KETUA Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) Kabupaten Jayapura Pendeta Alberth Yoku menilai Provinsi Papua selama ini menyandang predikat buruk di tingkat nasional. Mantan Ketua Sinode GKI di tanah Papua ini menyebut beberapa di antaranya provinsi termiskin, provinsi dengan tingkat rasa kebahagiaan terendah, provinsi dengan pelayanan publik yang good governance-nya sangat buruk, dan provinsi dengan kasus-kasus korupsi yang besar.
Karena itu, Pendeta Alberth berharap agar provinsi yang dipimpin gubernur dua periode, Lukas Enembe, ini ke depan tidak lagi terjerumus dalam persoalan-persoalan yang sama. "Pandangan saya tentang keberadaan kami di Provinsi Papua, provinsi induk sebelum dimekarkan, yang pertama provinsi ini dalam penilaian oleh negara masih jauh dari yang diharapkan. Dari nilai-nilai yang diberikan oleh negara secara nyata seperti itu. De facto-nya ada. Karenanya, sangat penting pembangunan mentalitas dan tata cara kerja pribadi maupun kelompok orang yang memimpin di Provinsi Papua agar berkaca pada soal ini," kata Pendeta Alberth Yoku di Jayapura, Selasa (22/11).
Dengan predikat seperti itu, Pendeta Alberth menilai langkah-langkah yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menetapkan Gubernur Papua Lukas Enembe sebagai tersangka, dan mungkin juga orang-orang lain setelah Lukas, sudah sangat tepat dan patut terus didukung. "Jadi yang terjadi dengan Bapak Gubernur Lukas Enembe dan mungkin juga yang lain-lain akan terikutkan misalnya, itu harus dilihat dari sisi nilai yang mau kita capai. Kita mau provinsi kita ini menjadi baik. Jadi kalau ada kedapatan penyelenggaraan pemerintahan, penyelenggaraan keuangan negara yang tujuannya pembangunan dan kesejahteraan itu diselewengkan, yang bersangkutan memang harus mempertanggungjawabkannya karena itu bukan uang milik pribadi tetapi milik rakyat banyak," tegas Pendeta Alberth.
Untuk mereduksi potensi penyimpangan keuangan negara dimaksud, tokoh gereja yang juga Ketua Forum Masyarakat Adat Tabi itu meminta kepada lembaga antirasuah Indonesia untuk melibatkan para pemuka adat dan tokoh agama di Papua untuk ikut mengawasi proyek pembangunan di wilayah mereka. Selama ini pelibatan secara informal sudah ada, tetapi hal itu baru sebatas menghadirkan tokoh-tokoh agama, ondofolo/ondoafi, atau kepala suku dalam ritual mengawali pembangunan suatu proyek tertentu. "Contoh setiap kali ada suatu bangunan yang mau dibangun, itu kan selalu ada ritual keagamaan dan ritual adat. Tanggung jawab kita hanya pada batas itu," sebut Pendeta Alberth.
Namun, lanjutnya, pelibatan bisa dilakukan secara lebih strategis. Misalnya menjadikan tokoh pemuka agama dan tokoh adat sebagai mitra strategis KPK dalam mencegah potensi penyimpangan atau dalam pengusutan dan penyelidikan kasus penyimpangan keuangan negara yang telah terjadi melalui pembangunan proyek dimaksud. "Jadi misalnya Bapak Lukas kan umat kita. Dia tahu bahwa ada sesuatu (proyek pembangunan) yang dilakukan waktu itu serta orang adat dan orang gereja juga hadir. Misalnya ada proyek jalan, pembangunan gedung, jadi minimal kita dapat menopang dia dengan hal yang kita tahu, data-data, dan sebagainya. Sebenarnya kita juga siap begitu. Itu kan tokoh agama harus bicara jujur. Dengan kejujuran itu kita bisa membantu proses yang sedang terjadi bagi umat kita sehingga bisa berjalan lancar dan bisa selesai," saran Pendeta Alberth.
Pendeta Alberth Yoku juga menyinggung praktik pelibatan tokoh adat dan pemuka agama yang terjadi selama ini di Papua. Mereka sering hanya dilibatkan di awal kegiatan pembangunan oleh para pelaksana proyek untuk mendapatkan restu. Setelah itu, mereka ditinggalkan. "Jika ada korupsi atau pemeriksaan terhadap bukti-bukti dari sesuatu (proyek pembangunan) yang sudah dilakukan, sebenarnya kami juga bisa dimintai keterangan tentang fakta, sejarah, kapan. Kami juga bisa memberi tahu bahwa (proyek) ini betul waktu itu sudah dilakukan, kan biasanya kita ditinggalkan," kata Pendeta Alberth.
Kepada semua stakeholders, Pendeta Alberth Yoku berpesan agar sama-sama memiliki kepedulian yang sama dalam memajukan berbagai aspek pembangunan di tanah Papua. Apalagi Papua kini sudah menjadi enam provinsi sehingga seluruh pekerjaan harus harus tetap berjalan pada koridor yang berlaku serta menghormati berbagai peraturan perundang-undangan, mekanisme, dan prosedur. "Jadi, mari kita menjaga provinsi-provinsi baru ini untuk keluar dari nilai-nilai buruk yang selalu ada. Jadi kalau misalnya Papua terus dikatakan sebagai provinsi-provinsi yang punya nilai korupsi tertinggi, provinsi baru ini sucikanlah dirimu, berlakulah dengan perjalanan yang mulus dan baru. Pada prinsipnya godaan dan masalah tidak pernah lepas dari kita, tetapi manusia ini kan diberi akal, pikiran, hikmat, karisma, kebijakan, kebijaksanaan oleh Tuhan untuk dapat menimbang yang buruk mana yang baik, yang salah mana yang benar. Dengan cara itu, saudara-saudara kita yang memimpin provinsi-provinsi baru bisa menjauhkan diri dari korupsi," tutup Pendeta Alberth Yoku. (OL-14)