Headline

Pengacara Tannos menggunakan segala cara demi menolak ekstradisi ke Indonesia.

Fokus

Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.

Kayuhan untuk Masa Depan: Petualangan Mantan Jurnalis Menembus 2.500 KM demi Sekolah Layak di Pelosok NTT

Alexander P Taum
04/6/2025 13:13
Kayuhan untuk Masa Depan: Petualangan Mantan Jurnalis Menembus 2.500 KM demi Sekolah Layak di Pelosok NTT
Ilustrasi(MI/Alexander P Taum)

SETELAH 15 tahun berkecimpung di dunia televisi, mulai dari reporter hingga produser, Dody Johanjaya memutuskan untuk menukar kamera dengan setang sepeda.

Kini ia menghabiskan hari-harinya sebagai operator petualangan alam, merancang perjalanan outbound untuk perusahaan dan sekolah. Tapi di balik petualangan profesionalnya, ada hasrat lama yang tak pernah padam, bersepeda jarak jauh dan memberi dampak sosial.

Kecintaan Dody pada sepeda bermula di masa kecil. Saat teman-temannya memilih motor, ia justru meminta sepeda balap karena terinspirasi oleh Tour de Java yang sering melintas di depan rumahnya di Cirebon, Jawa Barat. Sempat terhenti karena kuliah dan karier, gairah itu kembali menyala saat pandemi. Di 2022, ia membawa sepeda lipatnya ke Lembata, Nusa Tenggara Timur (NTT). Di sana, ia menyaksikan langsung ketimpangan yang memilukan: anak-anak bersekolah tanpa alas kaki, bangunan yang reyot dan keterbatasan fasilitas.

"Saya enggak bisa diam. Harus ada yang saya lakukan," ujarnya. Inspirasi datang saat mengawali petualangan Devi, pegiat Run for Equality yang bersepeda untuk air bersih di NTT dengan rute dari Jakarta ke Bali. Dody lantas berpikir, "Kenapa nggak saya lakukan hal serupa untuk pendidikan di Lembata?"

Pikiran itu akhirnya mengkristal menjadi proyek sosial pertamanya yang berkolaborasi dengan Yayasan Plan International Indonesia (Plan Indonesia). Kisah tentang sebuah madrasah di Desa Wowong, Lembata sampai ke telinga Dody. Terinspirasi oleh semangat warga, ia memutuskan untuk bertindak. Pada 31 Mei 2025, ia akan memulai perjalanan epik: bersepeda sejauh 2.500 km dari Jakarta hingga Lembata.

Setiap kayuhan rodanya adalah upaya menggalang dana untuk merenovasi sekolah tersebut agar lebih layak bagi anak-anak. Ini bukan sekadar long ride. Untuk Dody, perjalanan ini adalah pertama kalinya ia menggabungkan hobi ekstrem dengan misi kemanusiaan. Rutenya menantang: Jakarta-Banyuwangi-Bali-Labuan Bajo-Lembata, menempuh 200–300 km per hari dengan target tiba dalam 20 hari. Persiapannya ketat. Mulai dari latihan 500–600 km/minggu termasuk simulasi Jakarta-Jogja dengan membawa seluruh perlengkapan. Ia pun hanya berbekal biaya operasional minimalis. Oleh karena itu Dody memilih solo riding untuk efisiensi, meski harus bertaruh dengan kelelahan.

"Ini ujian terbesar. Tapi bayangkan senyum anak-anak Lembata demi pendidikan yang setara. Itu bahan bakar terbaik," katanya.

Target penggalangan dana Rp100 juta demi perbaikan madrasah di Lembata masih jauh dari tercapai (baru terkumpul 25 persen), tapi Dody tak gentar.

“Saya tidak berharap banyak. Yang penting saya sudah berusaha, dan semoga usaha ini bisa berdampak. Sekolah nanti yang akan mengelola dana itu sebaik mungkin. Tugas saya adalah bergerak, dan itulah yang akan saya lakukan,” ujarnya.

Dari layar kaca ke jalur berdebu sepanjang ribuan kilometer, ia membuktikan bahwa perjalanan hidup bisa berubah arah, tapi tetap bermakna. Dan kadang, yang paling bermakna justru adalah langkah, atau kayuhan yang kita ambil untuk orang lain. Kondisi Sekolah di Lembata, NTT

Di pulau Lembata, NTT, banyak anak lulusan SD yang nasib pendidikannya terancam. Tidak ada sekolah menengah di desa mereka dan jarak yang jauh membuat orang tua ragu melepas anaknya pergi. Tahun lalu, warga sebuah desa di Lembata memutuskan untuk bertindak sendiri. Dengan swadaya, mereka mendirikan Madrasah Tsanawiyah (MTs) setara SMP. Bangunannya seadanya: bambu untuk dinding, papan bekas untuk meja, dan atap yang tak selalu mampu menahan terik matahari atau hujan. Tapi dari sekolah darurat ini, harapan tumbuh. Awalnya, hanya anak-anak Wowong yang bersekolah di sini. Kini, murid-murid dari desa tetangga mulai berdatangan.

Setiap pagi, puluhan anak berjalan kaki melintasi bukit, seragam mereka mungkin sudah lusuh, tapi mata mereka tetap berbinar.

Namun, masalah baru muncul: ruangan tak lagi cukup. Beberapa kelas harus bergantian menggunakan ruangan yang sama. Saat hujan, pembelajaran sering terhenti karena atap bocor.
Kepala Desa Wowong, Jubir Latif, menatap bangunan sekolah sederhana itu. Dinding bambu yang mulai lapuk, atap yang bocor ketika hujan, dan ruang kelas sempit yang harus menampung puluhan anak. Tapi di mata pria paruh baya itu, bangunan darurat ini adalah sebuah benteng terakhir.

"Kalau kami tidak mendirikan MTs ini, anak-anak di sini akan putus sekolah. Mereka harus berjalan puluhan kilometer ke desa lain, atau berhenti belajar sama sekali," ujarnya, suaranya bergetar antara haru dan tekad. (PT/E-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Putri yuliani
Berita Lainnya