Headline

Manggala Agni yang dibentuk 2002 kini tersebar di 34 daerah operasi di wilayah rawan karhutla Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan.

Fokus

Sejak era Edo (1603-1868), beras bagi Jepang sudah menjadi simbol kemakmuran.

Pendidikan dan Vaksinasi

IGK Manila Gubernur Akademi Bela Negara (ABN), dan Sekretaris Majelis Tinggi Partai NasDem
05/2/2021 04:10
Pendidikan dan Vaksinasi
Ilustrasi MI(MI/Seno)

VAKSINASI ialah buah kemajuan peradaban seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Metode ini praktis menjadi salah satu andalan untuk pencegahan berbagai penyakit menular, yaitu sejak ditemukan oleh Edward Jenner, untuk mencegah penyakit cacar pada 1796. Variasi dan produksi vaksin secara masif terjadi sejak 1940-an ketika dunia ilmiah berkembang pesat dan terjadinya industrialisasi dalam skala besar.

Tak bisa dibayangkan, bagaimana keadaan umat manusia saat ini jika tidak ditemukan metode pencegahan penyakit yang disebut vaksinasi itu. Hanya, seperti kita tahu, penolakan terhadap vaksinasi ternyata terus saja muncul, baik di negara-negara maju tertentu dan apalagi di negara-negara berkembang.

Dalam konteks Indonesia, penolakan akan vaksinasi ini tentu akan menghambat rencana program pemerintah untuk melakukan vaksinasi dengan target 70% warga atau setara dengan 182 juta orang. Sebab, hanya dengan cara ini akan terbangun herd immunity atau imunitas umum penduduk, dalam rangka normalisasi kehidupan dalam berbagai aspeknya.

Penolakan terhadap vaksinasi ini dikenal secara luas sebagai vaccine hesitancy atau anti-vaksinasi (anti-vax) dan mereka yang menolak ini disebut sebagai anti-vaxxers.

Berdasarkan pernyataan WHO, penolakan terhadap vaksin ini merupakan salah satu dari sepuluh ancaman teratas terhadap kesehatan pada 2019. Selain bentuk penolakan, fenomena ini juga mencakup tindakan menunda-nunda ikut vaksinasi, ragu-ragu terhadap penggunaan atau efektivitas vaksin, atau memilih vaksinasi tertentu saja.

Secara keseluruhan, alasan penolakan terhadap vaksinasi ini, kontradiktif dengan konsensus ilmiah umum dalam ilmu kesehatan. Hal ini mencakup ketidakpahaman dan ketidakyakinan akan keamanan vaksin, serta keampuhan metode pencegahan penyakit menular ini.

 

Faktor keterdidikan

Fakta penolakan resistensi ini mengantarkan kita pada salah satu persoalan lain, yaitu faktor keterdidikan. Sesuai definisi G Pastoll (1994), keterdidikan bukanlah utamanya soal tingkat pendidikan seperti pendidikan dasar, menengah atau tinggi, tetapi keterdidikan ialah perkara kondisi keberkembangan karena adanya proses pendidikan dalam arti yang seluas-luasnya sehingga bisa saja terdapat orang-orang yang telah bersekolah sampai pendidikan tinggi, tetapi tidak mengalami perkembangan diri yang berarti.

Menurut G Pastoll, paling kurang terdapat tiga indikator terkait berkembang atau tidak berkembang ini. Pertama, berhubungan dengan kemampuan memahami sesuatu secara menyeluruh. Kedua, kepemilikan akan motivasi dalam belajar dan bertindak, serta ketiga perkara kesadaran perlunya penyesuaian diri, sesuai perkembangan peradaban (adaptabilitas dengan ilmu pengetahuan dan teknologi).

Berbicara soal pendidikan, sebagai proses yang disengaja, atau secara resmi diselenggarakan oleh negara atau lembaga swasta, keterdidikan, ialah soal hasil kualitatif (outcome), bukan hasil kuantitatif (output). Tingkat pendidikan, yang juga sering direpresentasikan sebagai tingkat keterdidikan, belum tentu atau tidak bisa serta-merta mewakili hasil kualitatif dari pendidikan.

Dalam konteks vaksinasi, sebagai contoh, ketika tingkat pendidikan semestinya berkorelasi dengan penerimaan akan vaksinasi, yang terjadi justru tidak demikian. Vaksinasi sebagai buah dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, ternyata juga ditolak secara signifikan oleh warga negara-negara maju tertentu, dan tidak bisa dikatakan berkorelasi dengan tingkat pendidikan. Justru, kebersediaan divaksinasi lebih berkorelasi dengan faktor usia karena kerentanan tertular.

Salah satu indikasi tentang ini ialah yang terjadi di AS. Dalam publikasi BioSpace 22 Januari 2021 menunjukkan 47% penduduk ‘Negeri Paman Sam’ ragu-ragu atau cenderung menolak vaksinasi. Selebihnya (53%) bersedia divaksin. Survei daring yang melibatkan 5.537 warga AS ini dilaksanakan antara 4-14 Desember 2020.

Kebersediaan divaksin, dalam survei itu, terutama berkorelasi dengan faktor suku bangsa atau ras dan umur. Faktor-faktor yang tidak berkorelasi secara signifikan ialah pendapatan (ekonomi), tingkat pendidikan, jenis kelamin, dan faktor demografis lainnya.

Warga yang berusia 55 tahun dan lebih merupakan kelompok yang paling bersedia divaksinasi (67%) dan selebihnya tidak bersedia (33%). Kelompok umur berikutnya mereka yang berusia 18-24 tahun, yakni 58% bersedia divaksin diikuti kelompok umur 45-54 (50%), dan 25-44 (47%).

Menggunakan definisi keterdidikan di atas, dan cuplikan data survei ini, kita selanjutnya bisa mengambil kesimpulan sementara, bahwa terdapat indikasi ‘ketidakberkembangan pengetahuan’ sebagian warga negara AS terkait vaksinasi dan, berujung pada ‘ketidakyakinan’ mereka akan keamanan, dan keampuhan vaksinasi.

 

Warga Indonesia

Jika menggunakan kategori berkembang versus terbelakang, Indonesia ialah negara yang dinyatakan berada di tengah, yakni sebagai negara berkembang. Seiring dengan itu, dalam konteks keterdidikan warga-negara sesuai definisi keterdidikan kualitatif di atas, bisa diasumsikan, Indonesia juga di bawah AS sebagai negara maju.

Survei yang dilakukan Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), antara 16-19 Desember 2020 terhadap 1.202 responden, membenarkan asumsi itu. Mayoritas WNI menolak vaksinasi, hanya 37% yang bersedia divaksinasi (dalam hal ini vaksinasi covid-19). Sementara itu, terdapat 40% yang masih ragu-ragu, dan selebihnya 17%, menyatakan betul-betul menolak divaksinasi.

Dalam survei pekan sebelumnya, terdapat 54% responden yang bersedia divaksinasi. Sementara itu, 23 responden meragukan keamanan vaksin dan 56% percaya, vaksinasi tidak akan berdampak buruk pada kesehatan, sedangkan 20% responden tidak menyatakan pendapat.

Survei yang dilakukan Kemenkes juga menemukan data yang kurang lebih serupa. Hanya sepertiga (30-an%) warga yang bersedia divaksin. Alasan penolakan mencakup keamanan vaksin (30%), keampuhan (22%), ketidakpercayaan pada jenis vaksin (13%), takut efek samping seperti demam dan rasa sakit (12%), dan alasan agama (8%).

 

Pendidikan kesehatan

Secara sederhana, dalam konteks komunikasi politik pemerintah, semua alasan ini bisa dikatakan terkait efektivitas sosialisasi vaksinasi. Namun demikian, jika dilihat lebih jauh dan mengakar, semua alasan yang membuat para responden menolak, atau ragu, terhadap vaksin terkait keterdidikan: pemahaman, motivasi, serta adaptabilitas terhadap ilmu pengetahuan, dan teknologi.

Perlunya informasi yang memadai, valid, dan diterima baik menjadi fokus utama sosialisasi. Namun, kediterimaan informasi oleh seseorang—yang secara psikologis harus melalui proses kognitif—mensyaratkan daya nalar, atau kebiasaan berpikir dan bersikap logis, kecukupan pengetahuan yang menjadi dasar penerimaan. Sosialisasi yang cenderung penyuluhan satu arah, tidak akan memadai.

Sosialisasi yang tak bisa berpanjang-panjang, karena faktor waktu yang sempit ini, harus menjadi gerakan pendidikan kesehatan yang masif. Pemerintah harus menggunakan semua cara, dan lembaga yang ada: media massa, media sosial, sekolah, perguruan tinggi, LSM. dsbnya, dan sebagai amunisi bagi gerakan itu, harus terdapat konten kependidikan yang sederhana dan terjangkau semua kalangan.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya