Headline

Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.

Fokus

Ketegangan antara Thailand dan Kamboja meningkat drastis sejak insiden perbatasan

Pilpres 2024 dan Peluang Golkar

Arifki Chaniago, Pengamat Politik Milenial, Mahasiswa Magister Ilmu Politik Universitas Indonesia
11/2/2022 10:15
Pilpres 2024 dan Peluang Golkar
Arifki Chaniago(Dok pribadi)

BERBEDA dengan kebanyakan partai politik (parpol) hari ini yang identik dengan salah satu tokoh atau keluarga, Golkar adalah parpol yang terbukti sukses mempertahankan diri sebagai partai terbuka dan menampung semua golongan. Hal ini sesuai dengan semangat awal Golkar didirikan dengan branding organisasi sebagai kekuatan politik terbuka (catch-all party) yang tidak menganut ideologi ekstrem, baik kanan maupun kiri.

Semangat ini juga yang memberikan kemudahan untuk Partai Golkar beradaptasi dengan perubahan politik, terutama saat jatuhnya pemerintahan Orde Baru. Golkar yang sebelumnya diasumsikan oleh beberapa sarjana akan berakhir dengan jatuhnya pemerintahan Soeharto menunjukkan fakta yang berbeda, yakni mampu survive di era reformasi— bahkan comeback, dengan mampu memenangkan pemilu pada 2004 (Tandjung, 2008).

Hanya saja sebagai partai terbuka, Golkar cenderung tidak stabil secara internal karena banyaknya faksi dan kekuatan besar di dalamnya. Faksi-faksi ini sudah lama diketahui publik apalagi setelah dilaksanakannya Munas Golkar. Makanya, di Golkar jabatan ketua umum tetap dikontrol secara demokratis. Tantangannya, seorang ketua umum tidak hanya bertugas membesarkan partai, namun juga harus menjaga kestabilan organisasi dari kepentingan antar faksi. Kelompok-kelompok besar ini pun diakui oleh Jokowi dalam munas luar biasa (Munaslub) 2017, bahwa di Golkar ada kelompok Aburizal Bakrie, Akbar Tandjung, Agung Laksono, Jusuf Kalla, dan Luhut Binsar Pandjaitan. 

Keberadaaan faksi politik di Golkar dengan mudah terpengaruh situasi politik di luar partai, setelah  adanya perbedaan sikap kader dengan organisasi. Golkar yang selalu kalah dalam kontestasi pemilihan presiden, tetap sukses masuk ke pemerintahan karena ada faksi yang menjadi bagian dari pemenang. Misalnya, Jusuf Kalla yang tidak didukung sebagai cawapres saat berpasangan dengan SBY 2004 terpilih sebagai wakil presiden.  

Dalam kasus yang sama juga terjadi di Pilpres 2009, Jusuf Kalla yang maju sebagai cawapres kalah dengan SBY. Faksi Aburizal Bakrie masuk ke pemerintahan SBY mengambil posisi berbeda dengan Jusuf Kalla setelah memenangkan pemilihan ketua umum Golkar. 

Dampak dari faksi 

Faksi Golkar seringkali dianggap kekuatan, karena selalu mampu menyelamatkan partai ini dan memberikan nyawa kedua. Namun, di sisi lain faksi politik tersebut belum memberikan dampak yang baik dalam pemenangan sebuah kontestasi politik, terutama pemilihan presiden. Lihat saja ketika Golkar yang mengusung Wiranto sebagai capres di Pilpres 2004 harus membiarkan Jusuf Kalla maju sebagai cawapres SBY tanpa mendapatkan dukungan partai. Namun, hasil akhirnya kontestasi ini tidak dimenangkan Wiranto, akan tetapi SBY-Kalla. 

Situasi yang sama juga dialami oleh Jusuf Kalla ketika berpasangan dengan Jokowi di Pilpres 2014. Golkar menyerahkan dukungan politiknya kepada Prabowo-Hatta, ketimbang mendukung Jokowi-Jusuf Kalla. Namun, hasil pilpres, Jusuf Kalla kembali menang sebagai wapres meskipun tanpa adanya dukungan dari Golkar.

Faksi politik di internal pada beberapa pilpres terakhir menyulitkan Golkar mendukung kadernya maju sebagai capres. Karena tidak akan pernah ada dukungan mayoritas, meski pun yang maju kadernya sendiri. Inilah dampak negatifnya jika faksi-faksi besar berkembang di partai politik. Makanya, rintangan  pertama yang harus dilewati seorang kader yang dicalonkan oleh Golkar adalah menaklukkan kepentingan faksi yang ada di dalamnya, baru setelah itu merebut hati rakyat. Hal ini sulit, rumit, dan belum ada kader yang berhasil melakukannya selepas Orde Baru berkuasa. 

Pemilu 2024

Pada  Pilpres 2024, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto sudah lebih awal dideklarasikan oleh Golkar sebagai calon presiden. Apakah faksi-faksi di internal Golkar akan bersatu mendukung Airlangga, atau melakukan hal yang sama seperti dengan pilpres sebelumnya? Airlangga tetap maju sebagai capres, namun pada sisi lain ada kader Golkar yang maju atau mendukung kandidat lain. 

Hanya saja Airlangga terlihat sudah memulai narasi berbeda untuk Golkar menang di Pilpres 2024. Salah satunya, ketika ia sukses terpilih sebagai ketua umum Golkar secara aklamasi, baik di Munaslub 2017 ataupun di Munas 2019. Apakah pada Pilpres 2024 Golkar akan mengulangi lagi kegagalan Wiranto dan Jusuf Kalla di pilpres, atau tidak berhasilnya Aburizal Bakrie masuk sebagai calon presiden di Pilpres 2014? Ataukah Golkar ingin mencatatkan sejarah baru?
 
Dengan terpilihnya Airlangga sebagai ketua umum Golkar secara aklamasi, menunjukkan bahwa kepemimpinannya dalam mengelola faksi-faksi politik di internal Golkar sudah teruji. Namun, hal itu perlu diuji ke ranah yang lebih besar. Apalagi Indonesia pada 2024 membutuhkan pemimpin pemersatu untuk menyelesaikan polarisasi yang diwariskan di dua pilpres terakhir. Apakah Golkar tetap aklamasi mendukung Airlangga untuk menjalankan tugas kebangsaan partai tersebut? Ataukah faksi-faksi di internal partai lebih memilih menjadi sekoci untuk mendapatkan posisi, dibandingkan Golkar menang pilpres untuk pertama kalinya di era Reformasi.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya