Headline

AS ikut campur, Iran menyatakan siap tutup Selat Hormuz.

Fokus

Tren kebakaran di Jakarta menunjukkan dinamika yang cukup signifikan.

Guru Honorer di Tasikmalaya Hidupi Keluarga Sambil Bekerja jadi Kuli

Kristiadi
15/9/2021 19:05
Guru Honorer di Tasikmalaya Hidupi Keluarga Sambil Bekerja jadi Kuli
Sutardi, 58, guru honorer di pedalaman Tasikmalaya.(MI/Kristiadi)

SUTARDI, 58, warga Kampung Legok Ngenang, Desa Ciroyom, Kecamatan Bojonggambir, Kabupaten Tasikmalaya, seorang guru honorer di SDN Timuhegar masih tetap bersemangat mendidik anak-anak meski usianya itu hampir berkepala enam. Pengabdiannya di sekolah, tetap berjuang untuk anak-anaknya agar mereka bisa membaca dan menulis.

Sosok guru honorer pengajar mata pelajaran agama maupun pelajaran umum tetap semangat memberikan materi pelajaran kepada anak didiknya. Namun, banyak juga rintangan yang dihadapinya ketika berangkat menuju ke sekolah. Apalagi dengan kondisi jalan rusak, motor sering mogok di tengah perjalanan, putus rantai. Kendala itu tidak mampu menyurutkan semangat untuk menghidupi keluarganya dan mengajar para muridnya.

Pada seleksi penerimaan calon pegawai negeri sipil melalui pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) di Kabupaten Tasikmalaya, terdapat banyak tenaga honorer yang berusia di atas 45 yang ikut bersaing. Mereka bersaing untuk memperebutkan kuota 984 yang dibutuhkan pemerintah daerah. Pada seleksi penerimaan pengawai yang dilakukan di Kabupaten Tasikmalaya, pesertanya berjumlah 3.614 orang.

Ribuan guru honorer yang masih muda harus bersaing dengan usia 45 tahun ke atas yang selama ini belum diangkat menjadi PNS. Mereka pun harus tetap mengikuti tahapan seleksi yang telah dibuka pemerintah pusat. 

Guru honorer yang berada di daerah terpencil di Kecamatan Bojonggambir memang menghadapi banyak rintangan saat menunaikan tugas mereka. Mulai dari berjalan kaki, motor mogok, kehabisan bensin, rantai putus, dan gembos ban. Seperti yang dihadapi seorang guru honorer SD Timuhegar yang telah mengabdi sejak 2003.

Sutardi mengatakan, dirinya sudah puluhan tahun harus banting tulang untuk menghidupi keluarga dengan mendidik siswa sambil mencari dana tambahan lain. Yaitu dengan bekerja sebagai penjahit pakaian, mencangkul dan memangkas rumput. Karena, upah sebesar Rp250 ribu per bulan tidak cukup untuk memenuhi nafkah keluarga.

"Kami sudah 18 tahun mengajar anak-anak di SDN Timuhegar dengan mata pelajaran umum mulai pendidikan Agama, Bahasa Indonesia, Matematika, dan lainnya sejak 2003 lalu. Harus bangun subuh dan baru berangkat pukul 06.00 WIB dengan jalan kaki sejauh 10 kilometer sampai di sekolah. Akan tetapi, kondisi jalan turun menurun dan rusak berat tidak menjadi halangan bagi masyarakat lainnya termasuk para guru pengajar," katanya, Rabu (15/9/2021).

Sutardi mengatakan, selama menjadi tenaga honorer di sekolah, berbagai upaya dilakukan agar pemerintah daerah mengangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Tapi tidak terwujud karena alasan umur, administrasi kurang, dan lainnya. Banyaknya alasan tersebut membuat tenaga honorer seperti Sutardi harus pasrah dan terus berjuang demi menghidupi keluarga, anak.

"Kami sebagai guru honorer memang tanpa batas memberikan pendidikan mata pelajaran umum bagi anak-anak didik SD kelas 5 supaya mereka bisa mampu membaca, menulis dan membaca Alquran tetapi memang selama ini banyak rintangan harus dilalui menggunakan sepeda motor sering kali mogok dan gembos ban hingga rante putus. Akan tetapi, mendidik anak di sekolah tetap harus dilakukan secara sukarela agar mereka bisa menjadi penerus masa depan bangsa," ujarnya.

Pekerjaan menjadi guru honorer yang selama ini dilakukan 18 tahun mengabdi di sekolah itu harus dinikmatinya meski bayaran kecil tetapi bagi anak didik harus bisa membaca, menulis dan fasih membaca Alquran. Karena, sejauh ini memang masih banyak guru honorer yang ada di daerahnya sudah mengabdi 15 sampai 20 tahun belum diangkat menjadi PNS sampai sebagian guru telah pensiun dan sekarang ini tidak ada perhatian dari pemerintah daerah.

"Pendapatan bagi para guru honorer didapat dari biaya operasional sekolah (BOS) di mana uang tersebut disisihkan termasuk dari para pegawai negeri sipil (PNS) melakukan urunan secara sukarela. Namun, pembayaran tersebut memang setiap bulannya itu tidak terpenuhi untuk keluarga hingga kami berupaya banting tulang mencari tambahan dengan melakukan pendidikan mengajar mengaji, baca Alquran dan itu dilakukannya sampai pukul 23.00 WIB," paparnya.

Menurutnya, seleksi penerimaan calon ASN melalui pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) yang digulirkan oleh pemerintah tidak adil bagi guru honorer berusia tua. Karena harus bersaing dengan anak muda. Seharusnya yang usia tua langsung saja diberikan SK pengangkatan ASN-PPPK. Karena, memang jam terbangnya usia tua sudah mempuni terutamanya di dalam kelas cara mendidik anak-anaknya.

Sementara itu, Ketua Yayasan Forum Peduli Pendidikan Kabupaten Tasikmalaya, Cucu Rasman mengatakan, pemerintah pusat telah mengeluarkan kebijakan yang prioritas dalam melaksanakan peneriman calon aparatur sipil negara (ASN) melalui pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK). Akan tetapi, dalam prioritas memang bagi usia di atas 40 tahun menjadi tenaga honorer jelas mereka akan kalah bersaing dengan calon termuda.

"Di Kabupaten Tasikmalaya selama ini banyak guru honorer yang telah mengabdi 15 sampai 20 tahun dan usia mereka rata-rata 45 ke atas jumlahnya mencapai 25%. Guru honorer yang tua akan bersaing dengan para pendaftar usianya masih muda, tapi seleksi ASN melalui PPPK sangat tidak adil bagi mereka terutama harus mengikuti tahapan seleksi," tuturnya. (AD/OL-10)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Denny parsaulian
Berita Lainnya