Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Di Balik Merebaknya Aksi Massa dan Sensitivitas Masyarakat Papua

Bagong Suyanto Guru Besar Sosiologi FISIP Universitas Airlangga, pernah melakukan penelitian industrialisasi di Papua
20/8/2019 10:05
Di Balik Merebaknya Aksi Massa dan Sensitivitas Masyarakat Papua
Ilustrasi(MI/Tiyok)

AKSI massa pecah di Papua. Di Manokwari, aksi massa berjalan ricuh. Massa bukan hanya memblokade sejumlah jalan utama dan melempar batu, melainkan juga membakar gedung DPRD Papua Barat. Di Sorong, aksi massa yang terjadi merangsek ke Bandara Domine Eduard Osok. Massa memecahkan kaca-kaca di terminal bandara. Sejumlah mobil di area parkir bandara dilaporkan dirusak massa. Di Jayapura, massa menggelar aksi long march menuju kantor gubernur hingga membuat lalu lintas macet total.

Berbeda dengan aksi rusuh di Papua sebelumnya yang dipicu kecemburuan sosial dan intervensi kekuatan militer yang dinilai terlalu represif, aksi massa yang pecah belum lama ini muncul sebagai ekspresi solidaritas rakyat Papua terhadap nasib mahasiswa asal Papua yang sedang kuliah di Surabaya dan Malang, Provinsi Jawa Timur. Tindakan aparat yang dinilai represif, stigma dan pernyataan yang memojokkan mahasiswa asal Papua menyebabkan massa di Papua spontan menggelar aksi unjuk rasa.

Beruntung berkat tindakan sigap aparat, aksi rusuh yang meletup di sejumlah daerah di Papua tidak terus membara. Aksi massa berhasil diredam. Massa pun sepakat mengakhiri aksi mereka ketika ada jaminan keamanan dari sejumlah pejabat dan negara bagi mahasiswa Papua yang berkuliah di Jawa Timur dan kota lainnya.

Rentan terprovokasi
Terlepas apa yang menjadi alasan aparat kepolisian meminta paksa keterangan mahasiswa Papua, dan apakah benar para mahasiswa asal Papua itu terlibat dalam tidakan pelecehan terhadap bendera merah-putih kebanggaan bangsa Indonesia, yang menarik didiskusikan ialah kenapa masyarakat Papua rentan terprovokasi dan cenderung mudah menggelar aksi unjuk rasa hingga rusuh?

Untuk menjawab pertanyaan di atas mau tidak mau kita harus melacak pada masa lalu dan pengalaman traumatik yang dialami masyarakat Papua. Banyak kajian mencatat bahwa industrialisasi dan perubahan sosial yang terjadi di kawasan Papua sebetulnya tidak hanya terjadi setelah diberlakukannya kebijakan otonomi khusus di Papua.

Di era Orde Baru, ketika pemerintah mencanangkan program yang disebut 'kebijakan ke arah Timur', yang bertujuan mendorong investasi di wilayah Indonesia bagian Timur, sejak itu pula arus investasi yang masuk ke wilayah Papua mulai meningkat pesat. Sejumlah perusahaan di bidang perkayuan, perikanan, pertanian, dan pertambangan mulai banyak menyerbu Papua karena potensi sumber daya alam yang menjanjikan.

Di wilayah Papua Barat, misalnya, eksplorasi dan eksploitasi yang terjadi di wilayah perairan akibat pembukaan industri perikanan, dalam beberapa kasus selain menimbulkan perubahan pola produksi nelayan lokal, ternyata juga melahirkan tekanan kemiskinan yang meresahkan. Dilaporkan, sekitar 200 kapal trawler besar yang menyapu Teluk Bintuni sampai ke pinggiran hutan mangrove, bukan saja menyebabkan terjadinya overfishing, melainkan juga menyebabkan nelayan kecil dan nelayan tradisional mengalami proses marginalisasi. Wilayah perairan pantai yang sebelumnya mampu menghidupi dan memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga nelayan tradisional, pelan-pelan makin tidak bersahabat, akibat kegiatan modernisasi perikanan.

Sepanjang kegiatan industrialisasi hanya mengeksploitasi sumber daya alam, serta tidak melakukan reinvestasi bagi pengembangan dan pemberdayaan masyarakat lokal Papua, dapat dipastikan akan terjadi sejumlah perubahan sosial, ekonomi, politik, dan budaya--yang bukan hanya mengancam kelangsungan ekosistem, melainkan juga kelangsungan hidup masyarakat setempat.

Pertama, kehadiran industrialisasi niscaya akan melahirkan pergeseran dan perubahan budaya masyarakat. Sebuah komunitas atau suku yang semula hidup relatif terisolasi, jarang berinteraksi dengan pranata-pranata modern, niscaya mereka cepat atau lambat akan melakukan proses adaptasi--yang sebagian mungkin berhasil, tetapi sebagian yang lain mungkin gagal sehingga terpaksa harus tersisih dari kehidupan baru yang lahir karena dihela industrialisasi.

Kedua, kehadiran industrialisasi acapkali pula melahirkan potensi pergesekan dan bahkan konflik yang sifatnya terbuka karena adanya harapan berlebihan, tidak sesuai dengan kenyataan yang dihadapi di lapangan. Bisa dibayangkan, apa yang bakal terjadi jika di sebuah wilayah yang relatif belum berkembang atau bahkan agak terisolasi seperti di kawasan Papua hadir sebuah perusahaan multinasional dengan seluruh pranata yang dimilikinya.

Pertemuan dua subkultur yang berbeda dalam sebuah proses perubahan sosial dan budaya--terlebih antara kultur dunia industri dan kultur masyarakat lokal, yang acap kali dinilai tidak pararel dengan kepentingan dunia industri--tidak mustahil akan potensial memicu terjadinya pergesekan bila tidak dikelola dengan baik.

Perlakuan bijak
Munculnya aksi massa dan sensitivitas yang mudah pecah di kalangan masyarakat Papua sesungguhnya ialah refleksi dari sikap penolakan terhadap kebijakan pembangunan yang mengabaikan keberadaan masyarakat lokal. Pembangunan yang bersifat sentralistis dan dipaksakan dari atas, bukan hanya melahirkan perubahan pada tradisi, tercabiknya nilai-nilai spiritual, perubahan pada pola mata pencaharian penduduk, melainkan juga menyebabkan terjadinya kesenjangan sosial dan perampasan hak-hak adat masyarakat lokal Papua.

Dalam rangka menuntut kembali hak-hak mereka itulah, di kalangan masyarakat Papua bukan hanya terjadi protes sosial, melainkan juga melahirkan gerakan sosial yang berkepanjangan. Aksi solidaritas massa Papua terhadap nasib mahasiswa Papua di Jawa Timur ialah salah satu bentuk sekaligus bagian dari gerakan masyarakat Papua memperjuangkan nasib mereka.

Meski belakangan ini pemerintahan Jokowi telah menolehkan perhatian dan berkomitmen membangun prasarana dasar yang layak untuk masyarakat Papua, seperti pembangunan jalan trans-Papua. Namun, dalam proses transisi ini potensi-potensi pergesekan bukan tidak mungkin akan tetap muncul. Setelah sekian puluh tahun merasa diabaikan, memang bukan hal yang mudah untuk menahlukkan hati masyarakat Papua.

Memperlakukan mahasiswa asal Papua dengan lebih bijak dan manusiawi ialah salah satu cara kita membayar kekecewaan masyarakat Papua yang sekian lama teralienasi dari pembangunan. Semoga kasus mahasiswa Papua di Jawa Timur ini menjadi pelajaran bagi kita semua untuk lebih bijak menyikapi masalah.

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya