Headline

Tingkat kemiskinan versi Bank Dunia semakin menjauh dari penghitungan pemerintah.

Fokus

Perluasan areal preservasi diikuti dengan keharusan bagi setiap pemegang hak untuk melepaskan hak atas tanah mereka.

Pakar Geodesi UGM Sanggah Pagar Laut adalah Daratan pada Masa Lalu

Ardi Teresti
30/1/2025 14:27
Pakar Geodesi UGM Sanggah Pagar Laut adalah Daratan pada Masa Lalu
Pagar laut di Tangeran, Banten.(Antara)

POLEMIK terkait pagar laut di Tangerang, Banten, terus bergulir. Dosen Teknik Geodesi UGM, I Made Andi Arsana, menyampaikan beberapa sanggahan terkait beberapa klaim atas pagar laut tersebut.
 
Ia pun menolak adanya klaim bahwa kawasan tersebut adalah daratan pada masa lalu.

"Berdasarkan peta dengan menggunakan Citra Sentinel 2, pemasangan pagar laut dilakukan secara bertahap, pada Juni pagar laut yang terpasang 6,93 kilometer, Juli 2024 bertambah 8,17 kilometer, Agustus 2024 bertambah 7,35 kilometer, dan September 2024 bertambah 7,62 kilometer," ungkap dia dalam Sekolah Wartawan UGM di Gedung Pusat UGM, Kamis (30/1).

Made Arsana juga membantah terkait adanya klaim pernah ada daratan di tempat di daerah yang dikapling-kapling untuk menjadi pagar laut. Pasalnya, sejak tahun 1976 tidak pernah ada perubahan daratan menjadi lautan yang signifikan di wilayah tersebut. Hal itu dibuktikan dengan tidak adanya perubahan garis pantai yang signifikan.

"Ketika kami lakukan kajian (dari arsip citra satelit), tidak pernah ada daratan di situ. Citra satelit kami teliti sejak tahun 1976," papar dia.

Hal itu sekaligus untuk menjawab terkait pertanyaan tentang apakah pagar laut untuk reklamasi? Pasalnya, ada pihak yang melakukan klaim bahwa kawasan tersebut adalah daratan di masa lalu dan adanya permintaan perubahan batas wilayah laut. Selain itu, juga adanya usaha untuk mengubah laut jadi darat.

Ia pun menegaskan, perlunya investigasi legal dan fisik atau geospasial untuk menjawab pertanyaan tersebut.
 
Made Arsana juga menyampaikan, potensi asal usul masalah ada pada empat hal. Pertama, kesalahan atau manipulasi di awal yang bisa dilakukan dari kesalahan pemohon dan kesalahan lurah. Kedua, kesalahan pengukuran lapangan bisa dari teknologi dan prosedur yang tidak sesuai serta manipulasi oleh oknum.

Ketiga, penyalahgunaan wewenang seperti sertifikat tetap terbit meski tidak sah atau terjadi transaksi illegal. Keempat, tumpang tindih regulasi atau celah hukum bisa berupa perubahan tata ruang tanpa publikasi atau memanfaatkan celah hukum untuk mengubah status tanah.
 
Hal ini diduga mungkin terjadi dengan melibatkan banyak pihak, mulai dari pemohon individu/badan hukum/masyarakat adat, kantor pertanahan (BPN), kelurahan/desa, dan kecamatan, Dinas Tata Ruang/pemerintah daerah, petugas ukur BPN atau surveyor swasta, ataupun kementerian/ lembaga terkait.

Atas persoalan pagar laut di Tangerang tersebut, ia pun menyimpulkan tiga hal. Pertama, berdasarkan United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS), perairan kepulauan sama dengan kedaulatan negara, tetapi tidak bisa dimiliki oleh individu atau perusahaan.

“Kedua, pagar laut di Tangerang berada di perairan kepulauan, atau tidak ada SHM dan HGB,” kata dia.

Ia juga menyampaikan, ada indikasi usaha konversi laut menjadi daratan dengan berbagai cara. Permasalahan ini perlu diseselesaikan secara kritis dengan berbasis legal dan geopasial. (AT/J-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Putri yuliani
Berita Lainnya