Headline

Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.

Fokus

Ketegangan antara Thailand dan Kamboja meningkat drastis sejak insiden perbatasan

Guru dan Kerelawanan

Khairil Azhar Divisi Pelatihan Pendidikan Yayasan Sukma
23/11/2020 03:00
Guru dan Kerelawanan
(Dok.Pribadi)

PADA Sabtu (21/11) malam, belasan alumnus relawan pendidikan Dompet Kemanusiaan Media Group (DKMG) dan Yayasan Sukma melakukan reuni di Pesantren Anwarul Quran, Palu. Para relawan ini, tak lama setelah bencana gempa, tsunami, dan lekuifaksi terjadi pada September 2018, bekerja bersama mendirikan dan menjalankan sekolah-sekolah darurat di berbagai titik.

Sebelum bencana, di antara mereka memang ada yang berprofesi sebagai guru atau dosen. Ada juga yang masih mahasiswa, hanya tamat sekolah menengah atas, bahkan ibu rumah tangga. Pada waktu rekrutmen tak ada seleksi akademis atau prosedur yang berbelit-belit. Siapa saja yang bersedia bekerja keras dan ditempatkan di wilayah terdampak bencana kami terima.

Dua tahun lebih telah berlalu, tetapi mereka tetap bersemangat untuk saling bercerita, melihat foto-foto lama dan mengenang apa yang telah dilakukan bersama anak-anak terdampak bencana. Selain perasaan haru, kebahagiaan terpancar di wajah mereka. Meskipun belum dipublikasi, kisah-kisah dan gambar yang tersimpan menjadi bukti bahwa gagasan kemanusiaan yang murni itu ada dan bisa diwujudkan.

Dalam pertemuan malam itu, yang awalnya lebih diniatkan untuk bincang-bincang pendidikan dengan para santri-mahasiswa, muncul pertanyaan polos dari salah seorang santriwati, "Kenapa kakak mau menjadi relawan pendidikan?" Pertanyaan ini menjadi menarik karena pada pascabencana juga terdapat ratusan ribu orang lain, yang mungkin juga memiliki kesempatan dan kesanggupan, tetapi memilih untuk melakukan hal lain.

Saya kemudian meminta dua relawan untuk menjawab. Jawaban mereka menurut saya bijak dan mendalam. Jawaban pertama, dari seorang relawan perempuan yang terdampak bencana, ialah bahwa menjadi relawan baginya merupakan cara untuk trauma-healing, proses normalisasi psikis setelah mengalami berbagai badai emosional saat dan pascabencana. Jawaban kedua, dari relawan laki-laki yang juga terdampak bencana, ialah bahwa menjadi relawan adalah untuk belajar dan menjadi lebih berani.

Sejak dari proses awal rekrutmen sampai dengan masa tanggap darurat selesai dan para relawan menyelesaikan tugasnya, saya memang tak bisa sampai pada kesimpulan bahwa motif ekonomi adalah dominan. Meskipun mereka mendapat honor menggunakan sebagian dana yang terkumpul dalam program penggalangan bantuan kemanusiaan Media Group, motif trauma-healing, belajar, mencari pengalaman, dan panggilan kemanusiaan adalah yang utama.

Bisa saja kita mengandaikan bahwa motif ekonomi menjadi faktor terkuat bagi sebagian mereka. Dalam sistem kerja yang bukan menggunakan model surveilance--atau pengawasan yang dilakukan secara ketat dengan berusaha menutup setiap kemungkinan penyelewengan--bisa saja kehadiran direkayasa atau pekerjaan tak dilakukan sepenuh hati. Namun, itu terbantahkan dengan berbagai narasi lisan dan grafis mengharukan yang menunjukkan keterlibatan emosional dan moral yang kuat.

Pertemuan antara motif kebajikan dan pengalaman nyata yang membelajarkan di lapangan selanjutnya telah membentuk satu kesadaran tersendiri pada diri mereka. Secara kolektif, meskipun kini sudah tercerai berai karena pekerjaan atau alasan lainnya, ada ikatan batiniah yang kuat karena pernah sama-sama terlibat dalam rangkaian kegiatan yang murni atas nama kemanusiaan.

 

Membangun kerelawanan

Menggunakan narasi kerelawanan ini, kita pada dasarnya bisa sedikit memotret wajah keguruan saat ini dan memperbaikinya. Apakah prinsip kesukarelaan, atau dalam konteks ini kerelawanan dalam mengajar dan belajar, seperti yang sudah digaungkan dan dipraktikkan Ki Hajar Dewantara puluhan tahun lalu, telah atau tetap menjadi dasar praktik pendidikan? Apakah panggilan kemanusiaan, terlepas dari berbagai bentuk insentif personal, sosial, atau ekonomi yang mengiringinya, menjadi nyawa yang menghidupkan jiwa para guru?

Di tengah industrialisasi pendidikan, di mana pendidikan adalah komoditas yang bernilai ekonomi tinggi dan oleh karena itu wajar dibisniskan, pertanyaan di atas tentu terasa naif. Dalam arus deras birokratisasi pendidikan, di mana besaran birokrasi terus menggelembung dan tanpa ampun menyedot berbagai sumber daya pendidikan, pertanyaan di atas terasa seperti pekik dalam gua kekosongan.

Belajar dari tanggap-darurat atau penanganan pendidikan pascabencana, saya yakin bahwa kerelawanan pendidikan di tengah badai industrialisasi dan birokratisasi ini bukan tidak mungkin. Di antara ratusan ribu atau bahkan jutaan guru pasti terdapat mereka yang memilih bersikap dan berlaku sebagai relawan, meskipun untuk itu mereka harus berkorban pikiran, waktu, tenaga, dan sumber daya pribadi.

Dalam hal ini, hemat saya, kita bisa mulai dari pentingnya aspek emosional dalam dunia keguruan. Pilihan menjadi relawan, seperti dalam narasi di atas, didorong oleh keinginanan untuk keluar dari trauma, belajar berani lagi dan keinginan untuk membantu sesama. Hal ini--meskipun belum tentu exhaustive secara ilmiah--mengindikasikan bahwa ketika sisi emosional manusia tersentuh, mereka menjadi tergerak dan menjadi 'rela' untuk melakukan tindak tertentu.

Keterpaparan pada satu situasi, kondisi, atau pengalaman yang berpengaruh kuat--yang dalam konteks kebencanaan misalnya terjadi ketika orang menjadi korban atau memiliki anggota keluarga atau sahabat yang menjadi korban-- kemudian menjadi pintu masuk. Dalam situasi normal, ini bisa disebabkan keterpaparan secara kognitif, seperti dengan membaca berita, menonton video, atau melihat gambar-gambar dengan magnet emosional yang kuat.

Ketika seseorang secara emosional tersentuh, secara psikologis akan terdapat tiga kemungkinan; berusaha menenangkan diri supaya tak terpengaruh (emotion-focused coping), mencoba memahami lebih jauh dan mendapatkan perspektif baru (meaning-focused coping), atau lebih jauh berusaha melakukan tindakan nyata untuk berkontribusi mengubah keadaan (problem-focused coping). Ketika dua kemungkinan terakhir berujung pada sikap atau perilaku konstruktif, kemungkinan yang pertama berujung pada sikap negatif, yakni dengan mengabaikan atau meremehkan informasi dan mengalihkan perhatian.

Kerelawanan tentu saja diandaikan mungkin terbangun jika seseorang sampai pada kemungkinan kedua dan ketiga. Ketika keterpaparan pada fakta dan berbagai informasi terkait memadai serta terjadi percakapan batin yang intens, kecenderungan terjadinya perubahan perspektif membesar. Ketika motivasi intrinsik semakin kuat dan berbagai informasi serta kemungkinan solutif terasa di depan mata, dia akan tiba pada titik untuk melakukan tindakan. Ketika tindakan demi tindakan berjalan koheren dan konsisten, itu merepresentasikan kerelawanan sebagai sebuah identitas diri.

Demikian juga halnya pada guru atau calon guru. Ketersentuhan emosional harus terjadi. Guru yang mengalami ketersentuhan emosional akan merasa seperti mendapatkan semacam calling, panggilan nurani untuk lebih sukarela dalam bertindak. Ketika ketersentuhan emosional itu terus terjadi, seperti ketika memfasilitasi pembelajaran, dan tindakan-tindakan yang dilakukan seiring dengan stimulus emosional tersebut, kerelawanan akan mencari prinsip yang senantiasa dipegang teguh.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya