Headline

Berdenyut lagi sejak M Bloc Space dibuka pada 2019, kini kawasan Blok M makin banyak miliki destinasi favorit anak muda.

Fokus

PSG masih ingin menambah jumlah pemain muda.

Solidaritas Islam Wasathiyah Indonesia dan Turki

Savran Billahi Ketua Lakpesdam PCINU Turki Penulis Buku Bangkitnya Kelas Menengah Santri, Modernisasi Pesantren di Indonesia (2018).
05/6/2021 05:00
Solidaritas Islam Wasathiyah Indonesia dan Turki
(Dok. Pribadi)

INDONESIA dan Turki memiliki kedekatan khusus dalam praktik keislaman. Dari ekspresi pemuliaan terhadap guru-guru terdahulu (mashaikh), tasawuf, hingga dinamika hubungan agama-negara modern. Kedekatan itu menjadi basis material kedua negara untuk memperkuat hubungan.

Sejak 2019, dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, telah mengadakan kerja sama strategis di bidang pendidikan dan kebudayaan dengan para pemangku kepentingan di Turki. Di antaranya dengan Presidensi untuk Diaspora Turki dan Komunitas Terkait (YTB), Yunus Emre Institute, Maarif Foundation (TMF), Badan Agama Turki (Diyanet), dan kampus-kampus ternama, seperti Middle East Technical University, Bilkent University, dan Erciyes University.

Salah satu aspek kerja sama yang dirasakan elemen pelajar Indonesia ialah komitmen pemerintah Turki untuk membuka kesempatan secara luas bagi santri-santri Indonesia berprestasi dalam penerimaan beasiswa. Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) dan Muhammadiyah (PCIM) turut menjadi penghubung proses kerja sama itu.

Hingga saat ini, pelajar dari PCINU Turki tersebar ke berbagai jenjang pendidikan dan bidang studi, dari studi Islam, ilmu sosial, dan sains-teknologi. Di antara mereka bahkan menjadi pelajar terbaik di kampusnya. Keberadaan mereka juga tersebar dari Istanbul, Ankara, Konya, Bursa, hingga timur Turki, Trabzon. Selain pelajar, warga Nahdliyin di Turki juga terdiri dari kalangan pekerja.

Jejaring yang tersebar luas itu memudahkan penetrasi NU di Turki, baik sebagai perpanjangan tangan dakwah Islam moderat (wasathiyah) ke masyarakat Indonesia di luar negeri, maupun penguatan interaksi NU dengan pihak-pihak Turki. Untuk masyarakat Indonesia di Turki, kehadiran PCINU menjadi penting di tengah gencarnya pemahaman publik Indonesia tentang Turki sebagai basis penyebaran isu kebangkitan khilafah dan narasi-narasi islamis lainnya. Beberapa tahun lalu, Turki bahkan menjadi jembatan untuk masyarakat Indonesia menyeberang ke Suriah, bergabung dengan kelompok ekstremis IS.

Belakangan, sebagian publik Indonesia juga memandang Turki sebagai negara muslim yang taat dan terdepan membela Islam, misalnya pada kasus mutakhir Palestina dan Israel. Citra itu menjadi daya tarik sebagian masyarakat Indonesia untuk datang ke Turki. Padahal, Turki memiliki dinamika yang beragam, termasuk dalam memandang Islam.

Dalam tradisi intelektual Islam di Turki, misal, terdapat dua jenis pemikir muslim, yaitu islamci aydin (pencerah) dan alim (orang yang berilmu). Aydin pada umumnya diasosiasikan kepada pemikir muslim progresif dan biasanya independen. Narasi keilmuannya kritis dan reflektif sehingga tak jarang dianggap oposisi oleh pihak yang berkuasa. Walakin, kalangan ini kerap menjadi penghubung pemikiran antara kalangan sekular yang biasa disebut entelektual dan islamis.

Sementara itu, alim diasosiasikan kepada pemikir muslim yang lebih konservatif dan meyakini Islam sebagai satu-satunya referensi. Kehadiran PCINU Turki berperan untuk memberikan rujukan dan menjernihkan pemahaman tentang Islam di Turki, yang sebenarnya beragam, moderat, dan justru mirip dengan di Indonesia.

Dengan masyarakat Turki, PCINU sering kali mengadakan kegiatan bersama dengan ulama dan publik Turki secara luas. PCINU Turki, beberapa kali mengadakan visit school ke sekolah-sekolah menengah Turki mempromosikan keberislaman dan keberagaman di Indonesia. Rais Syuriah PCINU Turki Ahmad Munji bersama Badan Agama Turki Diyanet juga turut membimbing beberapa warga non-Indonesia di Turki, untuk mengucapkan dua kalimat syahadat.

Akhir Maret lalu, PCINU Turki mengundang mursyid tarekat Qodiriah Syeikh Fadhil Jailani, yang juga keturunan Syekh Abdul Qadir Al Jailani, dan Syekh Ala Muhammad Mustofa, untuk membicarakan tasawuf di era kontemporer bersama KH Husein Muhammad. Pada peringatan Maulid Nabi beberapa waktu lalu, PCINU Turki mengundang Syekh Mouta al-Mourad dari Darul Hadits Al-Awamiyyah Istanbul.

Solidaritas yang dibangun PCINU Turki dengan masyarakat Turki pun terbangun melalui peran-peran yang luas. Dari tataran first diplomacy melalui hubungan kelembagaan hingga second track diplomacy di ranah yang lebih luas dan bersentuhan dengan masyarakat grassroots. Layaknya Nahdlatul Ulama di Indonesia, warga Nahdliyin di Turki menjaga hubungan dengan berbagai pihak untuk menjaga prinsip Islam rahmatan lil alamin. 

Turki sebagai negara mayoritas muslim yang saat ini banyak disorot dunia pada dasarnya juga berupaya mengejewantahkan prinsip itu. Secara historis, pada era Utsmani, bangsa Turki sebagai pemimpinnya merangkul berbagai kelompok agama dan minoritas, termasuk umat Yahudi. Sinagog Yahudi di Turki hingga saat ini masih terjaga dengan baik layaknya masjid-masjid tradisional Turki yang terkenal megah. Kebinekaan menjadi nilai bersama Indonesia dan Turki, untuk saling mengarusutamakan Islam moderat.

 

 

Isu kebangkitan khilafah

Oleh sebab itu, adalah suatu kekeliruan bila pemerintah Turki saat ini dianggap berkeinginan untuk menghidupkan dunia Islam yang tunggal dalam daulah atau khilafah islamiyah. Pemerintah Turki sudah tegas menolak asumsi itu pada saat pengonversian Hagia Sophia menjadi masjid tahun lalu. Saat itu, terbit liputan utama di majalah propemerintah, Gerçek Hayat, yang menghubungkan perubahan status Hagia Sophia dengan kebangkitan khilafah Islamiyah.

Juru bicara Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) pimpinan Presiden Erdogan, Omer Celik, menjelaskan konversi Hagia Sophia tidak ada kaitannya dengan kebangkitan khilafah. Dia juga menegaskan Turki tetap berkomitmen pada konstitusi yang sekuler. Politikus lain AKP Mehmet Metiner, bahkan menganggap liputan itu merupakan sabotase politik.

Pandangan majalah Gercek Hayat, yang mengaitkan Hagia Sophia dan Turki secara umum dengan kebangkitan khilafah, agaknya serupa dengan pandangan sebagian masyarakat Indonesia. Pandangan itu mencerminkan keluguan sebagian publik Indonesia dalam membaca sosial-politik Islam di Turki yang sebenarnya kompleks.

Sebagai negara modern mayoritas muslim, Turki sama seperti Indonesia menganut sistem demokrasi. Berbagai civil society muslim berperan vital dalam mengembangkan diskursus Islam pada tataran modern. Sama seperti di Indonesia, spektrum gerakan Islam di Turki terbentang dari kiri-kanan, dari teologi tradisional ke politik modern, dari tasawuf ke gagasan eco-Islam.

Cabang gerakan keislaman di kedua negara juga mengembangkan sayapnya ke ruang lingkup internasional. Di Turki, PCINU dan PCIM aktif mempromosikan Islam moderat dari Indonesia. Di Indonesia, gerakan pendidikan Islam Turki di bawah naungan yayasan PASIAD sudah lama berdiri. Saat ini yayasan keislaman Turki yang terinspirasi dari Syekh Said Nursi pun mulai aktif di Indonesia. Transfer pemahaman keislaman kedua negara dilakukan di bawah keterbukaan alam demokrasi.

 

 

Pendidikan, kelas menengah muslim, dan industrialisasi

Demokratisasi di Indonesia dan Turki menghidupkan, apa yang disebut Gus Dur, sebagai variasi strategi mengedialisir Islam dalam kehidupan sosial. Dalam kasus Indonesia, Gus Dur setidaknya membagi dua strategi yang dijalankan banyak aktornya dari kalangan kelas menengah muslim. Strategi pertama, ialah dengan mengidealisir Islam sebagai satu-satunya sistem sosial yang mampu memelihara demokrasi sejati, kesetiaan pada hukum, dan keadilan ekonomi.

Strategi kedua, ialah memainkan peran Islam, bukan sebagai satu-satunya alternatif, dan menjadikannya sebagai dasar inspirasi bagi suatu kerangka nasional suatu masyarakat demokratis. Pandangan kedua, tentu mudah mengalami pembagian lagi, yaitu dalam hal apakah proses demokratisasi itu harus berlangsung melalui strategi politik ataukah melalui pendekatan sosio-politik.

Analisis Gus Dur itu agaknya juga berlaku di Turki. Setidaknya yang paling kontemporer ialah diskursus islamisme ala Necmettin Erbakan dan politik akomodatif Erdogan. Erbakan, yang juga mentor Erdogan mengembangkan gagasan Milli Goru (Pandangan Kebangsaan), yang mendorong komunitas Islam yang secara komprehensif mengatur umat.

Dalam manifestonya pada 1975, Erbakan menekankan pendidikan agama, industrialisasi, dan keadilan ekonomi yang melindungi hak orang-orang tertindas. Ahli politik Vedi R Hadiz menyebut, visi politik Islam dan ekonomi Erbakan tertutup, tidak condong pada kapitalisme global, dan memiliki visi ekonomi yang lebih diarahkan pada perlindungan produsen dan pedagang komunitas kecil yang tertindas. Karena itu, Erbakan mendirikan D-8 yang menghimpun negara-negara muslim berkembang, termasuk Indonesia, untuk menciptakan visi komunitas muslimnya.

Sementara itu, politik Islam Erdogan menghendaki keterbukaan politik dan ekonomi. Pada kampanye-kampanyenya, Erdogan tidak malu untuk menyuarakan pluralisme. Pada segi ekonomi, kebijakan Erdogan merangkul para kaum borjuasi-industrialis muslim Anatolia dan mengoneksikannya dengan kapitalisme global, serta menyelaraskannya dengan kepentingan kalangan akar rumput Turki melalui aksi-aksi filantropi.

Keberagaman pemikiran Islam di Turki itu dipupuk melalui sekolah Imam Hatip, yang status keberadaannya mengalami diskursus, mirip dengan pesantren di Indonesia. Keterbukaan negara terhadap pendidikan Islam mendorong kontekstualisasi Islam, pada perkembangan dunia modern oleh murid-muridnya yang melakukan mobilitas sosial.

Di samping mereka, yang terlibat pada pemerintahan, kelas menengah muslim yang berada dalam anatomi sosial yang lebih luas juga berperan menjadi kekuatan penyeimbang yang menyehatkan demokrasi dan ekonomi.

Dalam melihat varian kontekstualisasi Islam di Turki itu, keberadaan santri Indonesia di Turki setidaknya bisa membawa dua keuntungan. Di samping penguatan solidaritas kedua negara dalam mempromosikan Islam wasathiyah, keberadaan mereka juga vital dalam pengembangan diskursus keislaman di Indonesia, karena dapat membuat studi komparasi kedua negara muslim demokrasi yang dianggap leading dalam sosial-ekonomi.

Meski gelombang pelajar Indonesia di Turki baru ramai satu dekade terakhir, bila santri Indonesia di Turki dapat mengembangkan formulasi-formulasi segar kontekstualisasi Islam pada dunia yang semakin modern, ke depan mereka bisa menjadi suatu gerakan intelektual baru. Hal ini tentu hanya dapat dicapai melalui keterbukaan berpikir dan jernih dalam melihat Turki.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya