dan Diplomasi Pandemi

Ahmad Syaifuddin Zuhri Mahasiswa PhD Hubungan Internasional Central China Normal University (CCNU) Wuhan, Rais Syuriyah PCINU Tiongkok
12/3/2022 05:00
G-20 dan Diplomasi Pandemi
(Dok. Pribadi)

SALAH satu dampak globalisasi ialah apa yang terjadi di satu negara, cepat atau lambat akan menjalar ke negara di sekitarnya. Globalisasi krisis kesehatan dalam hal ini pandemi covid-19 sejak awal 2020 memicu berbagai perubahan tatanan, termasuk kebijakan politik dan ekonomi negara-negara di dunia. Bahkan, prediksi banyak pihak, dunia tidak akan pernah sama lagi setelah pandemi ini berakhir.

Menjadi tantangan bagi para pemimpin dunia untuk segera mengatasi dan menerapkan kebijakan baru secara bersama-sama dalam lingkup global.

Globalisasi juga memberikan banyak kesempatan dalam pertumbuhan ekonomi dunia yang berketergantungan dan kerja sama. Thomas Freidman menggambarkan globalisasi kontemporer sebagai farther, faster, cheaper, and deeper. Globalisasi terjadi hampir di semua aspek kehidupan mulai ekonomi, militer, budaya, hingga lingkungan. Saat ini tidak dapat dihindarkan bahwa kerja sama dan kolaborasi antarnegara menjadi prasyarat utama tercapainya tatanan global yang mapan.

Indonesia, secara resmi meneruskan Presidensi dalam G-20 (Group of Twenty) sejak Oktober 2021 dari Italia. Tantangan Indonesia sebagai Presidensi G-20 tidak hanya bersama mengatasi ekonomi global, tetapi juga terkait dengan keluar dari masa pandemi yang berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi global. Presidensi G-20 Indonesia menggalang kebersamaan global untuk pulih bersama-sama dari pandemi covid-19, dengan mengangkat tema Recover together, recover stronger.

Negara-negara G-20 itu terdiri atas Argentina, Amerika Serikat, Australia, Brasil, Kanada, Tiongkok, Prancis, Jerman, India, Indonesia, Italia, Jepang, Korea Selatan, Meksiko, Rusia, Arab Saudi, Afrika Selatan, Turki, Inggris, dan Uni Eropa. Negara-negara tersebut merepresentasikan kekuatan ekonomi dan politik dunia dengan komposisi anggotanya mencakup 80% PDB dunia, 75% ekspor global, dan 60% populasi global yang sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi dunia.

Sejak awal, G-20 lahir sebagai respons atas krisis ekonomi dunia pada 1997-1998, yang bertujuan memastikan dunia keluar dari krisis moneter dan menciptakan pertumbuhan ekonomi global yang kuat dan berkesinambungan. Pertemuan itu dilakukan para menteri keuangan dan yang terkait. Pada 2008, saat menghadapi krisis finansial global, pertemuan G-20 mulai melibatkan para pemimpin kepala negara atau pemerintahan.

G-20 dibentuk karena perlunya kerja sama dan ketergantungan antarnegara satu sama lain. Dalam paradigma neoliberal, ekonomi beserta rezim yang mengatur perekonomian dunia termasuk kepada arus utama untuk menciptakan interdependensi dengan aktor lainnya. Dengan asumsi dasar, ekonomi dapat menjawab sebagian besar kepentingan negara sehingga konflik pun dapat ditekan.

Kaum neoliberal percaya bahwa melalui sistem dunia yang anarki, akan muncul peluang yang besar untuk melakukan kerja sama dalam bentuk perdagangan ataupun interdependensi di bidang ekonomi (Baldwin, 1993). Untuk memfasilitasi kerja sama, negara-negara menciptakan institusi internasional (Reus-Smit & Snidal, 2008).

 

 

Diplomasi G-20 

Dalam Rencana Strategis 2015-2019 Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, dimuat bahwa posisi Indonesia sebagai satu-satunya negara di Asia Tenggara yang menjadi anggota G-20, memotivasi Indonesia agar berperan aktif dalam upaya penanganan krisis ekonomi global dan mendorong reformasi tata kelola ekonomi dunia. Oleh karena itu, diplomasi Indonesia di G-20 perlu memperkuat kepentingan ekonomi nasional untuk mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia yang berkualitas atau growth with equity.

Indonesia memiliki posisi strategis dalam mengarahkan agenda yang akan menjadi sorotan dalam G-20. Presidensi G-20 Indonesia menjadi momentum dan tantangan bagi Indonesia untuk semakin menguatkan peran dalam forum internasional. Keterlibatan aktif Indonesia ini menjadi salah satu bagian penting dalam upaya kebijakan politik luar negeri. Itu karena kebijakan luar negeri ialah cerminan dari kepentingan nasional.

Selain untuk kepentingan nasional, Indonesia bertanggung jawab dalam kepentingan internasional, seperti stabilitas keamanan, kesehatan, dan pertumbuhan ekonomi dunia. Solusi untuk dunia yang masih dalam tekanan akibat pandemi covid-19 memerlukan suatu upaya bersama dan inklusif dalam mencari jalan keluar atau solusi pemulihan dunia.

Presidensi G-20 Indonesia yang fokus pada tiga sektor prioritas dinilai menjadi kunci untuk pemulihan berkelanjutan, yaitu penguatan arsitektur kesehatan global, transformasi digital, dan transisi energi.

Ketiga sektor itu akan dibahas dalam salah satu sesi pertemuan G-20 yang terbagi dalam dua pilar pembahasan, yaitu pilar keuangan yang disebut Finance Track dan pilar Sherpa Track yang membahas isu-­isu ekonomi dan pembangunan nonkeuangan seperti geopolitik. Setiap pilar memiliki kelompok kerja yang disebut Working Groups.

Selain kedua track di atas, terdapat juga Engagement Groups, yaitu 10 kelompok komunitas berbagai kalangan profesional yang mengangkat berbagai topik pembahasan. Setiap kelompok Engagement Group memiliki peran penting bagi pemulihan global, terutama melalui gagasan konkret dan rekomendasi kebijakan yang tepat sasaran untuk para pemimpin G-20.

Presidensi G-20 Indonesia menjadwalkan lebih dari 180 rangkaian kegiatan utama. Hal itu termasuk pertemuan Engagement Groups, pertemuan Working Groups, Pertemuan Tingkat Deputies atau Sherpa, Pertemuan Tingkat Menteri, hingga Pertemuan Tingkat Kepala Negara (KTT) di Bali akhir November nanti. Diperkirakan, pertemuan KTT G-20 di Indonesia akan memiliki dampak multiplier ekonomi yang mampu menghasilkan pemasukan lebih dari Rp1,4 triliun.

 

 

Pandemi dan tantangan G-20

Di masa pandemi ini, tantangan globalisasi akan semakin kompleks. Seperti yang dilakukan negara-negara besar di awal pandemi dengan melakukan proteksionisme dalam hal pengadaan alat kesehatan dan vaksin covid-19. Padahal, alat kesehatan itu menjadi kebutuhan global. Namun, aksesnya dimonopoli negara-negara besar.

Ketimpangan akses terhadap vaksin masih terjadi, negara anggota G-20 perlu berperan lebih besar dalam pengentasan ketimpangan itu dan mendorong keseimbangan akses vaksin untuk semua negara.

Pandemi tidak bisa diatasi sendirian oleh negara mana pun. Koordinasi dan kerja sama merupakan syarat mutlak bagi dunia untuk mempersiapkan diri menghadapi tantangan selanjutnya. Langkah yang perlu dilakukan negara-negara G-20 ialah mengatasi kesenjangan penanganan krisis kesehatan di berbagai negara dan pembiayaan yang dibutuhkan. Negara-negara G-20 juga perlu mengambil perspektif jangka panjang dalam menghadapi pandemi yang mungkin terjadi berikutnya.

Dalam hal vaksinasi global, Lutfiyah Hanim, Representative of C-20 Working Group Vaccine Access and Global Health, menjelaskan negara-negara maju memiliki capaian vaksinasi yang jauh lebih tinggi daripada negara-negara berkembang. Eropa dan Amerika Utara memiliki tingkat vaksinasi yang lebih baik dari kawasan Afrika.

Uni Eropa memiliki surplus vaksin daripada yang sebenarnya dibutuhkan. Total stok vaksin covid-19 di kawasan tersebut setara dengan 3,5 dosis vaksin per orang. Amerika Serikat memiliki stok vaksin setara dengan 3,7 dosis vaksin per orang, Inggris Raya memiliki stok setara 5,5 dosis vaksin per orang. Maka, tidak mengherankan jika negara-negara maju itu terus mendorong booster karena negara-negara tersebut memiliki surplus vaksin.

Kesenjangan lainnya ialah stok vaksin di Kanada setara dengan 9,6 dosis per orang, sedangkan stok di Uni Afrika hanya 0,2 dosis per orang, jauh dari yang diperlukan. Kurang lebih 45 negara memiliki cakupan vaksin dosis pertamanya di bawah 30% dari total populasi, bahkan beberapa negara di antaranya memiliki cakupan vaksin di bawah 10%.

Kita tentunya tidak ingin pertemuan G-20 menjadi sebatas rutinitas pertemuan tahunan. Hal itulah yang sangat penting bagi Indonesia sebagai bridge builder dan part of solution mendorong penuh negara-negara G-20 untuk tidak hanya berdiskusi, tapi juga dapat mengeluarkan kebijakan konkret dalam penanganan pandemi global dan isu besar lainnya. Itu karena ketahanan dan keamanan kesehatan sangat berpengaruh dalam pertumbuhan ekonomi nasional dan global. Semoga G-20 2022 menghasilkan apa yang diharapkan bersama oleh warga negara di dunia. Bergotong royong agar pandemi berakhir dan ekonomi pulih.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya