Setia Menganyam di Kampung Prainatang yang Kian Sepi‎

Laus Markus Goti
04/8/2025 13:26
Setia Menganyam di Kampung Prainatang yang Kian Sepi‎
Seorang ibu tua sedang mengayam kerajinan di Kampung Prainatang(Dok. MI)

MUSIM kemarau mulai merayapi Sumba Timur. Angin mengibas alang-alang, dedaunan berguguran, dan savana pun perlahan berubah warna jadi kuning keemasan. Dari kejauhan, Kampung Prainatang berdiri diam di atas bukit kecil.

Begitu melangkah melewati gerbang batu yang tersusun kokoh, suasana masa lalu seolah menyambut. Tidak ada suara anak-anak berlarian. Tidak terdengar teriakan ibu memanggil anak pulang makan. Yang ada hanyalah angin, desir dedaunan, dan sesekali terdengar ayam berkokok.

‎Kampung ini sudah berumur ribuan tahun. Berdiri di Desa Mondu, Kecamatan Kanatang, Prainatang dikenal sebagai salah satu kampung megalitik tertua di Sumba Timur. Namun di balik kemegahan sejarah itu, kehidupan kini nyaris senyap.

Rumah-rumah adat berdiri tinggi dengan atap alang-alang. Kubur batu berbentuk meja tersebar di halaman, menjadi penanda kuat identitas leluhur. Tapi rumah-rumah itu ada yang mulai kosong. Ada yang  bahkan roboh pelan-pelan, ditinggal penghuninya yang memilih mencari penghidupan di tempat lain.

‎“Sudah satu atau dua tahun mereka pergi. Ada yang berkebun jauh, ada yang merantau,” ujar Kawau Wolu Mbaru (75), salah satu tokoh kampung yang masih bertahan, Sabtu (26/7). “Kalau air bersih itu harus jalan jauh. Kalau kami orang tua bisa dua jam.” tambahnya.

‎Benar saja. Air bersih menjadi cerita lama yang belum juga berubah. Warga harus menuruni lembah untuk mendapatkannya. Melelahkan, apalagi bagi mereka yang sudah lanjut usia. Fasilitas dasar termasuk air bersih masih menjadi masalah klasik di Kampung Prainatang.

Di siang hari, Prainatang seperti terlelap. Hanya para orang tua yang masih menganyam di beranda, berharap ada tamu datang membeli. Tidak ada suara anak-anak. Tidak ada kesibukan seperti kampung pada umumnya.

“Yah kami hanya anyam setiap hari, jual ke tamu-tamu yang datang sebagai tanda mata dari kampung Prainatang,” ucap seorang ibu sambil menyusun hasil anyamannya.

‎Sebagai tujuan wisata budaya, Prainatang menyimpan kekayaan tak ternilai. Sayangnya, tak banyak yang tahu. Tidak ada papan nama, tak ada petunjuk arah. Hanya gerbang batu sederhana yang menandai bahwa di baliknya tersimpan sejarah yang panjang.

Dari pusat kota Waingapu, kampung ini hanya berjarak 30 kilometer. Tapi jalan menuju ke sana terasa jauh karena minimnya akses dan perhatian. Kampung ini bukan tidak ingin hidup, tapi terlalu lama dibiarkan berjalan sendiri.

Di tengah keindahan alam dan nilai budaya yang tinggi, Prainatang seperti menanti sesuatu. Mungkin kunjungan. Mungkin perhatian. Mungkin hanya ingin didengar bahwa mereka masih ada. Masih bertahan. Meski sepi.
‎(H-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Putri Rosmalia
Berita Lainnya