Menuntaskan Kasus Penghilangan Paksa

Wilson, Dewan Pembina IKOHI dan Staf Amnesty International Indonesia 2017-2018
01/9/2021 11:20
 Menuntaskan Kasus Penghilangan Paksa
Wilson,(Dok pribadi)

PADA 21 Desember 2010, Majelis Umum PBB mengeluarkan resolusi 65/209   yang menyatakan keprihatinan yang mendalam tentang peningkatan penghilangan paksa di berbagai wilayah di dunia. Majelis juga memutuskan untuk mendeklarasikan 30 Agustus sebagai Hari Internasional Korban Penghilangan Paksa ( (International Day of the Victims of Enforced Disappearances). Sejak 2011, setiap tanggal tersebut masyarakat dunia memperingatinya.
    
Kasus penghilangan paksa dianggap sebagai kejahatan serius oleh PBB  pada 1978 melalui Resolusi 33/173 bertajuk Penghilangan Paksa. Pada 1992 PBB mengeluarkan Deklarasi Perlindungan terhadap Penghilangan Paksa. Kemudian pada 20 Desember 2006 Majelis Umum PBB mengesahkan Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa. 

PBB melalui UN Working Group on Enforced or Involuntary Disappearance (UNWGEID) sejak 1980 telah mendokumentasikan 57.891 laporan kasus penghilangan paksa di 108 negara di dunia. Pemerintah Indonesia sampai hari ini belum meratifikasi konvensi ini, meskipun DPR RI sudah merekomendasikan sejak 2009. 

Dalam konvensi ini penghilangan paksa diangap sebagai kejahatan atas kemanusiaan dan didefinisikan sebagai 'bentuk penangkapan, penahanan, penculikan atau bentuk-bentuk perampasan kemerdekaan lainnya yang dilakukan oleh aparat-aparat negara atau oleh orang-orang maupun kelompok yang bertindak dengan kewenangan, dukungan atau persetujuan dari negara'.

Selain merupakan kejahatan atas kemanusiaan, penghilangan paksa juga merupakan pelanggaran HAM yang berlapis-lapis. Dalam kasus penghilangan paksa HAM yang dilanggar meliputi; hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, hak atas kebebasan dan keamanan seseorang, hak untuk tidak menjadi sasaran penyiksaan dan perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat, hak untuk hidup ketika orang yang hilang itu dibunuh, hak atas identitas, hak atas pengadilan yang adil dan jaminan peradilan, hak atas pemulihan yang efektif termasuk reparasi dan kompensasi, hak untuk mengetahui kebenaran tentang keadaan penghilangan. 

Selain itu penghilangan paksa juga melanggar berbagai hak ekonomi, sosial dan budaya baik bagi korban maupun keluarganya seperti; hak atas perlindungan dan bantuan kepada keluarga, hak atas standar hidup yang layak, hak atas kesehatan, dan hak atas pendidikan.

Penghilangan orang secara paksa adalah kejahatan yang 'masih berlanjut' (continuing crimes) bila kasus-kasus penghilangan orang secara paksa tidak pernah terselesaikan oleh negara. Selama negara tidak memberi kejelasan secara resmi pada kasus penghilangan paksa, hal tersebut dapat dikualifikasikan sebagai bentuk continuing crimes, atau kejahatan yang masih berlangsung hingga hari ini. Karena masih berlanjut, maka selama negara tidak memastikan status para korban, para korban penghilangan paksa tidak bisa dianggap sudah mati. 

Korban penghilangan paksa

Korban penghilangan paksa tidak hanya berlaku bagi korban itu sendiri, namun juga pada ruang lingkup sosial yang lebih luas seperti keluarga dan komunitas. Para korban tidak bisa dinyatakan telah mati, sebelum negara melakukan pencarian dan mengumumkan hasilnya kepada keluarga korban dan publik. 

Bagi korban yang dikeluarkan hidup-hidup akan selalu dilanda mimpi buruk dan trauma akibat penyiksaan yang brutal dan kejam. Para korban penculikan Tim Mawar Kopassus masih mengalami trauma sampai sekarang, karena penyiksaan dan teror yang brutal atas fisik dan mental mereka selama berada di penjara rahasia. 

Korban berikutnya dalan keluarga dan teman-teman. Keluarga dan teman-teman korban, mengalami penderitaan karena tidak mengetahui apakah korban masih hidup atau mati, di mana ditahan, dalam kondisi seperti apa mereka. Keluarga dan teman-teman korban mendapatkan siksaan psikis antara harapan dan keputusasaan, bertanya-tanya dan menunggu tanpa kepastian selama bertahun-tahun, untuk berita yang mungkin tidak pernah datang.  

Bahkan hingga anggota keluarga itu sendiri wafat, seperti pada kasus orangtua penghilangan paksa aktivis 1997-1998 di Indonesia. Banyak orangtua para aktivis wafat sebelum menemukan kepastian nasib anak mereka setelah berjuang puluhan tahun.

Komunitas atau masyarakat terkena dampak langsung dari hilangnya pencari nafkah, dan degradasi situasi ekonomi keluarga, marginalisasi sosial dan kehilangan kesempatan pemberdayaan ekonomi, sosial dan budaya. Komunitas menjadi korban apabila para korban memiliki posisi penting dalam masyarakat seperti pimpinan serikat buruh, jurnalis, seniman, mahasiswa, aktivis HAM, LSM, pedagang, intelektual atau akademisi, guru, agamawan dan pimpinan ormas atau parpol oposisi, dll.

Orang-orang tersebut adalah sumber daya manusia yang seharusnya dapat terlibat dalam pemberdayaan, pencerdasan, penyadaran, advokasi dan  menjadi pelaku pemberdayaan sosial-budaya-ekonomi komunitas. Dalam kasus penghilangan paksa sastrawan Wiji Thukul misalnya, telah membuat komunitas seni kehilangan sosok yang penting dalam perkembangan dunia sastra, juga kehilangan sumber daya ekonomi bagi keluarganya. 

Di Indonesia

Berdasarkan data yang dihimpun Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) merujuk pada berbagai laporan pemantauan dan penyelidikan, korban penghilangan paksa di Indonesia lebih dari 53 ribu korban. Jumlah itu didokumentasikan dari delapan kasus pelanggaran HAM masa lalu yang terjadi, mulai dari tragedi 1965-1966 sebanyak 32.774 dilaporkan hilang, kasus pembunuhan misterius 1982-1985 sebanyak 23 orang hilang, kasus Tanjung Priok 1984 sebanyak 23 orang hilang, kasus Talangsari 1989 sebanyak 88 orang, kasus penculikan aktivis 1997-1998 dan kerusuhan Mei 1998 sebanyak 13 orang.

Kemudian kasus penerapan daerah operasi militer Aceh 1989-1998 sebanyak 1.935 orang dilaporkan hilang, dan kasus Timor-Timur 1975-1999 sebanyak 18.600 orang hilang. Jumlah tersebut belum termasuk orang-orang yang hilang selama penerapan berbagai operasi militer di Papua mulai dari 1965 hingga 2001.

Dari semua kasus penghilangan paksa, negara baru melakukan investigasi satu kasus penghilangan paksa melalui Komnas HAM dengan membenuk Tim  Investigasi Komnas HAM untuk kasus penghilangan orang secara paksa  aktivis 1997-1998. Tim ini mulai bekerja sejak 1 Oktober 2005 hingga 30 Oktober 2006 dipimpin Ketua Komnas HAM, Abdul Hakim Garuda Nusantara. Hasil penyelidikan melaporkan bahwa jumlah korban atas penghilangan orang tersebut adalah 1 terbunuh, 11 disiksa, 12 dianiaya, 23 dihilangkan secara paksa, dan 19 dirampas kemerdekaan fisiknya secara sewenang-wenang. 

Komnas HAM menyimpulkan ada bukti permulaan yang cukup berupa pelanggaran HAM berat dalam kasus penghilangan orang secara paksa selama 1997-1998. Berdasarkan temuan tersebut Kejaksaan Agung diminta oleh Komnas HAM untuk menindak lanjuti temuan  tersebut. Komnas HAM juga memberikan hasil laporan ke DPR RI yang diminta agar meminta Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono memerintahkan Jaksa Agung untuk menuntaskan kasus penghilangan paksa akvis 1997-1998. Namun pihak Jaksa Agung mengembalikan laporan penyelidikan Komnas HAM tersebut dan sampai hari ini tidak ada kejelasan. 

Pada 2009 DPR RI membentuk pansus penyelesaian kasus penghilangan paksa aktivis 1997-1998. Pansus DPR RI menelurkan empat rekomendasi untuk Presiden Susilo Bambang Yudoyono; pertama, merekomendasikan Presiden RI membentuk pengadilan HAM ad hoc. Kedua, merekomendasikan Presiden RI serta institusi pemerintah dan pihak terkait untuk mencari 13 aktivis yang masih hilang. 

Ketiga, merekomendasikan pemerintah merehabilitasi dan memberikan kompensasi kepada keluarga korban yang hilang. Keempat, merekomendasikan pemerintah meratifikasi konvensi Anti Penghilangan Paksa sebagai bentuk komitmen dan dukungan untuk menghentikan praktik penghilangan paksa di Indonesia.

Dari keempat rekomendasi tersebut, para keluarga korban penghilangan paksa hampir bulat menuntut rekomendasi kedua yaitu; Presiden RI serta institusi pemerintah dan pihak terkait untuk mencari 13 aktivis yang masih hilang. 

Pilihan pembentukan tim pencarian orang hilang  oleh  negara juga mengandung risiko paling minimal, karena tidak menyangkut proses judisial. Bagi keluarga kepastian anak dan suami mereka lebih mendesak daripada ketiga rekomendasi lainya. Tuntutan prioritas ini tidak berarti meniadakan rekomendasi DPR yang lain, justru akan mmeperkuat dipenuhinya tiga rekomendasi  DPR lainnya. 

Kasus penghilangan paksa aktivis 1997-1998, juga telah menarik perhatian lembaga internasional. Kelompok kerja UN Working Group on Enforced or Involuntary Disappearance (UNWGEID) sudah tiga kali mengirimkan General Allegations kepada Pemerintah Indonesia yaitu pada 2011, 2013, dan 2017. Sejak 12 Desember 2006 hingga 18 Januari 2019, UNWGEID juga mengirimkan permintaan kunjungan resmi ke Indonesia namun tidak pernah ditanggapi. 

Pada 2013 Komite HAM PBB dalam salah satu rekomendasinya mendesak agar Pemerintah Indonesia menindaklanjuti hasil investigasi yang dilakukan oleh Komnas HAM dalam kasus penculikan aktivis 1997-1998.
 
Pada 2014 Joko Widodo dilantik menjadi Presiden RI. Harapan sempat muncul ketika pemerintahan Jokowi menyatakan akan menuntaskan tujuh kasus pelanggaran berat HAM masa lalu. Ketujuh kasus tersebut ialah peristiwa 1965-1966, penembakan misterius 1982-1985, Talang Sari di Lampung 1989, penghilangan orang secara paksa 1997-1998, kerusuhan Mei 1998, peristiwa Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II serta kasus  Wasior dan Wamena 2003. 

Namun sampai akhir masa jabatan periode pertama 2014-2019 pemerintahan Jokowi tidak memenuhi janjinya. Harapan untuk penyelesaian kasus penghilangan paksa semakin sulit karena Presiden Jokowi mengangkat Prabowo Subianto sebagai Mentri Pertahanan. Prabowo terbukti terlibat dalam kasus penghilangan paksa aktivis 1997-1998 dan oleh Dewan Kehormatan Perwira diberhentikan dari TNI. 

Meskipun berat, pemerintahan Jokowi masih punya waktu untuk menyelesaikan kasus penghilangan paksa untuk menunjukan komitmennya pada HAM, juga untuk memberikan contoh pada internasional sebagai anggota Dewan HAM PBB dalam pemenuhan, pencegahan dan pemajuan HAM. 

Ada dua hal prioritas yang dapat dilakukan pemerintahan Jokowi untuk sisa 3 tahun pemerintahannya untuk kasus penghilangan paksa aktivis 1997-998, yaitu; pertama, Pemerintah untuk segera meratifikasi konvensi internasional untuk perlindungan semua orang dari penghilangan paksa, dan mengadopsi segala bentuk penanganan dan penuntasan kasus-kasus penghilangan paksa ke dalam sistem hukum nasional, termasuk penyediaan mekanisme pemulihan yang efektif bagi keluarga korban. Dengan ratifikasi maka kejahatan HAM penghilangan paksa dapat dicegah dan tidak berulang di masa depan. 

Kedua, Pemerintah menindaklanjuti rekomendasi DPR RI dalam dua rekomendasi prioritas yaitu membentuk tim pencarian untuk korban penghilangan paksa aktivis 1997-1998 dan memberi rehabilitasi, kompensasi dan reparasi kepada korban dan keluarga korban.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya