Headline
RI dan Uni Eropa menyepakati seluruh poin perjanjian
Indonesia memiliki banyak potensi dan kekuatan sebagai daya tawar dalam negosiasi.
PANDEMI covid-19 yang melanda banyak negara di dunia, termasuk Indonesia membuat membuat banyak usaha terpuruk. Itu sebabnya para pelaku usaha dituntut untuk menyesuaikan diri dengan keadaan tersebut.
Sayangnya, kenyataan yang dihadapi para pelaku usaha, khususnya di Industri Kecil dan Menengah (IKM) tekstil kerap berbeda. Dengan kata lain, mereka tidak bisa begitu saja menyesuaikan diri dengan kenyataan.
Baca juga: 70% Industri Tekstil Terancam Gulung Tikar Akibat Covid-19
Diungkapkan Sekjen Asosiasi Pengusaha Industri Kecil Menengah Indonesia (Apikmi) Widia Elangga, ada dua hal yang bisa membuat keadaan iklim usaha IKM tidak menentu. Yang pertama adalah kelangkaan bahan baku yang selama ini kebanyakan diimpor. Kedua adalah gempuran barang jadi impor dari Tiongkok dan Thailand yang saat ini sangat banyak sekali dan amatlah mudah di dapatkan di pasar domestik.
Sejauh ini para pelaku IKM garmen merasa produk mereka tidak dapat bersaing dengan barang jadi impor yang tidak dikenakan bea masuk tambahan, ditambah banyak pihak yang beralih untuk mengimpor produk barang jadi karena dinilai lebih mudah dan ekonomis dibandingkan dengan memproduksi di dalam negeri.
"Dalam tiga tahun terakhir terjadi pengingkatan nilai impor barang jadi berupa kerudung/scarf. Hal ini menunjukkan bahwa safeguard untuk barang jadi garmen harus segera di realisasikan. Kerudung dijadikan sebagai contoh dikarenakan IKM yang memproduksi kerudung jumlahnya sangat banyak di beberapa daerah di Indonesia. sehingga impor barang jadi termasuk kerudung tidak di berlakukan safeguard, salah satu yang paling terkena dampaknya adalah para IKM Cicalengka, Jawa Barat yang terancam tutup," ujarnya.
"Jika merujuk kepada gambaran tentang kapasitas kemampuan produksi IKM kerudung di Cicalengka yang rata-rata mampu memproduksi kerudung sebanyak 2.000 kodi atau 40.000 pcs perbulannya per IKM, paling tidak sudah dapat mewakili sebagian besar kebutuhan kerudung di pasar domestik," lanjutnya.
APIKMI pun berharap pemerintah segera memberlakukan bea masuk pengamanan pada bahan jadi garmen impor. Sebab jika tidak IKM garmen lokal akan mati.
"Yang menjadi harapan utama ialah agar proses produksi pelaku IKM garmen/konveksi kembali stabil dan harga jual yang ditawarkan ke konsumen tetap kompetitif. Pemerintah harus bertindak cepat, untuk menerbitkan kebijakan safeguards barang jadi impor, agar situasi saat ini tidak dijadikan sebagai celah oleh segelintir pihak yang memanfaatkan keadaan."
"Kebijakan tersebut dapat meringankan para pelaku IKM sektor konveksi atapun garment dan barang barang produksi lokal baik dari para pelaku IKM ataupun industri dalam negeri dapat menjadi primadona di pasar domestik negerinya sendiri," tegasnya. (RO/A-1)
Wakil Ketua Umum Bidang Perdagangan Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Anne Patricia Sutanto menyambut positif tercapainya kesepakatan IEU CEPA.
Asosiasi menuding keberadaan mafia impor dalam menentukan kuota impor bagi kelompok tertentu membuat industri listrik di Tanah Air melemah.
Selama ini, industri tekstil dalam negeri telah menyepakati skema nontarif dengan memprioritaskan penyerapan produksi lokal, dan hanya mengimpor sesuai kebutuhan.
PT Eratex Djaja Tbk, produsen tekstil yang memasok untuk merek global seperti Uniqlo dan H&M, membantah kabar yang menyebut perusahaan tengah menghadapi permohonan PKPU
Dalam surat tersebut, Mendag mengarahkan agar rencana pengenaan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD) untuk produk benang filamen asal Tiongkok tidak dilanjutkan.
PT Merak Chemicals Indonesia (MCCI), produsen Purified Terephthalic Acid (PTA) yang bergerak di sektor hulu industri tekstil, menerima penghargaan Best Liaison Contact dari
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved