Perempuan NTT Perlu Dilibatkan Dalam Merespon Perubahan Iklim

Palce Amalo
20/8/2022 16:58
Perempuan NTT Perlu Dilibatkan Dalam Merespon Perubahan Iklim
Icraf bersama Pemprov NTT menggelar FGD bertajuk PerubahanIklim dan Pemberdayaan Perempuan di NTT di Kupang, Jumat (19/8).(MI/Palce Amalo)

PEREMPUAN di Nusa Tenggara Timur (NTT) dinilai belum diberikan akses yang luas dalam merespon dampak perubahan iklim. Dalam banyak kasus, perempuan tidak memiliki akses dan kontrol dalam proses pengambilan keputusan yang dilakukan oeh masyarakat, yang membuat perempuan tidak dapat berkontribusi secara penuh dalam perencanaan menghadapi perubahan iklim, pembuatan kebijakan, dan implementasi.

Pegiat Perempuan, Ewaldina Soro dari Yayasan Pikul Kupang mengatakan perempuan di desa sangat peduli dengan lingkungan sekitarnya, tetapi dalam diskusi merespon perubahan iklim, perempuan jarang dilibatkan.

"Meskipun diundang ikut dalam diskusi, pendapat mereka dipatahkan karena orang berpikir dia ibu rumah tangga dan tidak punya pengalaman soal adaptasi dan mitigasi bencana," katanya di Kupang, Sabtu (20/8).

Menurut Ewaldina, dalam keseharian perempuan memiliki pengalaman seperti mengakses hutan dan bertanam. Perempuan yang tinggal di pesisir pantai juga memperhatikan kondisi seperti itu. "Sebenarnya perempuan NTT mampu dan tahu apa yang seharusnya tindakan adaptasi yang dibuat. Tapi belum banyak yang diangkat dan diakomodir," tambah Ewaldina

Sementara itu, dalam Focus Group Discussion (FGD) bertajuk Perubahan Iklim dan Pemberdayaan Perempuan di NTT di Kupang, Jumat (19/8) terungkap umumnya perempuan masih diasosiasikan dengan pekerjaan rumah tangga dan reproduktif seperti melahirkan dan mengasuh anak, mengurus rumah, dan mengambil air.

Selain itu, perempuan biasanya ikut serta dalam pekerjaan produktif tidak dibayar untuk membantu di hutan dan ladang laporan PBB, di seluruh dunia, perempuan bergantung pada sumber daya alam (SDA), namun memiliki sedikit akses akan SDA tesebut.

Perubahan iklim memberikan dampak berbeda terhadap perempuan yang secara konsisten dirugikan dalam dukungan kelembagaan berupa penyuluhan, penyeberan informasi dan dukungan lainnya. Adapun diskusi terfokus tersebut digelar Kementerian PPPA bersama World Agroforestry (ICRAF) Sustainable Landscapes for Climate-Resilient Livelihoods in Indonesia (Land4Lives), Pemprov NTT dan pemerhati gender di Kota Kupang.

Kesetaraan Gender

Sekretaris Daerah NTT Domu Warandoy menilai perubahan iklim memiliki korelasi yang serat dengan kesetaraan gender. "Khususnya dengan peran perempuan masa kini yang tidak hanya memegang tanggungjawab sebagai penyedia kebutuhan domestik keluarga, tetapi semakin banyak yang memiliki peran sosial di luar rumah," ungkapnya.

Domu mengatakan dampak perubahan iklim telah dirasakan hampir di seluruh belahan bumi. Partisipasi masyarakat khususnya perempuan dalam mitigasi dan adaptasi sangat dibutuhkan dalam prakteknya.

Ia mencontohkan saat ini perempuan mendapat tambahan beban dari perubahan iklim ketika mereka harus berjalan lebih jauh lagi untuk mendapatkan air bersih untuk kebutuhan domestik. Namun sayangnya, posisi perempuan masih dipandang sebelah mata. Karena itu, Pemerintah NTT berkomitmen untuk menjawab tantangan dalam upaya pengarustamaan gender yang diharapkan akan mendorong peran perempuan dalam adaptasi perubahan iklim.

"Data menunjukkan Indeks Pemberdayaan Gender NTT memang masih di bawah  rata-rata angka nasional, yaitu 74.53 pada 2021," ujar dia.

Sedangkan, secara global telah diakui bahwa perempuan termasuk kelompok rentan yang paling terdampak oleh perubahan iklim, namun di sisi lain perempuan juga memegang peranan kunci dalam aksi mitigasi dan adaprasi dampak krisis tersebut. Oleh karena itu peningkatan peran dan kapasitas perempuan dalam merespon perubahan iklim menjadi sangat penting, khususnya di Provinsi Nusa Tenggara Timur, di mana frekuensi bencana  hidrometeorologis cukup tinggi.

"Data 60 tahun terakhir mencatat NTT sudah mengalami kuang lebih 652 kejadian bencana, 75 persen di antaranya adalah bencana hidrometeorologis, seperti banjir, kekeringan, kebakaran hutan dan lahan  (karhutla), angin topan, gelombang esktrim, dan sebagainya," ujar dia.

Peneliti senior World Agroforestry (ICRAF) Indonesia  Feri Johana yang juga salah satu koordinator untuk paket kerja Land4Lives, menyampaikan ICRAF Indonesia adalah lembaga penelitian yang bergerak di berbagai aspek pembangunan berkelanjutan dan perubahan iklim, termasuk di dalamnya penerapan agroforestri dan pemberdayaan masyarakat dan khususnya perempuan dalam konteks penguatan penghidupan berketahanan iklim.

"Kami akan sangat senang jika diberi kesempatan untuk bergandeng tangan bersama-sama memajukan perempuan di NTT. Bersama Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A)  kami menginisiasi proses ini, menyamakan persepsi lalu menyusun tindak lanjut supaya kegiatan kami makin terarah," kata Feri.

Feri berharap dengan kerja sama ini kegiatan pengarustamaan gender makin nyata dan produk legislasi yang peka gender akan mendapatkan perhatian lebih sehingga bisa masuk dalam perencanaan pembangunan dan penganggaran daerah.

Proyek Sustainable Landscapes for Climate-Resilient Livelihoods (Land4Lives) yang dilaksanakan oleh ICRAF adalah proyek riset aksi kerja sama antara Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Perencanaan Pembangunan (PPN)/Bappenas dan Pemerintah Kanada melalui Global Affairs Canada. Proyek ini berlangsung hingga 2026 di tiga provinsi, yaitu Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Timur, yang mendukung upaya pemerintah Indonesia untuk mencapai prioritas pembangunan nasional dalam menciptakan penghidupan berketahanan iklim dan ketahanan pangan untuk masyarakat rentan, khususnya perempuan dan anak perempuan di Indonesia. (OL-15)

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Widhoroso
Berita Lainnya