PEREDARAN elektronik dan kosmetik murah ilegal diprediksi marak
kembali. Penjualan barang yang harganya di bawah harga pasar ini
sangat merugikan negara.
Ketua Umum Aliansi Pemerhati Hukum Indonesia (APHI), Ahmad Rifai,
menilai, peredaran barang ilegal akan kembali marak di masyarakat. Salah satunya karena bebasnya seorang penjual barang-barang ilegal dalam jumlah yang besar.
"Ada seorang bos yang menguasai peredaran barang-barang murah di bawah
harga pasar. Sempat diperiksa karena dianggap merugikan negara, sang pengusaha bebas dan kembali berbisnis," katanya, Selasa (24/8).
Bebasnya tokoh tersebut dari jeratan hukum dinilai tidak tepat. dia seharusnya tidak lolos dari jeratan hukum karena yang bersangkutan
jelas dan terbukti.
"Sesuai barang yang dirampas oleh Bea Cukai, dia menjual ponsel ilegal
berbagai merek atau black market. Seharusnya, yang diperbuat PS jelas
memiliki konsekuensi hukum, yakni telah melanggar UU No.17 /2006 tentang Kepabean terutama Pasal 103 huruf (d) sebagaimana juga dimaksud Pasal 102, dengan ancaman paling lama 8 tahun kurungan penjaran dan/atau denda paling tinggi Rp5 miliar. Regulasi ini merupakan perubahan dari UU RI No.10/1995," ujarnya.
Kasus ini seharusnya menjadi pintu masuk bagi penegak hukum untuk
memberantas barang ilegal yang kian hari mengkhawatirkan, bukan malah
mlempem.
Sang bos, lanjut dia, secara terbuka mengakui perbuatannya dan kooperatif terhadap penyelidikan yang dilakukan oleh Bea Cukai Kanwil Jakarta, dan juga sudah menyita barang buktinya.
"Namun anehnya Bea Cukai tidak mampu membuktikan di persidangan hingga
akhirnya yang bersangkutan terbebas dari jerat hukum," katanya.
Saat itu, dia didakwa melakukan tindak pidana karena menimbun dan menjual barang impor ilegal dengan bukti 191 ponsel yang disita dari tiga gerai di beberapa lokasi. Dari situ, pihak Bea dan Cukai melacak
kerugian negara, dengan total Rp 26.332.919 dari segi pajak pertambahan
nilai (PPN) dan pajak penghasilan (PPH).
Hitungan yang sesungguhnya sangat kecil jika dibandingkan dari
keuntungan yang sudah ia peroleh. Dalam persidangan selanjutnya pada
Oktober 2020, tuntutan terhadapnya jauh lebih ringan, tidak lagi bicara
mengenai kurungan penjara, namun hanya diminta membayarkan denda Rp5
miliar subsider 4 bulan penjara.
"Artinya ia terbebas dakwaan tindak pidana," ungkap Rifai.
Ketua Umum Perhimpunan Masyarakat Sipil Indonesia (Permasi), Muqoddar, menilai, kasus barang ilegal ini bisa dimenangkan dengan mudah oleh Bea Cukai karena hitungan secara matematis mereka mampu membuktikan secara hukum. "Jika kita mengunjungi salah satu gerai miliknya di Jakarta Timur, tampak terasa ganjil lantaran tak pernah sepi pembeli."
Dia mencatat, di gerai itu harga ponsel dibanderol sekitar 30% lebih murah daripada harga pasaran.
Muqoddar melanjutkan, praktik ini tentu merugikan negara karena kehilangan potensi pendapatan pajak yang jika diperkirakan angkanya mencapai Rp2,8 triliun per tahun.
"Apabila peristiwa penyelundupan barang ilegal semacam itu dibiarkan
terus menerus, sama saja artinya membajak penerimaan negara," tegasnya. (N-2)