Headline

Senjata ketiga pemerataan kesejahteraan diluncurkan.

Fokus

Tarif impor 19% membuat harga barang Indonesia jadi lebih mahal di AS.

Menanti 'Lompatan Besar' Kasus Joko Tjandra

Ade Alawi, Head of NRC Media Group News
17/8/2020 14:25
Menanti 'Lompatan Besar' Kasus Joko Tjandra
Ade Alawi(Dok.pribadi)

MENYAMBUT 75 tahun Indonesia merdeka di tengah pandemi covid-19 frasa 'lompatan besar' menyeruak ke ruang publiK. Itu terjadi setelah Presiden Joko Widodo menyerukan ke semua pihak agar menjadikan masa pandemi membuat 'lompatan besar'. 

Kata-kata itu diungkapkan Presiden Jokowi hingga tiga kali dalam pidato kenegaraan RI dalam rangka HUT ke-75 RI pada sidang tahunan MPR RI dan sidang bersama DPR RI dan DPD RI. 

“Saya menyambut hangat seruan moral penuh kearifan dari para ulama, para pemuka agama, dan tokoh-tokoh budaya agar menjadikan momentum musibah pandemi ini sebagai sebuah kebangkitan baru; sekali lagi, kebangkitan baru; untuk melakukan sebuah lompatan besar,” kata Presiden Jokowi penuh semangat di Gedung Nusantara, Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Juat (14/8). 

Selain pidatonya yang menarik perhatian, busana yang dikenakan Presiden RI ke-7 itu tampil tak seperti biasanya menggunakan busana formal seperti halnya digunakan oleh Wakil Presiden Ma’ruf Amin dalam sidang itu. Mantan Gubernur DKI ini menggunakan pakaian adat dari Pulau Sabu, Nusa Tenggara Timur (NTT). 

Busana yang dikenakannya didominasi warna hitam dan emas, mulai dari penutup kepala, kain yang menyilang di dada, hingga yang digunakan sebagai sarung dan sabuk.

Pada kesempatan itu, Jokowi juga menyinggung soal perlunya transformasi besar dengan strategi besar terkait soal hukum selain masalah bidang ekonomi, pemerintahan, sosial, kebudayaan, kesehatan dan pendidikan. Tak pelak, Jokowi menegaskan sikapnya soal pemberantasan korupsi. 

“Pemerintah tidak pernah main-main dengan upaya pemberantasan korupsi. Upaya pencegahan harus ditingkatkan melalui tata kelola yang sederhana, transparan, dan efisien. Hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu,” tandasnya.

Di tengah pengusutan kasus terpidana 2 tahun hak tagih (cessie) Bank Bali sebesar Rp904 miliar, Joko Soegiarto Tjandra, tentu kita berharap pihak Kepolisian RI dan Kejaksaan Agung RI membuat 'lompatan besar'. Artinya, tidak hanya sebatas nama-nama pejabat yang disebut saat ini, seperti eks Kepala Koordinasi dan Pengawasan (Karo Korwas) PPNS Bareskrim Polri Brigjen Prasetijo Utomo, eks Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Irjen Napoleon Bonaparte, dan eks Kepala Sub-Bagian Pemantauan dan Evaluasi II pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan Kejaksaan Agung, Pinangki Sirna Malasari.

Klaster kasus
Kasus Joko Tjandra menganggu akal sehat publik. Betapa tidak, meski berstatus buron, pemilik PT Era Giat Prima ini bisa melenggang mulus bolak balik ke Indonesia dari luar negeri. 

Bahkan, Joko secara administratif bisa membuat paspor, KTP elektronik, dan mendaftarkan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung melalui Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Tak hanya itu, Joko juga mendapatkan 'surat jalan' dan surat keterangan sehat (bebas covid-19) dari Mabes Polri. 

Publik meradang dan gayung pun bersambut. Presiden Joko Widodo memerintahkan Kapolri Jenderal Idham Azis untuk menangkap Joko Tjandra dan mengusutnya hingga tuntas. Kabareskri Polri Komjen Listyo Sigit Prabowo mengatakan pihaknya membagi kasus Joko menjadi beberapa klaster peristiwa. 

Pertama, peristiwa pada 2008-2009. Diduga pada kurun waktu itu diduga terjadi penyalahgunaan wewenang. Kedua, pertemuan Joko, jaksa Pinangki Sirna Malasari dengan kuasa hukum Joko, Anita Kolopaking pada akhir 2019. Pertemuan diduga terkait dengan rencana pengurusan PK Joko ke Mahkamah Agung.

Aroma fulus dari Joko Tjandra pun muncul. Polisi menemukan aliran dana US$20 ribu dalam kasus penghapusan red notice (notifikasi Interpol untuk mencari buronan kejahatan atas permintaan yang menjadi negara anggota). Jaksa Pinangki juga diduga menerima dana US$500 ribu atau sekitar Rp7,4 miliar.

Polri dan Kejaksaan Agung harus memulihkan kepercayaan publik kepada pemerintah dalam agenda pemberantasan korupsi. Masih segar dalam ingatan kasus pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi dan penyiraman air keras terhadap penyidik senior Novel Baswedan.

Dalam kasus penyiraman tersebut, meskipun sudah ada vonis terhadap dua pelakunya dari kesatuan Brimob, publik masih belum yakin keduanya adalah pelakunya sebenarnya. Terlebih majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara tidak berhasil membongkar aktor yang menyuruh kedua polisi itu melakukan tindak kejahatan.

Pengusutan kasus Joko Tjandra oleh Kepolisian dan Kejaksaan Agung harus menjadi momentum menciptakan 'lompatan besar', menguak kasus buron 11 tahun yang fenomenal ini secara tuntas dan terang benderang, bagaimana mafia hukum bekerja, siapa aja aktor utama dan lapangan kasus cilukba-nya Joko Tjandra. Ujungnya adalah hukuman berat dan menjerakan kepada pihak-pihak yang terlibat. Buktikan bahwa negara tidak kalah dengan koruptor. 

Kekuasaan memaksa
Negara diberikan kewenangan penuh untuk mengatur ketertiban, di antaranya tertib hukum. Negara, kata Robert M Macvler sebagaimana dikutip Prof Miriam Budiardjo dalam Dasar-Dasar Ilmu Politik (2019:49), adalah asosiasi yang menyelenggarakan penertiban di dalam suatu masyarakat dengan berdasarkan sistem hukum oleh suatu pemerintahan melalui kekuasaan yang memaksa. Selama 75 tahun kemerdekaan persoalan hukum dan ekonomi menjadi perhatian yang sangat serius dari masyarakat. 

Setidaknya hal itu terungkap dalam survei daring  yang dilakukan News Research Center (NRC) Media Group News terhadap 553 responden dari multiplatform user di Media Group News (Media Indonesia, Metrotvnews.com, Medcom.Id, dan Lampung Post).

Dalam survei dilaksanakan pada 24 Juli-6 Agustus 2020 dengan metodologi non-probability sampling diketahui bahwa hak untuk mendapatkan perlakuan sama di muka hukum dinilai responden tidak adil sebanyak 57,50%. Sementara sisanya, menyatakan adil (24,04%) dan biasa saja (18,44%). 

Masalah hukum juga menjadi sorotan semua narasumber webinar Kemerdekaan yang digelar NRC Media Group News, Selasa (11/8). Mereka yang hadir Menko Polhukam Moh Mahfud MD (keynote speaker), Wakil Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Hariyono, Pakar Komunikasi Politik UPI Bandung Karim Suryadi, Pakar Hukum Tata Negara UGM Zainal Arifin Mochtar, Peneliti Senior INDEF Enny Sri Hartati, dan Kepala Litbang/Supervisor NRC Media Group News Irwansyah. 

Rendahnya hasil survei NRC tentang Refleksi 75 Tahun Peradaban Indonesia di mana prinsip-prinsip dasar berbangsa dan bernegara sesuai Pancasila dan UUD 1945 mengendur, mereka menilai salah satunya disebabkan melemahnya komitmen pada prinsip negara hukum (rechstaat) sesuai Pembukaan UUD 1945. Padahal, hukum adalah alat untuk rekayasa sosial (tool of social engineering). 

Hukum belum menjadi panglima. Sebaliknya politik acapkali menjadi panglima dalam berbagai persoalan yang mengemuka di Tanah Air. Kondisi dipersuram oleh kekuatan oligarkis, baik politik atau pun ekonomi. Dua kekuatan ini saling berkelindan sehingga bisa menentukan 'hitam-putihnya' Republik. 

Berdasarkan definisi dari Oxford English Dictionary, oligarchy a form of government in which only a small group of people hold all the power (suatu bentuk pemerintahan di mana hanya sekelompok kecil orang yang menguasai kekuasaan). 

Bagaimana mengatasi sengkarut oligarki di negeri ini, hal ini bisa diatasi oleh Presiden Jokowi selaku pemegang mandat sistem presidensial dan semua kekuatan politik di Tanah Air, untuk kembali kepada cita Proklamasi Kemerdekaan RI. Sebagaimana di Pembukaan UUD 1945, yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan melaksanakan ketertiban dunia. 

Kembali ke kasus Joko S Tjandra, pengusutan kasusnya di Kepolisian dan Kejaksaan Agung sudah mulai ada titik terang, simpul-simpul kasusnya sudah mulai terjamah. Tinggal kita lihat sejauhmana simpul itu terurai hingga terungkap secara tuntas permainan mafia hukum dalam kasus tersebut. Perkembangan yang menarik dalam kasus Joko Tjandra ini tentu tak lepas dari perintah Presiden Jokowi. Baik Kapolri atau Kabareskrim Polri mengakui hal ini. 

Di satu sisi, perintah Presiden dalam suatu kasus memang terkesan mengintervensi proses hukum, namun jika kasusnya menyita perhatian publik tak ada salahnya untuk memberikan atensi secara khusus. Terlebih dalam kasus korupsi kakap, di mana korupsi adalah kejahatan luar biasa (extra ordinary crime).  

Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan harus memastikan tegaknya keadilan,  kepastian hukum (rechmatigkeit), dan jaminan hukum (doelmatigkeit) di bumi pertiwi. 

Di atas semua itu, pemberantasan kasus korupsi tidak semata-mata diukur dari banyaknya koruptor di penjara, melainkan kesadaran masyarakat dan penyelenggara negara untuk memiliki budaya anti-korupsi. 

Sejatinya, ada tiga variabel yang membuat suksesnya pemberantasan korupsi, pertama komponen substansial (legal substance), komponen struktural (legal structure) dan komponen kultural (legal culture). 

Nah, perkara budaya hukum sangat penting karena bergerak di sektor hulu, misalnya, ormas keagamaan seperti NU, Muhammadiyah, memberikan kesadaran kepada umatnya untuk menjauhi korupsi. Fikih anti-korupsi mesti disemaikan dalam benak umat dengan rujukan sejumlah hadis Nabi saw. Contohnya, “Dan Ibn ‘Umar (diriwayatkan bahwa) ia berkata; Sesungguhnya saya mendengar Rasulullah saw bersabda: Tidak diterima salat tanpa wudhu dan sedekah dari hasil korupsi (ghulul)” (HR. Muslim). 

Begitu pula bila kita menyembunyikan koruptor, sama saja dengan koruptor, sebagaimana Hadis Nabi Saw. “Dari Samurah Ibn Jundub (diriwayatkan bahwa), ia berkata; Adapun selanjutnya, Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa menyembunyikan koruptor, maka ia sama dengannya.” (HR. Abu Dawud dan al Tabarani). 

Terakhir, mari kita menanti pengusutan kasus Joko Tjandra. Bisakah jadi tonggak (milestone) sejarah pemberantasan mafia hukum di Tanah Air. Semuanya berpulang kepada aparat yang mengusutnya, adakah 'lompatan besar' dalam pengusutannya sehingga mampu membalikkan anggapan miring masyarakat. Perlu kiranya dicamkan; hodi mihi cras tibi (ketimpangan atau ketidakadilan yang menyentuh perasaan tetap tersimpan dalam hati nurani rakyat). 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya