Headline

Kenaikan harga minyak dunia mungkin terjadi dalam 4-5 hari dan akan kembali normal.

Fokus

Presiden menargetkan Indonesia bebas dari kemiskinan pada 2045.

Jahat, Bergangguan Jiwa, Lalu Apa?

Reza Indragiri Amriel Alumnus Psikologi Forensik The University of Melbourne
18/9/2020 03:00
Jahat, Bergangguan Jiwa, Lalu Apa?
(Dok. Pribadi)

TUAN AA, sebut saja demikian, telah diamankan pihak kepolisian. Di ruang publik bertebaran sinyalemen bahwa dia mengidap gangguan jiwa. Namun, Tuan AA bukan individu biasa yang konon memiliki gangguan jiwa. Penekanannya bukan pada aspek itu. Tuan AA ialah pembacok ulama Syekh Ali Jaber. Jadi, dia merupakan pelaku kejahatan, yang barangkali memiliki psikopatologi tertentu.

Karena titik pangkalnya ialah Tuan AA selaku pelaku kejahatan, sungguh relevan untuk dipersoalkan: apakah dia memang sakit atau sebetulnya sebatas pura-pura sakit (malingering). Malingering merupakan trik klasik yang sering dimainkan mereka yang punya persoalan hukum. Dengan berlagak sakit, apabila proses pidana terkecoh, tidak menutup kemungkinan si malingerer akan memperoleh pemaafan hukum. Dibebaskan atau, setidaknya, penurunan berat hukuman. Itu berlaku pula bagi Tuan AA.

Polda Lampung bekerja positif. Seirama dengan ekspektasi publik. Pada saat tulisan ini saya susun, penerapan pasal-pasal untuk menjerat Tuan AA bertitik tolak dari asumsi bahwa ia waras sehingga ancaman pidananya bisa mencapai hukuman mati. Ini langkah kerja kepolisian yang patut dihargai. Polda Lampung menolak terbawa arus seakan-akan Tuan AA tidak waras.

Persoalannya, bagaimana andaikan Tuan AA benar-benar mengidap gangguan jiwa? Atau apa yang patut dikemukakan terhadap kalangan yang mengklaim bahwa Tuan AA mempunyai gangguan jiwa?

Gangguan jiwa ialah terma umum yang memayungi sekian banyak terma spesifi k. Dengan demikian, sekiranya Tuan AA benar-benar menderita gangguan jiwa, patut didefi nitifkan tipe gangguan jiwanya. Tidak bisa istilah tunggal diterapkan secara pukul rata.

Tidak serta-merta pelaku kejahatan yang bergangguan jiwa akan memperoleh dispensasi hukum. Hanya kondisi-kondisi tertentu yang memungkinkan seorang pelaku kejahatan bisa ‘memanfaatkan’ Pasal 44 ayat 1 KUHP bahwa ia tidak dipidana karena ‘kurang sempurna akal nya atau sakit berubah akal’.

Sekarang, anggaplah Tuan AA menderita psikopatologi yang sesuai dengan Pasal 44 ayat 1 KUHP. Itu pun tidak lantas menghentikan proses hukumnya hanya sampai di tingkat penyelidikan atau pun penyidikan. Otoritas penegakan hukum sejatinya diberikan mandat oleh KUHP untuk tetap meneruskan kasus dimaksud sampai ke peradilan. Demikian tafsiran atas Pasal 44 ayat 2 KUHP bahwa hakim dapat memerintahkan dikirimkannya pelaku ke rumah sakit jiwa untuk menjalani pemeriksaan.

Perintah itu hanya bisa ada apabila kasus sampai di ruang persidangan. Tanpa persidang an, tidak mungkin akan ada perintah hakim. Dengan demikian, betapa pun seorang kriminal disebut-- termasuk oleh polisi sekali pun--mengidap gangguan jiwa, tetap ia harus dihadapkan ke majelis hakim. Hakimlah, bukan pihak lain, yang memegang kewenangan untuk memutuskan nasib pelaku: benar-benar bergangguan jiwa atau tidak, serta dikabulkan atau tidaknya kondisi kejiwaan yang abnormal itu sebagai unsur pemaaf.

MI/Seno

Ilustrasi MI

 


Tidak muskil

Mengadili terdakwa yang bergangguan jiwa, hemat saya, tidak muskil dilakukan. Alasannya, pertama, proses hukum dilakukan atas asas pembuktian. Bukan pengakuan ataupun lainnya. Jadi, sepanjang perbuatan pidana terdakwa bisa dibuktikan secara sah dan meyakinkan, ia layak divonis bersalah. Tinggal lagi, sebagaimana tertulis di atas, bisa saja hakim tidak menjatuhkan hukuman, mengingat terdakwa mempunyai kelainan kejiwaan.

Sebagai gantinya, hakim akan menginstruksikan agar terdakwa menjalani pengobatan di RSJ. Kedua, dalam khazanah hukum dikenal praktik trial in absentia, yaitu persidangan diselenggarakan tanpa kehadiran terdakwa.

Bahkan ada posthumous trial, yakni persidangan yang dilangsungkan betapa pun pelaku sudah meninggal dunia. Trial in absentia dan posthumous trial menunjukkan bahwa bergeraknya proses pidana sama sekali tidak tergantung pada diri terdakwa, baik fisik maupun jiwanya.

Memastikan bahwa proses hukum atas Tuan AA berlanjut hingga ke persidangan, juga akan membuka peluang bagi terpatahkannya asumsi bahwa terdakwa menderita gangguan jiwa. Dari situ jelaslah, apa pun vonis hakim nantinya, mendudukkan pelaku di kursi terdakwa merupakan bukti ke masyarakat bahwa otoritas kepolisian tidak melakukan rekayasa dalam menjalankan kerja penegakan hukum atas diri Tuan AA.

Perbuatan jahat yang dilakukan Tuan AA, yaitu menganiaya pemuka agama, memiliki kesamaan dengan peristiwaperistiwa serupa beberapa tahun silam. Kala itu bahkan sejumlah alim ulama tewas mengenaskan. Namun, tidak satu pun rangkaian kasus peng aniayaan itu berlanjut hingga ke peradilan.

Dengan kata lain, tidak pernah ada forum untuk menguji seberapa objektif kondisi gangguan jiwa yang didalihkan atas diri para pelaku. Alhasil, wajar ketika kali ini, dalam kasus penganiayaan bahkan rencana pembunuhan berencana terhadap Syekh Ali Jaber, publik cenderung apriori dalam merespons kerja otoritas penegakan hukum. Khalayak seolah sudah hafal bahwa ujung aksi mengerikan yang Tuan AA lakukan hanya akan ‘masuk kotak’ di ruang kerja kepolisian. Ini, pastinya bukan suasana batin masyarakat yang baik bagi sistem peradilan pidana di Tanah Air.

Tidak dijalankannya Pasal 44 ayat 2 pada kasus-kasus terdahulu menyediakan alasan bagi masyarakat luas untuk risau akan keberadaan para pelaku. Andai mereka tidak menjalani perawatan, dikhawatirkan kondisi mereka akan memburuk dan semakin berpotensi mendatangkan bahaya bagi banyak orang.

Pada titik ini muncul keinsafan bahwa membawa pelaku kejahatan yang secara kejiwaan mengalami gangguan sesungguhnya bermanfaat pula bagi dirinya sendiri. Ia dan keluarganya akan memiliki alat tagih kepada negara untuk melaksanakan perintah hakim, yaitu memastikan tersedianya layanan pengobatan bagi kondisi kejiwaannya itu.


Tidak hanya pelaku

Masih dengan dasar berpikir bahwa pelaku penusukan Syekh Ali Jaber ialah Tuan AA yang disebut-sebut mengidap gangguan jiwa. Proses hukum pun semestinya tidak hanya tertuju pada Tuan AA selaku pelaku.

KUHP juga memiliki anak panah lain yang menyasar pihak-pihak yang bertanggung jawab menjaga Tuan AA, yaitu Pasal 491. Pasal ini menyoroti pihak yang bertanggung jawab menjaga pengidap gangguan jiwa, tapi ternyata melakukan kelalaian sehingga si pengidap gangguan kewarasan itu berkeliling tanpa dijaga. Pihak yang lalai itu dapat dikenai sanksi pidana.

Penyelenggaraan proses pidana yang menerapkan Pasal 491 KUHP juga diharapkan akan lebih memenuhi tuntutan publik. Bahwa alim ulama mereka tidak--maaf--mati sia-sia. Bahwa negara tetap berpihak pada korban dengan berupaya maksimal memuliakan harkat dan martabat korban. Itu sekaligus mengedukasi masyarakat agar sama sekali tidak meremehkan kelainan kejiwaan yang diderita sesama.
   Wallahualam.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya