Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Mendiskualifikasi sang Petahana

A Ahsin Thohari Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta
24/10/2020 03:00
Mendiskualifikasi sang Petahana
(Dok. Pribadi)

BADAN Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) telah memberikan rekomendasi kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mendiskualifikasi enam pasangan calon kepala daerah yang bestatus petahana. Enam calon yang berstatus petahana tersebut terindikasi melakukan tindakan terlarang di daerah masing-masing: Banggai, Pegunungan Bintang, Ogan Ilir, Halmahera Utara, Gorontalo, dan Kaur (Media Indonesia, 21/10/2020).

Berdasarkan Pasal 1 Peraturan KPU Nomor 1 Tahun 2020, tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2017, yang dimaksud dengan petahana ialah gubernur, atau wakil gubernur, bupati atau wakil bupati, dan wali kota atau wakil wali kota yang sedang menjabat dan mencalonkan, atau dicalonkan, sebagai gubernur atau wakil gubernur, bupati atau wakil bupati, dan wali kota atau wakil wali kota.

Tindakan terlarang itu meliputi tiga hal yang diatur dalam Pasal 71 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi Undang-Undang.

Pertama, larangan bagi pejabat negara, pejabat daerah, pejabat aparatur sipil negara, anggota TNI-Polri, dan kepala desa/lurah membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon.

Kedua, larangan bagi gubernur atau wakil gubernur, bupati atau wakil bupati, dan wali kota, atau wakil wali kota melakukan penggantian pejabat enam bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan, kecuali mendapat persetujuan tertulis dari menteri dalam negeri.

Ketiga, larangan bagi gubernur atau wakil gubernur, bupati atau wakil bupati, dan wali kota atau wakil wali kota menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon baik di daerah sendiri maupun di daerah lain dalam waktu enam bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan penetapan pasangan calon terpilih.

Jika melanggar larangan kedua dan ketiga di atas, gubernur atau wakil gubernur, bupati atau wakil bupati, dan wali kota atau wakil wali kota yang berstatus petahana dikenai sanksi pembatalan (diskualifi kasi) sebagai calon oleh KPU provinsi atau KPU kabupaten/kota.

MI/Tiyok

Ilustrasi MI

 

Keuntungan petahana

Dalam setiap kontestasi elektoral, baik pemilu maupun pilkada, keberadaan petahana selalu menjadi perdebatan panjang. Hal itu tidak lepas dari fakta bahwa petahana selalu memiliki apa yang disebut sebagai ‘keuntungan petahana’ (incumbent’s advantages) jika dibandingkan dengan penantang (challenger).

Secara alamiah, petahana memiliki keuntungan politik berupa popularitas dan bahkan elektabilitas yang telah diakumulasi secara konstan selama menjadi penguasa. Tidak hanya itu, selaku pemegang kekuasaan, petahana lebih diuntungkan ketimbang penantang karena memiliki akses yang lebih mudah untuk menjangkau dana, sumber daya, dan fasilitas pemerintah yang secara terselubung dapat digunakan untuk kampanye.

Celakanya, tangan-tangan hukum sering kali terlalu pendek untuk dapat menggapai penyelewengan-penyelewengan petahana ini.

Dengan keuntungan tersebut, kontestasi elektoral yang semestinya dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil menjadi terancam oleh kehadiran sang petahana.

Pada sisi ini, jika tidak diatur dengan baik, kehadiran petahana berpotensi merusak kompetisi yang adil antarkandidat karena masing-masing tidak berada dalam arena tanding yang setara (a level playing field). Karena itu, mempersenjatai penyelenggara pemilu dengan segenap kewenangan agar dapat berperang dengan baik melawan petahana culas ialah keniscayaan.

Eksistensi Pasal 71 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 menjadi amat penting untuk meminimalkan, jika bukan mengeliminasi, praktik politik lancung petahana. Bagaimanapun juga, petahana akan mudah tergoda untuk membuat keputusan dan/ atau tindakan yang menguntungkan dirinya, tetapi merugikan penantang. Selain itu, petahana dapat menyalahgunakan kewenangannya untuk melakukan penggantian pejabat atas dasar favoritisme.

Hal yang jamak terjadi di masa pandemi covid-19 ini ialah petahana dengan mudah menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan dirinya dan merugikan penantang. Oleh karena itu, penyelenggara pemilu harus mewaspadai apa yang telah dikatakan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri. KPK menemukan tingginya alokasi untuk jaring pengaman sosial (JPS) di daerah yang menyelenggarakan Pilkada 2020. Hal itu akan menjadi titik rawan pelanggaran politisasi APBD.

Masih menurut Firli, dari 270 daerah yang menyelenggarakan pilkada, 58 daerah (13,7%) di antaranya menganggarkan JPS untuk penanganan pandemi covid-19 di atas 40% dari total APBD. Selain itu, pada daerah yang kepala daerahnya berpotensi maju kembali, yakni di 31 daerah, alokasi untuk JPS melebihi 50% dari APBD. Bahkan, ada 6 daerah yang mengalokasikan JPS melebihi 75% dari total APBD.

Apa yang terjadi di Kabupaten Ogan Ilir seputar dugaan penyalahgunaan dana bantuan pemerintah selama pandemi covid-19 untuk kampanye harus menjadi pelajaran bagi petahana di daerah lain. Seperti diketahui, KPU Ogan Ilir telah menerbitkan Keputusan Nomor 263/HK.03.1.Kpt/1610/ KPU-Kab/X/2020, tanggal 12 Oktober 2020, tentang Pembatalan Penetapan Pasangan Calon Peserta Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Ogan Ilir Tahun 2020.

Dalam keputusan itu, pasangan calon bupati dan wakil bupati Ilyas Panji Alam dan Endang PU Ishak dikenai sanksi administrasi pembatalan sehingga tidak diikutkan sebagai peserta pilkada Ogan Ilir.

Memang, berdasarkan Pasal 135A ayat (6) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, pasangan calon yang dikenai sanksi administrasi pembatalan dapat mengajukan upaya hukum ke Mahkamah Agung (MA). Keadaan pun boleh jadi berbalik jika MA mengabulkan permohonan Ilyas-Endang.

Akan tetapi, tindakan tegas KPU Ogan Ilir itu setidaknya dapat menjadi kekuatan pencegahan (deterrence force) agar tidak terjadi lagi hal serupa di tempat lain. Hal itu disebabkan setiap tindakan yang mengeksploitasi posisi menguntungkan milik petahana, secara tidak bertanggung jawab, dapat berkonsekuensi serius yang merugikan petahana sendiri, yakni pembatalan penetapan atau diskualifikasi pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya