Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Perlukah Komisaris Profesional?

Andi Ilham Said Kepala Pusat Kajian dan Pengembangan PPM Manajemen
22/8/2020 03:05
Perlukah Komisaris Profesional?
(Dok. Pribadi)

BARU-BARU ini terjadi polemik antara Ombudsman dan Kementerian BUMN soal komisaris BUMN. Menurut catatan Ombudsman, dalam rentang 2016-2019, ada 397 komisaris terindikasi rangkap jabatan di BUMN dan 167 komisaris di anak perusahaan BUMN.

“Berdasarkan jabatan, rekam jejak karier, dan pendidikan, ditemukan sebanyak 91 komisaris atau 32% berpotensi konflik kepentingan dan sebanyak 138 komisaris atau 49% tidak sesuai kompetensi teknis dengan BUMN, tempat mereka ditempatkan. Saya juga banyak menerima keluhan dari beberapa komisaris yang kerja sangat serius dan merasa komisaris rangkap jabatan sudah kehadirannya susah, diminta pendapat juga tidak ada,” kata anggota Ombudsman RI Alamsyah.

Selanjutnya, Ombudsman pun meminta presiden menerbitkan peraturan presiden, yang salah satunya mengatur soal sistem penghasilan tunggal bagi komisaris BUMN yang merangkap jabatan.

Menjawab tudingan Ombudsman itu, Kementerian BUMN melalui Arya Sinulingga, Staf Khusus Menteri BUMN, merespons bahwa langkah yang telah ditempuh Ombudsman menunjukkan jika selama ini memang belum ada yang mengatur ketentuan rangkap jabatan, seraya mengingatkan bahwa BUMN sebagai perusahaan milik pemerintah sudah sewajarnya diawasi pemerintah.

Titik temu dari polemik di atas ialah pada harapan adanya komisaris yang menjalankan peran, tugas, dan tanggung jawabnya sesuai dengan ketentuan dan prinsip-prinsip tata kelola amanah. Mengacu pada UU PT No 40 Tahun 2007 disebutkan bahwa dewan komisaris ialah organ perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat kepada direksi.


Kompetensi teruji

Dalam konteks GCG, posisi komisaris ialah sejajar dengan direksi. Direksi mendapat amanah menjalankan organisasi, sedangkan komisaris mengawasi direksi. Keduanya diangkat dan bertanggung jawab langsung kepada RUPS. Prinsip GCG, TARIF (transparant, acountable, responsible, independent, fair) ialah prinsip yang harus ditaati keduanya.

Seseorang yang diberikan amanah untuk menjalankan peran, tugas, dan tanggung jawab tertentu karena memang yang bersangkutan memiliki kompetensi teruji dalam penugasan tersebut, biasanya disebut profesional. Seorang profesional menjalankan pekerjaanya sebagai profesi.

Ciri pekerjaan profesi ialah kerja atau bidang pekerjaan yang memerlukan pendidikan, memahami pengetahuan konseptual yang telah disepakati kelompok profesinya, dan memiliki tanggung jawab etis mandiri dalam pengamalannya. Karena kompetensi dan keahliannya tersebut, seorang profesional dapat memperoleh penghasilan yang layak sehingga dapat bertindak mandiri, bertanggung jawab, bebas dalam melakukan justifi kasi profesional.

Menetapkan komisaris sebagai profesi akan mengurangi kemungkinan terjadinya praktik-praktik menyimpang pada pengangkatan seorang komisaris. Praktik-praktik perkoncoan, balas jasa atas dukungan politik, memberikan penghasilan tambahan bagi aparatur sipil negara dan para pensiunan dalam pengangkatan seorang komisaris.

Jika hal ini bisa dijadikan ketentuan formal, seorang hanya bisa diangkat menjadi komisaris, jika yang bersangkutan telah dididik, dilatih, diuji, dan disertifi kasi kompetensi komisarisnya.

Tentang ASN yang merangkap jabatan, seharusnya juga dapat dihindari karena yang akan jadi komisaris ialah ASN yang betul-betul telah ditetapkan tugasnya oleh negara sebagai seorang komisaris. Seperti seorang pejabat pembuat akta tanah dan juga akuntan publik, mereka diangkat sebagai petugas negara menjadi komisaris BUMN.

Beberapa kemampuan yang dapat dijadikan dasar dalam penetapan kompetensi komisaris ialah pertama memahami dengan baik fungsi, peran, dan tanggung jawab komisaris. Kedua, menguasai proses pengambilan keputusan berlandaskan nilai-nilai etika dan tanggung jawab. Ketiga, memiliki kecerdasan dalam analisis laporan keuangan dan bertekad untuk mengamankan kebenarannya.

Keempat, menghormati hak-hak pemegang saham dan berpartisipasi aktif dalam RUPS. Kelima, cermat mengetahui dan mengelola risiko. Keenam, antusias meningkatkan kinerja pengawasan. Ketujuh, paham dan komit untuk bersikap adil dan objektif dalam sistem remunerasi. Kedelapan, seimbang dan tepat waktu dalam mengungkap informasi penting.

Komisaris yang selama ini terkesan hanya sebagai peran pelengkap dalam organ organisasi, sepatutnya menjadi perhatian bersama karena terbukti banyak pelanggaran yang dilakukan eksekutif (direksi) terjadi karena lemahnya pengawasan komisaris.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya