Headline

Kemenu RI menaikkan status di KBRI Teheran menjadi siaga 1.

Fokus

PSG masih ingin menambah jumlah pemain muda.

Kasus Pidana Kekerasan Seksual Jadi Momentum RUU TPKS segera Disahkan

Bayu Anggoro
13/12/2021 23:50
Kasus Pidana Kekerasan Seksual Jadi Momentum RUU TPKS segera Disahkan
Anggota DPR RI dari Fraksi NasDem Muhammad Farhan(MI/BAYU ANGGORO)


KASUS pidana kekerasan seksual oleh seorang guru boarding school di Bandung, Jawa Barat, terhadap 12 murid perempuannya hingga melahirkan menyakitkan publik.

Tak hanya Bandung, kasus pencabulan juga terungkap di Cilacap, Jawa Tengah.  Seorang guru Agama meruda paksa 15 siswi.

Menyikapi hal itu, Anggota Komisi 1 DPR RI dari Fraksi NasDem, Muhammad
Farhan, menilai, para pelaku harus dijerat maksimal hingga kebiri untuk memutus mata rantai potensi pelecehan. Mereka juga harus
dibatasi mobilitas fisik dan mobilitas sosialnya. Pasalnya, dampak
perbuatan bejat pelaku merusak kondisi sosial para korban.

"Pelaku kejahatan kekerasan seksual harus menanggung beban jangka
panjang, sebagai bentuk pertanggungjawaban jawaban sosial, karena korban  kejahatan kekerasan seksual harus menanggung dampak jangka panjang," ujar Farhan, Senin (13/12).

Kasus asusila di Bandung pun kini disorot publik dengan tuntutan pengadilan memberi hukuman berat pada pelakunya.

"Memang sangat memprihatinkan. Tetapi sebelum kita menyoroti dengan amarah menggunung, kita sadari dulu bahwa kejahatan pidana itu tanggung jawab pribadi, bukan lembaga," ujarnya.

Dengan kejadian tersebut, Farhan menilai, jadi momentum untuk segera
mengesahkan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). "Jadi momentum
ini menjadi pas dengan upaya mempercepat pengesahan RUU TPKS karena akan menumbuhkan kesadaran hukum dalam pikiran kita, secara proporsional."
 
Pihak yang perlu dihakimi, lanjut dia, adalah pelaku, bukan pesantren nya.

Lalu bagaimana tanggung jawab lembaga tersebut? "Dalam RUU TPKS ada pasal pemulihan korban, yang programnya melibatkan lembaga tempat kejadian, dalam hal ini pesantren tersebut," terangnya.

Artinya kesadaran hukum masyarakat sudah meningkat dan tidak ada alasan
lagi menunda pengesahan RUU TPKS.

Farhan juga menekankan pemerintah daerah seharusnya hadir memberi perlindungan kepada para korban dengan intensif.

"Perlu kita apresiasi upaya DP3AKB Provinsi Jabar7 dan ibu Atalia Kamil
yang gerak cepat memberi perlindungan dan pemulihan korban, bahkan jauh sebelum kasus ini diangkat di media sosial. Perlindungan
psikologis dan pemenuhan kesehatan ibu dan anak, termasuk yang masih di kandungan maupun yang sudah lahir menjadi prioritas utama," katanya.

Kemudian, lanjut Farhan, pemenuhan hak korban sebagai anak, baik kepada
sang ibu yang masih usia anak-anak, termasuk anak-anak yang dikandung
dan yang sudah lahir.

"Saya mengajak semua pihak, jika ingin membantu para korban, kita kolaborasi dengan DP3AKB Provinsi Jabar. Hindari politisasi kasus ini, apalagi sampai dihubungkan dengan Pilpres 2024. Sangat tidak manusiawi," terangnya.

Farhan menilai, dari semua pemberatan hukuman, mulai penjara sampai
kebiri kimia, ada satu hal yang belum diberlakukan yaitu pembinaan dan
rehabilitasi bagi pelaku setelah menjalani hukuman.

"Rehabilitasi dan Pembinaan kepada pelaku, akan memberi ketentuan pembatasan mobilitas fisik dan mobilitas sosial pelaku. Tujuannya untuk memberikan efek jera, bahwa perilaku kekerasan seksual akan membawa dampak jangka panjang kepada kehidupan para pelaku tersebut," tambah Farhan.

Sayangnya, lanjut dia, pidana kekerasan seksual bukan masuk kategori extraordinary crime, sehingga tidak bisa berlaku surut. "Akibatnya perilaku kejahatan  kekerasan seksual tidak bisa diusut sampai ke tindakan sang pelaku di masa lalu," tandasnya. (N-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : NUSANTARA
Berita Lainnya