Headline
Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.
Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.
Kawasan Pegunungan Kendeng kritis akibat penebangan dan penambangan ilegal.
SUATU hari pada November 2015, saya menumpang taksi di Yangon. Hari itu Myanmar punya hajatan besar, pemilihan umum pertama secara demokratis di masa kepemimpinan sipil. Di mana-mana terlihat poster Daw Aung San Suu Kyi, putri mendiang pemimpin kharismatik Myanmar, Aung San Suu Kyi. Bendera merah bergambar burung merak, simbol partai oposisi National League for Democracy (NLD), marak memenuhi kota.
Belakangan terbukti NLD menang besar dalam Pemilu 2015, dengan perolehan suara hampir 80%, mengulangi sukses pemilu-pemilu sebelumnya yang pada 1990 kemudian dibatalkan hasilnya oleh junta militer, dan pemilu paruh waktu pada 2012 yang menempatkan Suu Kyi sebagai anggota parlemen mewakili Kawhmu, sebuah wilayah administratif di luar Yangon. “Selamat, NLD menang besar,” ujar saya membuka pembicaraan. Sambil menunjukkan jari yang berbekas celupan tinta, si pengemudi taksi menjawab, “Boleh saja mereka menang besar, tapi dukungan saya akan selalu untuk partai etnis saya."
Ucapannya mengejutkan, tapi sekaligus membuka perspektif terhadap dinamika di Myanmar, yang layaknya peta politik, sosial, dan budaya di Asia Tenggara, jauh dari keseragaman dan prediktabilitas.
Sejarah yang berulang
Dengan 135 kelompok etnik yang diakui negara, keberagaman merupakan aset sekaligus beban bagi Myanmar. Sejak kemerdekaan pada 1948, konflik antara etnik minoritas dan pemerintah pusat yang didominasi etnik Bamar belum juga terselesaikan.
Sempat menjadi pusat perdagangan Asia – dan destinasi pertama penerbangan Maskapai Garuda Indonesia pada 1949 – kudeta militer pada 1962 mengubah haluan dan nasib negara bekas jajahan Inggris ini.
Baru pada 2011, junta militer memberi sinyal transisi kekuasaan ke pemerintahan sipil, dengan terlebih dulu mengukuhkan undang-undang dasar yang promiliter. Di antara mandatnya, seperempat kursi parlemen berikut tiga kementerian utama dialokasikan pada militer (Tatmadaw). Sejak terpilih, beberapa upaya Suu Kyi dan partainya untuk mendorong amendemen UUD tidak berhasil. Bagi mereka, UUD 2008 laksana bom waktu. Pada awal Februari, kekhawatiran itu menjadi kenyataan.
Dengan merujuk pada Pasal 417 UUD, tentang upaya mengambilalih kedaulatan negara secara paksa, militer menuduh penolakan penyelenggara pemilu untuk menanggapi protes mereka sebagai tindakan yang bisa menyebabkan perpecahan, lalu turun ke jalan dan mengambil alih pemerintahan. Sampai penyelenggaraan pemilu berikutnya, kekuasaan kembali ke tangan militer. Sejarah kembali berulang, tetapi kali ini dengan latar kontemporer dan tidak lagi hitam putih.
Politik identitas
Myanmar, negara yang akrab dengan pengultusan. Wajah Daw (Bibi) Suu atau Mother Suu, begitu masyarakat memanggil Suu Kyi, banyak terpajang di banyak sudut kota, di dalam rumah atau mobil. Selain sebagai bentuk dukungan, juga dianggap membawa keberuntungan. Setiap 13 Februari, hari lahir Suu Kyi, diperingati masyarakat dengan memasak dan menyumbang makanan kesukaan sang jenderal. Mitos dan takhayul pun tak jauh. Menurut rumor, pemindahan ibu kota dari Yangon ke Nay Pyi Taw pada 2005 berdasar pada saran peramal.
Myanmar juga ajang pergumulan politik identitas, tempat status kewarganegaraan seseorang ditentukan menurut etnik. Sentimen etno-nasionalisme terlihat jelas melalui dukungan masyarakat terhadap Suu Kyi, yang pada Desember 2019 mewakili negaranya, di hadapan Pengadilan Internasional di Den Haag untuk menolak tuduhan genosida terhadap kaum Rohingya di Negara bagian Rakhine.
Bukan rahasia, proses nation building pascatransisi penuh negosiasi dan tarik-ulur pemangku kepentingan. Ketimpangan struktur pemerintahan menempatkan militer pada posisi kuat. Keberhasilan agenda pemerintahan sipil, seperti dalam isu rekonsiliasi nasional, membutuhkan dukungan Tatmadaw.
Di tengah derasnya kecaman internasional, dukungan Suu Kyi bagi aksi militer di Rakhine disambut baik. Di lain pihak, wacana pembentukan identitas bangsa alias nation branding masih dihadapkan dengan interpretasi sempit terhadap konsep kewarganegaraan dan sentimen etno-nasionalisme.
Pada saat yang sama, meskipun akses terhadap informasi terbuka lebar dalam 10 tahun terakhir, represi atas kebebasan berpendapat masih menjadi isu. Laporan Human Rights Watch (2019) mencatat, dalam dua tahun pertama pemerintahan NLD, sejumlah undang-undang pidana menyeret 43 wartawan ke dalam tahanan.
Chow dan Easley (2019) mendefinisikan situasi di Myanmar sebagai defisit demokrasi yang disebabkan proses nation building yang belum selesai. Sampai ada kesepakatan tentang dasar negara, hak minoritas, dan hubungan sipil-militer, proses transisi yang sedianya berjalan dari demokrasi elektoral ke demokrasi liberal akan mandek.
Kesepakatan itu mungkin tak punya tenggat. Namun, yang jelas setiap hari yang terlewati tanpa solusi akan berdampak buruk bagi rakyat Myanmar, apalagi di saat pandemi covid-19. Menurut analisis Bank Dunia (2020), kontraksi ekonomi Myanmar masih akan berlanjut setelah turun dari 6,8% (2018/19) ke 1,7% (2019/20). Tingkat kemiskinan diperkirakan naik dari 22,4% (2018/19) menjadi 27% (2020/21), sebuah regresi terhadap pencapaian ekonomi dalam 15 tahun terakhir.
Pascakudeta 1 Februari, makin banyak masyarakat turun ke jalan menyuarakan protes dan bukan tak mungkin akan berlanjut dengan aksi kekerasan, mengulangi sejarah 1988. Simbol tiga jari yang mereka tunjukkan dan bising pukulan panci dari setiap balkon apartemen bisa jadi pertanda ranah perjuangan kali ini melewati batas politik dan masuk ke isu ketidakadilan sosial.
Perjuangan bangsa Myanmar melewati fase sulit dalam sejarahnya ini akan menjadi pelajaran berharga bagi semua. Secara internal, demokrasi ialah mengenai rakyat, bukan pengultusan pribadi. Perjuangan rakyat Myanmar saat ini hendaklah bukan semata mengenai pribadi Aung San Suu Kyi, melainkan tujuan yang lebih besar dan mulia, yaitu penentuan nasib bangsa.
Berikutnya, upaya mencapai kesepakatan mengenai identitas bangsa jangan sampai terbengkalai karena bisa menjadi penangkal politik identitas, dan tidak kalah pentingnya sistem yang bekerja ialah sistem menjamin ketaatan pada hukum, baik dari pihak militer maupun sipil, dan mendorong wacana regenerasi kepemimpinan.
Di tengah wacana intervensi ASEAN untuk berperan lebih aktif menemukan solusi rekonsiliasi, inilah yang bisa menjadi titik awal dialog.
Tulisan ini merupakan pendapat pribadi
Melalui foundation ini, Daw Aung San Suu Kyi ingin melanjutkan warisan ibunya dalam memajukan kesejahteraan rakyat Myanmar
LEBIH dari 2.000 pengungsi baru Rohingya memasuki Bangladesh sejak runtuhnya pemerintahan Sheikh Hasina pada 5 Agustus.
JUNTA Myanmar dituding membahayakan nyawa pemimpin sipil yang dipenjara, Aung San Suu Kyi. Hal ini diungkapkan partai politik Suu Kyi.
MILITER Myanmar telah memberikan grasi kepada mantan pemimpin Aung San Suu Kyi, untuk lima dari 19 kasus yang menjeratnya dan akan tetap berada dalam tahanan rumah.
Langkah tersebut merupakan bagian dari tindakan grasi kepada para tahanan, sehubungan dengan upacara keagamaan, minggu depan.
"Pemilu tanpa keikutsertaan seluruh stakeholder tidak bisa dan tidak akan dipandang sebagai pemilu yang bebas atau adil."
FENOMENA autokratisasi secara global yang terjadi saat ini memasuki gelombang ketiga. Pemerintah otoriter lahir dengan cara 'memanfaatkan' sistem demokrasi.
Bantuan yang diberikan Amerika Serikat ke Gabon akan dihentikan setelah kudeta militer bulan lalu.
Diskusi antara Prancis dan Niger dilakukan terkait kelanjutan prajurit asal Prancis.
Capres Gabon dari oposisi Albert Ondo Ossa mengatakan pengambilalihan militer hanya revolusi bukan kudeta.
SEKELOMPOK perwira senior militer Gabon mengambil alih kekuasaan pada Rabu (30/8), seusai menuduh curang hasil pemilihan umum (Pemilu) yang dimenangkan petahana Ali Bongo Ondimba.
Sekitar 170.000 warga sipil, lebih dari setengah perkiraan populasi di Negara Bagian Karenni, telah mengungsi sejak militer merebut kekuasaan tahun lalu.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved