Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Ilusi Pembatasan Dana Kampanye

Reza Syawawi Peneliti Hukum dan Kebijakan Transparency International Indonesia
08/10/2020 03:00
Ilusi Pembatasan Dana Kampanye
(Dok. Pribadi)

POLITIK balas jasa ditenggarai sebagai penyebab utama banyaknya kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebutkan kontribusi pendanaan sejak proses pencalonan, kampanye, hingga pemungutan suara berimbas kepada maraknya praktik suap, gratifi kasi, jual beli jabatan, hingga kick back dalam pengadaan barang dan jasa (Media Indonesia, 1/10/2020).

Pernyataan Mahfud MD soal pembiayaan kampanye yang dikendalikan cukong mungkin ada benarnya, dan senantiasa menjadi cacat bawaan dalam pemilu kita. Transisi demokrasi yang digadang-gadang sebagai sebuah transformasi politik yang beradab, justru berubah menjadi ajang pertarungan para oligark.

Winters (2011) menyebut, ada yang luput dari perhatian publik, manakala transisi demokrasi pasca orde baru selesai dengan jatuhnya kekuasaan orde baru. Padahal, tanpa disadari transisi ini juga mengantarkan Indonesia menuju oligarki dalam bentuk yang lain yang jauh lebih kuat dan menyebar.

Demokrasi elektoral, pada akhirnya memberikan ruang dan cara baru untuk mengupayakan kepentingan oligarkis, baik bagi individu maupun kolektif. Pelaku yang bisa mendominasi panggung politik hanyalah oligark yang memiliki harta kekayaan pribadi yang besar dan elite yang mampu menarik atau mengambil sumber daya negara.


Sebuah ilusi?

Pembatasan pengeluaran dana kampanye, kemudian menjadi salah satu cara yang bisa digunakan sebagai instrumen untuk mengurangi biaya politik yang begitu tinggi. Cara ini, dipercaya akan mengurangi intensitas yang berlebihan atas kontribusi pendanaan kampanye.

Upaya Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk membatasi pengeluaran dana kampanye pilkada melalui Peraturan KPU Nomor 12 Tahun 2020 pada satu sisi patut diapresiasi. Namun, pembatasan ini, pada dasarnya tidak akan signifi kan mengurangi biaya politik yang dikeluarkan peserta pemilu dalam penyelenggaraan pilkada.

Pembatasan uang atau dana politik, pada dasarnya bertujuan untuk memberikan ruang kompetisi yang adil bagi semua peserta pemilu (International IDEA, 2016). Sehingga, setiap aktivitas dan tahapan yang dibiayai peserta pemilu dilakukan secara proporsional, tanpa adanya perbedaan yang disebabkan besar atau kecilnya dana yang tersedia.

Di atas kertas ini, mungkin ideal untuk menciptakan kompetisi yang adil. Namun, pada dasarnya tidaklah signifikan mengatasi tingginya biaya politik. Ada dua hal yang menjadi dasar argumentasinya. Pertama, basis pembatasan dana kampanye terlalu luas. Sebab, memperhitungkan banyak hal seperti metode kampanye, jumlah kegiatan kampanye, perkiraan jumlah peserta kampanye, standar biaya daerah, bahan kampanye yang diperlukan. Lalu, cakupan wilayah dan kondisi, geografis, logistik, dan manajemen kampanye/konsultan (Pasal 12 PKPU 12/2020).

Jika menggunakan basis ini untuk membatasi pengeluaran dana kampanye, dari segi jumlah tak akan berpengaruh signifi kan dalam menekan biaya politik. Dari beberapa penelusuran ditemukan, sudah ada beberapa KPU di daerah yang membatasi pengeluaran dana kampanye, sebut saja dalam Pilkada Kota Medan menyepakati batasan sebesar Rp36 miliar, atau Pilkada di Kabupatan Sidoarjo sebesar Rp31 miliar.


Menggerus integritas

Menurut penulis, dari segi jumlah ini seolah hanya menjustifi kasi dan melegalisasi atas praktik biaya politik yang begitu besar. Sebab, dalam banyak pengalaman yang ada, dana ilegal yang beredar dalam pilkada memang berkisar dalam jumlah tersebut. Sehingga, sangat mungkin politik balas budi itu akan tetap terjadi dan menggerus kredibilitas dan integritas kepala daerah yang terpilih nantinya.

Apalagi jika dihubungkan dengan kajian KPK yang membandingkan antara jumlah biaya kampanye dengan LHKPN peserta pilkada, pembatasan ini menjadi tidak relevan. Bahkan jikapun kekayaan calon kepala daerah digabung dengan pendapatan yang diperoleh kepala daerah selama 5 tahun memegang jabatan, sudah dapat dipastikan kepala daerah akan tetap tersandera kepentingan penyumbang dana kampanye.

Pembatasan dana kampanye juga tak bisa dilepaskan dari desain kampanye itu sendiri. Misalnya, masa kampanye yang terlalu panjang membuat biaya kampanye semakin tinggi. Pada pengalaman dalam pemilu nasional 2019, misalnya, masa kampanye itu sekitar 8 bulan, atau dalam pilkada 2020 kali ini lebih dari 2 bulan. Periode kampanye ini dinilai terlalu panjang jika hanya bertujuan menyampaikan visi, misi dan program kerja calon kepala daerah.

Oleh karena itu, pembatasan dana kampanye mestinya kembali kepada semangat menghadirkan kepala daerah yang tidak tersandera, bukan hanya didasarkan kepada tahapan, metode, dan hal yang bersifat teknis administratif belaka. Hal itu, bisa dimulai dengan mendesain sistem kampanye yang berbiaya rendah. Tetapi, tetap efektif dalam menyebarluaskan informasi mengenai peserta pemilu kepada publik.

Kedua, instrumen pengawasan dana kampanye (dana politik) seharusnya mampu bekerja di luar pakem pengawasan yang sangat tradisional karena hanya mengawasi dari aspek administratif.

Pengawasan pembatasan dana kampanye juga tak hanya terpaku pada aktivitas dalam ‘tahapan kampanye’ semata. Tetapi, juga mesti mencakup seluruh tahapan bahkan pascapelantikan kepala daerah definitif. Dalam konteks mahar politik, instrumen pengawasan ini masih sangat mungkin dilakukan untuk memastikan kepala daerah tidak melakukan tindakan atau mengambil kebijakan yang bertujuan sebagai kickback. Dalam konteks inilah International IDEA (2016) menyebutkan bahwa pengawasan dana politik tidak bisa bekerja sendiri, mestinya ada keterlibatan penegak hukum yang secara konkret untuk ikut mengawasi.

Jika kerja sama itu hanya dilakukan di atas kertas, tidaklah mengherankan jika dalam sejarah pemilu Indonesia pasca-Orba, tidak pernah ada penegakan hukum yang signifi kan terkait aktivitas ilegal dalam pendanaan politik. Di satu sisi, pengawas dana politik berkutat dalam pelaporan yang sangat administratif. Adapun penegak hukum memilih untuk menunggu terjadinya praktik korupsi di kemudian hari.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya